Ya, tiga kata itu. Alim, tegas, dan baik hati. Itu kesan pertama kali ketika diajar Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA. belasan tahun lalu. Itu saat awal-awal saya duduk di Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau menerangkan persoalan-persoalan fikih dengan gamblang dan bahasa yang mudah. Dan memang, beliau sangat menguasai isu-isu fikih dan ushul fikih, bahkan beliau merupakan ulama perempuan yang pakar dalam fikih perbandingan mazhab (fiqh al-muqaran). Tetapi, secara kecenderungan beliau tetap berpegang kepada Syafi’iyah, Madzhab fikih yang merujuk kepada Imam Syafii dan murid-muridnya, seperti Imam Abu Ats-Tsaur atau Imam Ar-Rabi’.
Di kelas yang beliau ampu, kami mendapatkan banyak sekali pengetahuan baru. Beliau mengucurkan secara deras ilmu pengetahuan yang beliau kuasai. Di sana sini, beliau kutip bait-bait Alfiyah Ibn Malik. Kami belajar banyak tentang perbedaan pendapat para ulama fikih dalam empat madzhab, yaitu Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah.
Salah satu tanda kealiman beliau tampak saat menjelaskan soal imam dan makmum yang berbeda madzhab. Sepanjang belajar di pesantren, dalam soal fikih kami lebih mempelajari fikih Syafi’iyah. Secara sekilas saja kami dikenalkan ragam pendapat di luar Syafi’iyah. Tetapi, Prof Huzaemah mengenalkan kepada kami ragam mazhab dengan lebih luas dan bagus, sehingga kami bisa menerima pendapat lain di luar Syafi’iyah. Saat pengetahuan masih terbatas di mazhab Syafi’iyah, bahkan saya enggan berteman dengan yang tidak qunut. Tetapi, setelah mengikuti kelas-kelas Prof Huzaemah, pemahaman saya pun mulai terbuka. Salah satu nasihat yang saya masih ingat, yang juga menggambarkan keluasan pengetahuannya:
“Masing-masing madzhab memiliki argumentasi yang diambil dari pemahaman nash, al-Quran dan Sunnah. Tetapi, dalam banyak hal, Madzhab Syafi’iyah memiliki keistimewaan. Misalnya, ada empat orang dan masing-masing berpegang kepada madzhab yang berbeda. Ada yang bermadzhab Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, maka yang bermadzhab Syafi’iyah yang menjadi imam. Tentu bila semua syarat imam terpenuhi.”
Dalam masalah shalat ini, keempat mazhab berbeda pendapat dalam banyak hal. Dalam basmalah, misalnya. Bila Malikiyah menilai bahwa basmalah tak perlu dibaca dalam Alfatihah, maka Hanabilah dan Hanafiyah menilai sunnah membacanya secara pelan (sirr); sementara Syafi’iyah menganggap membaca basmalah itu wajib. Shalat yang tak membaca basmalah berarti tidak sah. Menurut Prof Huzaemah, kalau Syafi’iyah yang menjadi imam maka semua mazhab bisa ikut dan tetap sah.
Beliau menjelaskan hal-hal rumit begini dengan enteng saja, seperti kalau kita menyendok makanan yang kita sukai. Suaranya yang keras dan kencang cukup terdengar bagi kami yang bahkan duduk di bagian belakang. Meskipun demikian, beliau sering ingin melucu tetapi kadang membuat kami bingung; beliau sedang melucu atau sedang serius. Di antaranya, saat mengabsen dan ada nama mahasiswa yang dimulai dengan Siti, maka dia akan meneruskan nama selanjutnya dengan tambahan nama Siti. Baik perempuan maupun laki-laki.
Tetapi, beliau ini tegas. Salah satu ketegasannya tampak dalam hal-hal terkait syariat. Beliau termasuk yang menentang keras isu Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam di bawah komando Prof. Dr. Musdah Mulia. Dalam berbagai diskusi yang dihelat, pesan dan bahasa beliau selalu tegas. Dalam isu poligami, misalnya. Menurut beliau, tidak tepat bila poligami bukan hukum Islam. Kalau mau menolak, jangan pakai alasan bukan hukum Islam. “Tolak saja atas nama pribadi!” Begitu kira-kira pesan yang beliau sampaikan saat itu.
Dan memang, beliau bersama beberapa ulama perempuan lainnya menuliskan tanggapan atas Counter Legal Draft KHI ini dengan judul Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam. Beliau menulis dan menyampaikan keberatan ini sebagai anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang fatwa. Beliau aktif di MUI sejak 1987. Tiga tahun setelah beliau menuntaskan pendidikan doktoralnya di Universitas Al-Azhar, Kairo dan mendapatkan predikat summa cumlaude. Beliau menjadi ulama perempuan pertama yang berhasil menyelesaikan pendidikan sampai tingkat tertinggi di Al-Azhar, Kairo.
Sepulang ke Indonesia, beliau langsung mengisi kegiatannya dengan menulis, mengajar, dan berkegiatan di lembaga sosial keagamaan, seperti MUI maupun Muslimat Nahdlatul Ulama. Terakhir, beliau diamanahi menjadi Rektor Institut Ilmu al-Quran (IIQ). Tapi, dari segudang kegiatan tersebut, di rumah beliau tetap menjadi seorang ibu rumah tangga. Beliau mendorong perempuan untuk berperan di ruang publik, yang beliau contohkan dengan baik, tetapi jangan sampai melupakan keluarga di rumah.
“Jadi, Islam mentolerir adanya wanita sebagai tenaga baru dalam mencari nafkah dengan adanya perkembangan zaman yang mempengaruhi tatanan kehidupan… dalam hal seperti itu, wanita harus membantu suaminya untuk menjaga kelestarian dan kewibawaan keluarga serta kesejahteraan anak-anak di kemudian hari. Wanita boleh memasuki berbagai profesi, asal tugas-tugasnya diselaraskan dengan sifat-sifat dan kodrat mereka, dan ia tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai ibu rumah tangga serta tetap mempertahankan hukum-hukum yang ditentukan agama.”
Demikian kutipan dari Prof Huzaemah yang terdapat dalam Tentang Perempuan Islam: Wacana Gerakan (Editor Jajat Burhanuddin dan Oman Fathurahmah, PPIM dan Gramedia, 2004). Berkat dorongan beliau, saat ini tentu ada banyak sekali murid perempuannya yang berkiprah di dunia profesional dan mengabdi ke masyarakat. Tak bisa dimungkiri, pengaruh beliau sangat kuat dalam isu ini. Kekuatan itu bermula dari ketegasannya.
Memang beliau dikenal tegas, tetapi baik hati adalah sifat lain yang melekat dalam keseharian beliau. Beliau selalu mau dijadikan pembimbing, baik sripsi, tesis maupun disertasi. Beliau mengoreksi apa yang sekiranya perlu dikoreksi. Tetapi, semuanya dibuat mudah dan gampang. Tak pernah ada cerita beliau mempersulit mahasiswa. Bahkan, untuk nilai saja beliau jarang memberikan nilai C. Rata-rata A dan B. Itu karena beliau mendahulukan husnudhan (berbaik sangka), bahwa pada dasarnya semua muridnya pasti bisa menguasai materi dan baik. Inilah yang membuat tangannya membawa banyak keberkahan. Menyambung keberkahan yang beliau dapatkan dari gurunya saat di Al-Khairat, Palu, yang dikenal sebagai wali Allah, Guru Tua Habib Idrus bin Salim al-Jufri.
Dan, Insya Allah sekarang ini Prof Huzaemah sedang bersama gurunya tersebut; bersama-sama sedang menikmati amal jariah ketika beliau berdua mengabdi sebagai ulama yang amilin (menjalankan ilmu pengetahuan ). Amin.