Pertama kali saya mengenalnya di tahun 2000-an. Sederhana, santun, dan tak terlalu banyak omong. Itu kesan pertama saya. Ia kebapakan. Jadi saya yang waktu itu mahasisiwa strata satu dan aktif di forum kajian, nyaman saja di dekatnya.
“Pak Djohan terlalu baik,” kata Gus Dur suatu ketika saat menjelaskan saat Pak Djohan berhenti sebagai Mensesneg-nya.
Komitmen dan perjuangannya pada perdamaian antar agama dan keyakinan tak diragukan. Ia satu di antara tokoh yang berteriak soal kekerasan yang dialami Ahmadiyah dan komunitas kepercayaan. Gagasan dan perjuangannya ini diinstitusionalisasikan menjadi Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), organisasi yang mewadahi agama dan keyakinan, termasuk agama-agama di luar yang enam.
Pak Djohan penulis yang piawai. Tulisannya rapi dan renyah. Baca saja kolom-kolomnya di media cetak. Ia juga mantan penulis pidato Presiden Soeharto.
Sebagai penulis, ia pencinta buku. Bukunya banyak. Setahun yang lalu saya dengar ia berwasiat kalau ia pergi, buku-bukunya ingin dihibahkan bagi masyarakat.
Membaca dan menulis tak ubahnya bernapas. Saat didera penyakit akibat usia, Pak Djohan masih bersemangat menulis. Bahkan ketika ia tak bisa lagi menulis, ia minta orang lain menuliskan.
Dengan pencapaiannya yang sudah diraihnya dalan hidup, Pak Djohan satu manusia Indonesia yang amat bersahaja. Enteng saja pergi pakai metromini, bajaj, atau taksi.
Saya bersyukur bisa menulis tentangnya sebagai skripsi mahasiswa Fakultas Dakwah. Judulnya, Dakwah Transformatif: Studi Kasus Pemikiran Djohan Effendi.
Hari ini saya mendapat kabar beliau sudah “pergi”. Selamat jalan Pak Djohan. Semoga yang Pak Djohan wariskan, bisa kami lanjutkan.