Undang-undang KPK yang baru disahkan dinilai bukan hendak memperkuat kerja KPK, bahkan hanya melemahkan. RKUHP juga mendapat nasib yang sama. Meskipun banyak pasal-pasal yang dinilai kontroversial bahkan hanya menyumbat demokrasi akan segera disahkan. Belum lagi, lambannya pengesahan RUU-PKS, upaya penangan Papua dengan pendekatan militer, dan masalah-masalah yang semakin menimbun lainnya.
Penulis teringat dengan tulisan Gus Dur yang berjudul “Masa Depan Demokrasi di Indonesia”. Pada waktu menulis tulisan tersebut, Gus Dur masih meragukan demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan. Sementara, faktor yang melatar belakangi analisis Gus Dur waktu itu adalah masih adanya lembaga-lembaga pemerintahan yang berusaha keras untuk mempertahankan status quo, undang-undang dan sistem politik yang belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi, serta tradisi kita belum melahirkan budaya politik yang sehat.
Upaya untuk menyampaikan aspirasi oleh masyarakat telah dilakukan. Yang terbaru adalah turunnya para mahasiswa diberbagai daerah. Ini menunjukan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah begitu merisaukan hati masyarakat luas. Diharapkan, penguasa perlu untuk membuktikan bahwa demokrasi bukan hanya slogan yang tidak memiliki wujud realisasi. Meskipun penguasa memiliki pandangannya sendiri, tidak salah apabila aspirasi masyarakat untuk didengar dan menjadi pertimbangan. Toh nyatanya masyarakat tidak hanya bicara, mereka sudah melakukan berbagai kajian dan diskusi yang tidak kalah sengitnya dengan pembicaraan yang ada di atas.
Presiden perlu tegas dalam masalah ini apabila kondisi dan nasib masyarakatnya tidak akan dikorbankan kedalam lubang yang lebih berbahaya. Perlu edukasi nyata tentang demokrasi, bukan hanya disampaikan secara lisan semata. Atau kalau memang ada preman-preman penguasa yang mengelilingi, perlu kiranya untuk dihadapi dengan jiwa preman juga.
Dari sini penulis teringat lagi dengan pernyataan Gus Dur ketika berbincang dengan Alwi Shihab. Waktu itu, Alwi Shihab sedang mengingatkan Gus Dur untuk tidak terlalu keras dalam menghadapi segelintir orang yang tidak beres. Namun, apa yang menjadi jawaban Gus Dur tidak sebagaimana dibayangkan oleh Alwi Shihab. “Ente urus saja itu orang yang baik-baik saja agar tetap baik, yang preman-preman biar saya yang menyelesaikan. Preman harus dihadapi dengan cara preman,” jawab Gus Dur waktu itu.
Mengapa perlu tegas dalam menghadapi orang-orang yang bermasalah dalam tubuh penguasa? Sebab, menyadarkan mereka dengan doktrin surga-neraka saja sudah tidak mempan. Bagi mereka, hanya keuntungan yang menjadi cara berfikirnya. Tidak peduli bermanfaat untuk masyarakat luas atau tidak.
Bagi Gus Dur, kemanusiaan adalah nilai penting dalam kehidupan bernegara. Perdamaian menjadi prasyarat agar negara bisa berproses menuju kebaikan. Namun, kedamaian hanya sebuah ilusi kalau tanpa keadilan. Ketika keadilan tidak terus diusahakan, maka hal tersebut justru telah berubah wujud menjadi tindakan mengingkari kemanusiaan. Membela kemanusiaan itulah wujud dari dekolonialisasi yang sejati.
Meskipun dalam menjalankan amanat reformasi harus berakhir dengan nasib yang menyedihkan, sejarah telah mencatat bahwa Gus Dur adalah sosok yang selalu dirindukan oleh generasi bangsa Indonesia. Karena Gus Dur tidak mengingkari janjinya. Gus Dur telah bersusah payah membenahi keterpurukan bangsa ini. Apakah sekarang kita akan menghancurkannya? Hanya generasi yang tidak tahu balas budi yang akan menghancurkan bangsanya sendiri.
Mengapa kita perlu belajar dari Gus Dur? Cukup sederhana mungkin jawabannya, namun, apa yang telah dilakukan Gus Dur begitu berarti dalam menjawab maslaah ini. Sementara, jawaban yang dimaksud adalah Gus Dur telah mencontohkan ketulusannya mengurus bangsa ini dan membuka jalan menuju yang lebih baik.
Negara ini bukanlah hanya milik segelintir orang. Semua element sosial masyarakat telah bekerja sama untuk mewujudkan negara ini. Memang tidak mudah melawan anak bangsa sendiri, tetapi apabila segelintir orang yang bermasalah dibiarkan maka sejarah bangsa kita akan rusak dan terperosok dalam limbung kekacauan. Sekali lagi, itu semua ulah siapa?