Diriwayatkan bahwa suatu ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di masa mudanya bersama Ibnu Saqa’ (kala itu sudah menjadi seorang ulama) dan beserta salah seorang sahabat lainnya, datang menemui seorang waliyullah yang dikenal dengan sebutan al-ghauts (konon beliau adalah Syekh Yusuf al-Hamdani, seorang sufi besar abad ke 5 H). Ketiganya bermaksud sowan kepada sang wali. Namun tujuan ketiga sahabat ini berbeda. Abdul Qadir ingin minta do’a dan berakah. Sementara Ibnu Saqa’ datang untuk menguji kehebatan sang wali dan ingin mempermalukan sang Wali di muka umum. Sedangkan untuk teman karib satunya yang lain tidak dijelaskan detail kisahnya dalam sumber yang penulis temukan.
Setelah menghadap, Abdul Qadir al-Jailani diprediksi oleh sang wali bahwa ia kelak akan menjadi wali besar, bahkan pemimpin para waliyyullah. “Wahai Abdul Qadir, suatu saat nanti engkau duduk di atas sebuah kursi. Kau akan mengatakan dengan lantang. Telapak kakimu ini akan berada di atas seluruh leher wali Allah. Semua wali Allah di seluruh penjuru dunia seketika menundukkan lehernya karena ucapanmu itu”, terang al-Ghauts memprediksi kedudukan Abdul Qadir kelak.
Dan memang betul bahwa Abdul Qadir pada akhirnya menjadi Wali besar. Sejarah hidup (manaqib)-nya bukan hanya dikenang, melainkan dibaca oleh jutaan umat Islam hingga kini. Berkahnya sangat diharapkan jutaan muhibbin. Pesan dan nasehatnya terus menginspirasi para pengambah jalan sufistik.
Sementara apa yang dialami Abdul Qadir berbanding terbalik dengan Ibnu Saqa’. Sebelum mengutarakan sesuatu secara panjang lebar Ibnu Saqa’ sudah dibentak sang wali. “Diamlah!. Sungguh aku menemukan dari perkataanmu bau busuk kekufuran. Mungkin kelak engkau akan mati tidak membawa iman!.” Ujar Sang Wali. Bentakan Sang Wali ini merupakan prediksi bahwa Ibnu Saqa’ akan mendapat su’ul khatimah di akhir hayatnya.
Kenyataannya, setelah sekian masa, suatu ketika Ibnu Saqa’ memperdebatkan persoalan teologis dengan orang Nashrani. Perdebatan tersebut justru membawa Ibnu Saqa’ menanggalkan dan meninggalkan keislamannya. Setelah memeluk agama nashrani, ilmu Ibnu Saqa’ habis ditelan waktu. Bahkan saat ditanya, apakah masih mengingat satu ayat dari al-Qur’an, jawabannya sangat miris. “Aku tidak ingat satu ayat pun kecuali firman Allah, Qul tamatta’ bikufrika qalila. Innaka min Ashabin Nar, Katakanlah bersenang-senanglah dengan kekufuranmu. Sesungguhnya engkau termasuk penghuni neraka.” [QS al-Zumar; 8]
Bahkan, konon, menjelang kematiannya, Ibnu Saqa’ menderita sakit yang parah. Tangannya disibukkan untuk mengibaskan lalat yang terus mengerubungi wajahnya.
Demikianlah sepenggal kisah Ibnu Saqa’, seorang ulama yang kemudian bukan hanya kehilangan seluruh ilmu pengetahuannya melainkan juga keimanannya yang disebabkan tidak memiliki adab terhadap seorang ulama yang lebih alim, terlebih kepada sosok yang sudah diakui kealiman atau kewaliannya.
Meski tidak sependapat, kritik kepada sosok ulama sepuh tidak perlu menyerang pribadinya atau menguji kemampuannya dengan tujuan mempermalukannya. Terlebih menuduhnya dengan ujaran yang sangat tidak pantas. Kita boleh saja tidak setuju atau tidak sependapat dengan seorang ulama. Namun, selain harus memiliki pijakan argumentasi yang kokoh, kita juga tetap harus menjaga adab-etika yang baik.
Dalam pandangan para ulama, menyerang pribadi ahli ilmu dengan menggunjing,memfitnah, mencaci maki atau lainnya termasuk dosa besar (min akbar al-Kabair). Pelakunya fasiq, tertolak kesaksiannya. Wajib bagi pemerintah berusaha keras mencegahnya sebagai tindakan preventif menjaga kehormatan ulama. Bahkan bila pelaku penggunjing dan pemfitnah ini sampai meyakini bahwa perbuatannya yang keji ini halal, maka pelaku tersebut bisa dianggap murtad (keluar dari Islam).
Telah terbukti berulang kali, bukan hanya kisah Ibnu Saqa’, yakni orang yang mencederai kehormatan ahli ilmu, ia mati dalam keadaan su’ul khatimah. Semoga kita terhindar darinya.
Sumber bacaan : al-Manhaj al-Sawi, hal.186
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri