Baru-baru ini saya dapat cerita menarik tentang seorang tenaga kesehatan di desa. Ketika saya bertemu dengannya, dia sedang berkeliling untuk melakukan cek kesehatan di beberapa rumah warga.
Mau tidak mau profesi di bidang kesehatan menjadi profesi yang super sibuk di era pandemi. Selain harus siap merawat keluhan kesehatan warga, mereka ‘dipaksa’ untuk menaruh curiga pada siapa saja yang datang untuk berobat. Sulit, memang. Tetapi hal ini perlu ditempuh demi kebaikan bersama.
Nah, tetangga saya itu seorang perawat laki-laki. Orang kampung biasa memanggilnya sebagai Pak Mantri. Di kampung, Mantri ibarat dukun yang dianggap bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Di era pandemi, kerjaannya semakin bertambah. Ia bukan hanya berperan sebagai dokter yang mengobati berbagai penyakit, tetapi sekaligus mengedukasi warga terkait Covid-19 ini.
Pak Mantri bercerita ia sangat was-was ketika warga kampung enggan meniadakan salat tarawih berjamaah di masjid dan musala. Padahal, menurutnya, ini anjuran pemerintah karena melihat karakter Covid-19 yang mudah menular dalam sebuah perkumpulan. Walau demikian dia bersyukur bahwa warga cukup sadar untuk membatasi orang-orang yang jamaah hanya ‘warga asli’ dan tidak punya riwayat pergi ke luar kota.
“Sekarang pergi ke luar kota saja sudah harus isolasi,” ujarnya. Ia menceritakan betapa repotnya petugas kesehatan jika ada warga bandel yang menganggap dirinya biasa-biasa saja setelah keluar kota.
“Yang bahaya itu orang yang punya penyakit bawaan. Corona ini enggak bahaya bagi orang yang sehat. Tapi orang sehat itu bisa saja membawa virus yang membahayakan orang lain.” Begitu kira-kira pernyataan Pak Mantri. Cukup beralasan jika Pak Mantri begitu khawatir. Saat ini petugas medis seperti perawat dan dokter berada di level yang sangat rentan terpapar virus. Sudah puluhan atau bahkan ratusan petugas medis diberitakan meninggal dunia akibat terpapar.
Apa sebab? Banyak pasien yang tidak jujur dengan kondisi dirinya. Bisa jadi karena takut diketahui sehingga nanti dijauhi oleh orang lain. Yang terkena imbas ya tenaga kesehatan yang memeriksanya.
Ia menceritakan ada seorang pasien jantung yang dirawat di sebuah rumah sakit. Nah, si pasien sebenarnya punya riwayat pergi ke wilayah berstatus zona merah. Artinya, secara protokol kesehatan, ia harus mengisolasi diri selama 14 hari. Namun hal itu tidak dilakukan.
Ketika jantungnya kambuh, keluarga langsung membawa ke rumah sakit dengan menyembunyikan fakta kepergian ke zona merah. Setelah dilakukan serangkaian pengecekan dan perawatan, si pasien kemudian meninggal dunia. Nahasnya, rumah sakit menemukan ada gangguan paru-paru si pasien yang identik dengan gejala Covid-19.
Hal ini membuat sebuah rumah sakit menjadi gempar. Semua orang mulai dari petugas loket pendaftaran hingga dokter yang memeriksa menjadi orang dalam pemantauan (ODP). Ada 15 orang yang harus diisolasi karena keluarga pasien yang tidak terbuka. Belum lagi petugas yang memandikan, keluarga yang menyentuh, hingga warga yang melayat.
Usut punya usut, ternyata keluarga takut apabila orang tua tersebut terpapar Covid-19 sehingga pemakamannya tidak didatangi oleh siapa pun. Sebab pasien dalam pengawasan (PDP) harus mengikuti protokol pemakaman ala pasien Covid-19. Bagi sebagian orang, proses pemakaman yang sunyi adalah sebuah ancaman yang menakutkan.
Pak Mantri juga membahas berita di sebuah kota di mana ada warga yang baru mengikuti acara keagamaan kemudian menjadi pembawa virus ketika beribadah di rumah ibadah tanpa melakukan isolasi terlebih dahulu. Nah, bagi Pak Mantri, masjid juga rawan terkena dampak orang-orang yang ‘menyembunyikan’ statusnya tersebut.
“Tapi ada hikmahnya,” ujar Pak Mantri. Ia menjadi teredukasi dengan beragam ilmu baru, termasuk agama. Ia mengaku baru tahu bahwa salat tarawih berjamaah di masjid bukanlah sunnah Nabi. “Gara-gara Corona saya jadi baca dikit-dikit,” katanya.
Ya, tradisi jamaah di masjid memang baru dimulai di era Umar ibn Khattab. Di era Nabi dan Khalifah Abu Bakar Assh-Shiddiq, salat tarawih diselenggarakan di rumah masing-masing. Hal ini dapat dimengerti mengingat Ramadan adalah bulan yang memiliki cuaca ekstrem. Kata ‘ramad’ dalam bahasa Arab berarti sangat panas. Tidak hanya sangat panas tetapi juga mengeringkan.
Maka Ramadan memang tempatnya masyarakat Arab untuk menyepi. Karenanya banyak peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi karena Nabi sedang ‘menyepi’. Misalnya peristiwa Nabi bertemu Malaikat Jibril untuk mendapatkan wahyu pertama. Nabi Muhammad SAW saat itu sedang menyepi (khalwat) di goa Hira.
Di pesantren, ketika belajar materi tentang bid’ah atau hal baru yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad tetapi dilakukan oleh orang setelahnya, selalu dibagi menjadi dua bid’ah besar. Pertama, bid’ah yang baik atau bid’ah hasanah. Contohnya anjuran tarawih berjamaah yang dilakukan Umar ibn Khattab atau tradisi tahlilan yang ada di Indonesia. Kedua, bid’ah yang menyesatkan atau bid’ah dlalalah. Misalnya menggunakan dalih agama dan menyitir ayat semaunya sebagai alat politik praktis.
Nah, para ulama menyebut bahwa bid’ah hasanah ini mendatangkan pahala karena memiliki nilai kebaikan. Sebaliknya, bid’ah dlalalah mendatangkan dosa.
Dalam hal salat tarawih, melakukan salat jamaah di masjid atau musala bisa mendatangkan pahala. Namun di era pandemi, hal ini tentu mempertimbangkan urgensi yang dihadapi. Mana yang mau dipilih antara sesuatu yang berpahala atau menghindari kerusakan? Jika kita menganut pendapat ulama, tentu menghindari kerusakan didahulukan daripada mencari kebaikan. Dar ul mafaasid taqaddamu ‘ala jalbil mashaalih.
Beda ceritanya jika memang di satu wilayah bisa memastikan kondisinya baik-baik saja. Berbagai langkah pencegahan dilakukan secara ketat dengan pengawasan terhadap jemaat benar-benar harus baik. Kita belajar dari pengalaman banyak negara di mana tempat ibadah menjadi salah satu cluster terbesar penyebaran Covid-19 karena lemahnya pengawasan ini.
Meski terdengar memungkinkan, tapi apakah mudah untuk dilakukan? Wallahua’lam.