Yudi Latief dalam bukunya Negara Paripurna pernah mengatakan bahwa Pancasila memiliki nilai toleransi kembar. Sekaligus penyeimbang antara teokrasi dan demokrasi liberal. Maksudnya adalah negara mengetahui batasan haknya atas agama, begitu juga agama mengetahui batasannya. Dalam toleransi kembar kedua entitas bisa saling bersinergi tanpa ada kompetisi satu sama lain.
Pada saat itu, Pasca Perang dunia II, negara-negara bekas jajahan Barat mencoba untuk merekonstruksi ulang sistem negaranya masing-masing. Ada yang memilih untuk mendirikan negara sosialis, negara demokrasi, teokrasi dan macam bentuk lainnya. Di antara sistem negara yang ada pada saat itu, Indonesia memilih demokrasi sebagai sistem negara.
Hal ini ditegaskan pada saat Soekarno berpidato di sidang BPUPKI dengan mengatakan bahwa Indonesia memilih demokrasi namun bukan demokrasi Barat. Demokrasi yang dimaksud oleh Soekarno adalah demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan perpaduan antara demokrasi Barat yang bercorak sekularistik dan suara rakyat adalah mutlak dengan sistem teokrasi yang bercorak tekstualis pada satu ragam penafsiran agama. Pancasila merupakan penengah antara kedua sistem tersebut.
Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa demokrasi merupakan sistem yang berasal dari Barat. Demokrasi Barat ‘berhasil’ menggantikan sistem teokrasi yang sudah dipraktekkan berabad-abad lamanya. Keberhasilan ini mengubah lanskap politik yang selama itu dikuasai oleh para tokoh agama kemudian dialihkan ke suara rakyat. Praksis pada saat itu juga suara rakyat menjadi pemegang tampuk kekuasaan dan kekuasaan agama menjadi termarginalkan.
Soekarno membaca sistem demokrasi tersebut bertentangan dengan realitas masyarakat Indonesia. Pasalnya, masyarakat Indonesia sejak awal telah memegang teguh prinsip kebudayaan cum religius. Soekarno juga tidak sepakat dengan teokrasi karna bisa terjebak dalam otoritarianisme.
Maka dari itu, model yang ideal untuk menjembatani antara sistem teokrasi dan demokrasi liberal bagi Indonesia adalah Pancasila. Jika diurut mulai sila pertama hingga kelima, masing-masing sila memiliki hubungan satu sama lain yang tidak bisa dipisahkan.
Sila pertama menjadi acuan moral-etik untuk membuat perundang-undangan dan kebijakan publik. Di tengah kehidupan serba modern, terdapat perbedaan moral-etik antara agama dan nilai modernitas. Namun menurut Jurgen Habermas, betapapun tingginya moral etik dalam budaya modern, semua itu tidak bisa menggantikan moral-etiknya agama.
Artinya, agama masih memilih peran penting dalam dunia modern saat ini. Oleh karena itu, tidak salah apabila memang sila pertama dirumuskan Ketuhanan Yang Maha Esa yang mengandaikan adanya prioritas nilai moral-etik yang harus dijunjung tinggi oleh sebuah negara.
Namun tidak semuanya moral-etik dalam agama bisa menjadi moral-etik universal. Tentu ada keterbatasan untuk menguniversalisasikan moral-etik dari yang privat menjadi publik. Untuk kepentingan ini dibutuhkan penerjemahan bahasa agama menjadi bahasa publik sehingga nilai tersebut bisa diterima oleh masyarakat luas.
Dari sini lah pentingnya sila keempat yang menunjukkan metode untuk menerjemahkan bahasa agama menjadi bahasa publik sehingga diterima oleh masyarakat luas. Metode atau cara yang terkandung dalam sila keempat adalah musyawarah. Menurut Hatta, musyawarah sejatinya telah menjadi budaya lama masyarakat Indonesia. ia bukan produk baru dari sistem demokrasi. Sejak dulu bangsa Indonesia telah mengenal musyawarah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan publik.
Hal ini juga dipertegas oleh Hilderd Geertz, dalam Keluarga Jawa (1985), yang mengatakan bahwa musyawarah merupakan turunan dari konsep gotong royong. Musyawarah dilakukan apabila dibutuhkan kebijakan yang menyangkut persoalan publik.
Melalui sistem musyawarah, moral-etik dalam masing-masing agama bisa didiskusikan lebih dalam lagi. Hal ini bertujuan untuk membuat sebuah konsensus bersama tentang bagaimana moral-etik agama bisa bertahan di tengah nilai modern. Tujuan ini seharusnya menjadi PR bersama umat beragama di Indonesia untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang beradab sebagaimana yang terkandung dalam sila kedua.
Apabila agama tidak bisa mengungkapkan nilai agama dengan bahasa universal dan bisa diterima oleh publik maka sulit untuk diterima oleh masyarakat di era modern. Namun sebaliknya, apabila umat beragama bisa menginternalisasikan nilai moral-etik agama dengan bahasa publik ke dunia modern, maka itu bisa mereduksi makna dari negara teokrasi.
Argumentasi di atas menegaskan bagaimana Pancasila mampu menjadi penengah antara sistem teokrasi dan sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ala Pancasila, suara Tuhan tidak diacuhkan begitu saja, ia masih tetap eksis dalam seluk beluk hati umat beragama, namun Kedaulatan Tuhan tersebut harus diterjemahkan dengan bahasa publik melalu mekanisme musyawarah sehingga akan terjalin hubungan simbiosis yang moderat. Negara tidak terjebak dalam demokrasi liberal, juga tidak terjebak dalam teokrasi karena dominasi agama tertentu saja.