Orang Islam adalah Guru Orang Eropa, Apakah Kini Tinggal Sejarah?

Orang Islam adalah Guru Orang Eropa, Apakah Kini Tinggal Sejarah?

Orang Islam adalah Guru Orang Eropa, Apakah Kini Tinggal Sejarah?

Buku Tim Wallace Murphy, What Islam Did for Us (2006) atau buku Chase F. Robinson, Islamic Civilization in Thirty Lives, The First 1000 Years, mungkin gak terlalu ketat akademik, yang menjelaskan “kontribusi Islam” bagi peradaban Eropa (Barat) modern (terutama soal gairah ilmu pengetahuan, pluralisme, toleransi dan kebebasan beragama).

Tapi ada karya-karya lain sejarawan Barat yang cukup serius soal topik itu, misalnya George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian West (1990), atau Howard Turner, Science in Medieval Islam (1997), atau Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education 1964, Diterbitkan edisi Indonesia, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, 1996), atau karya klasik Philip Hitti, History of the Arabs (1937), atau Marshall Hodgson, The Venture of Islam (1974), atau Leo W. Schwartz, Great Ages and Ideas of Jewish People (1956), atau Max Dimont, The Indestructible Jews (1973), atau yang terakhir saya kutip tulisannya Gustave Le Bon dalam karyanya, The World of Islamic civilization (1974) atau karya yang lain bahwa “Orang-orang Arab (Islam) adalah guru-guru kami (orang Eropa)…”

Karya menarik untuk audiens Barat dan Muslim yang penasaran dengan pencerahan dan humanisme Barat saat ini adalah karya Humberto Garcia, Islam and the English Enlightenment 1670-1840 (2012) . Tesis utama Garcia adalah bahwa renaisans Eropa Barat, terutama Inggris di masa-masa abad 17 hingga 19, yang kelak melahirkan peradaban Eropa yang “mewah” saat ini bukan kreasi mereka sendirian; bukan mukjizat yang tiba-tiba runtuh dari langit.

Garcia melacak para penulis beken Inggris yang mendorong pencerahan dan revolusi politik dan intelektual seperti Samuel Taylor Coleridge penulis Mahomet (1799), Henry Stubbe penulis The Rise and Progress of Mahometanism (1671), Edmund Burke, Mary Montagu, Robert Southey dan Percy dan Mary Shelley yang semuanya menulis tentang nabi Muhammad (Mahomet).

Hasilnya adalah apa yang disebut ‘Afro-Eurasia’ dan ‘Republikanisme Islam’ yang merujuk kepada pikiran dan gerakan keagamaan nabi Muhammad di Mekkah dan Madinah. Para penulis Eropa di atas menemukan dua hal pokok: (1) Islam Muhammad tidak mengabrogasi tradisi Yahudi dan Kristen tetapi mengembalikan keduanya, terutama Kristen dari jalan menyimpang paganisme Trinitarian Romawi, kembali ke monoteisme primitif, yakni monoteisme egaliter. Percaya kepada Tuhan yang esa pasti memunculkan sikap sosio-politik yang egaliter dan humanis,

(2) Islam yang dipraktikkan Muhammad telah menjadi contoh dan jalan mulus bagi tegaknya toleransi, pluralisme dan hak-hak sipil yang sesungguhnya. Kristen Protestan di Inggris saat itu tidak punya konsep ini secara memadai. Angin dan getaran ‘Afro-Eurasia’ telah menyulut kesadaran para intelektual Eropa tentang pencerahan. Oleh mereka, Muhammad disebut sebagai reformer radikal yang sangat layak dirujuk dalam perumusan model pencerahan dan humanisme di Inggris abad 17-18. Bahkan Norman O. Brown, seorang filusuf sosial Amerika, seperti dikutip Garcia, menyebut “Islam sejatinya adalah juga milik tradisi kenabian Eropa Barat”. Ini keren banget. Pengakuan jujur dari para sarjana Barat.

Tapi pertanyaannya: Muslim Asia Tenggara, terutama Muslim Indonesia, sejak akhir abad ke-19 (sampai hari ini) juga belajar kepada orang-orang Arab: Arab Saudi, Mesir, Yaman, Irak, Maroko, Tunis dll, namun kenapa hasilnya beda? Kenapa Muslim Asia Tenggara tidak menghasilkan “peradaban” yang telah dihasilkan oleh orang-orang Eropa, padahal sama-sama belajar dari orang Arab? Apakah materi/ilmu yang diajarkan beda? Apakah orang-orang Arab dulu beda dengan yang sekarang? Atau budaya kita dengan budaya orang Eropa memang beda? Kenapa wajah Islam Indonesia, secara umum, adalah yang kita saksikan hari ini dengan perasaan prihatin dan ngelus dada?

(AN)