Obituari: Kita Bukan Artidjo

Obituari: Kita Bukan Artidjo

Banyak cerita menarik yang saya dapatkan, baik dari pengalaman yang saya lihat sendiri ataupun dari tuturan murid-murid Artidjo soal dugaan saya atas tanah cadas yang membentuk seorang Artidjo.

Obituari: Kita Bukan Artidjo

Entah jika 28 Februari 2021 ini tidak datang maka perasaan saya mungkin tidak sekompleks hari ini, paling tidak sejak berita tentang wafatnya Artidjo Alkostar masuk ke ponsel saya saat saya bangun tidur. Saya mencoba untuk skeptis, ah sedemikiannya kematian itu diberitakan. Bagi saya ungkapan duka cita yang bersliweran di setiap lini masa adalah sebuah kesedihan sekaligus perayaan perginya salah seorang idealis hukum pahlawan dan sekaligus musuh bagi masyarakat itu sendiri.

Saya dan Anda mungkin akan melihat Artidjo dari dua sisi, hari ini saya melihat Artidjo adalah pahlawan saya, my hero. Tapi mungkin besok saya akan melihat Artidjo adalah musuh saya yang harus saya habisi. Mungkin hati kecil saya berharap bahwa saya sebetulnya tidak ingin Artidjo hidup lagi, apalagi berkembang biak menjadi ratusan Artidjo baru. Jika hal itu terjadi, mungkin bangsa ini sudah bukan menjadi bangsa ini.

Jika kawan saya mengatakan bahwa jika semua manusia diciptakan dari varian dan jenis tanah, maka Artidjo adalah manusia yang diciptakan dari tanah cadas. Pendiriannya keras bagai batu, tidak bisa dipahat. Jika mau mengubah tanah tersebut harus dipukuli bahkan jika perlu dihabisi dengan bom. Itu pun jika anda berhasil jika tidak siapkan diri anda untuk frustasi. Di sisi lain, tanah cadas adalah tanah gersang yang selalu terpencil tanpa ada kehidupan di sekelilingnya. Pohon enggan bersahabat dan semutpun mungkin emoh berjalan di atasnya. Dia selalu ada di dalam keterpencilan dan kesendirian. Berbeda dengan pejabat lain yang katanya diciptakan dari tanah sengketa, walau disengketakan tapi tetap saja didatangi dan diidamkan. Entahlah anda mau menilainya seperti apa.

Banyak cerita yang saya dapatkan baik dari pengalaman yang saya lihat sendiri ataupun dari tuturan murid-murid Artidjo soal dugaan saya atas tanah cadas yang membentuk seorang Artidjo. Seorang Hakim Agung yang tidak mau tasnya dibawakan muridnya seberapa pun letih melanda hanya karena: takut punya hutang budi. Seseorang yang menolak makan di luar karena: takut ada fitnah. Seseorang yang menolak setiap tamu yang datang: hanya karena tidak ingin ada pembicaraan apapun yang ditanganinya. Seseorang yang tidak pernah tidak masuk kerja atas alasan apapun selama hampir 7.300 hari menjadi Hakim Agung karena: takut tidak bisa menyelesaikan perkaranya yang menumpuk jika harus beristirahat. Saya tidak paham bagaimana saya mendefinisikan Artidjo seorang yang sangat berani melawan ketidakadilan namun juga sangat penakut terhadap ketidakadilan.

Hitunglah berapa jam dalam hidup dari total hidup kita semua kita terpapar dengan kemunafikan. Jika saya bosan dan membuka gawai saya, saya akan melihat seorang pimpinan ormas Islam yang dipenjara dan seorang presiden yang dipuja dalam sebuah tindakan yang sama: sama-sama membiarkan manusia berkumpul rapat.

Atau pembiaran terus-terusan atas nyawa yang selalu hilang setiap harinya akibat tindakan “penertiban” aparat.

Atau berharap atas objektivitas sarjana-sarjana yang kian hari kian hilang digerus oleh ancaman negara berbalut kompetisi pasar?

***

Baiklah, saya menyerah. Saya sudah melihat kemunafikan di mana-mana sampai tidak sadar saya menjauhi gawai dan masuk dalam kemunafikan itu. Apakah gawai adalah sarana kita menghindari kemunafikan dengan cara menonton kemunafikan?

Saya masih bingung menjawabnya, yang jelas Artidjo tidak punya gawai. Beliau tidak suka menonton televisi apalagi menjadi bagian dari talkshow-talkshow berisik yang entah berdebat untuk apa. Beliau sudah menjadi buta, tuli dan bisu sejak muda. Buta dalam menonton kemunafikan, tuli dalam mendengar godaan dan bisu dalam membicarakan hal-hal yang munafik. Mungkin Tuhan telah menjaga semua panca-Indera Artidjo untuk membuat dirinya sebagai manusia yang berbeda.

Dalam lakon The Ugly Duckling karya Hans Christian Andersen, Artidjo mungkin bisa diibaratkan sebagai itik abu-abu yang berbeda dengan sodaranya sehingga hidup dalam kesendirian. Dalam standar di masyarakat yang sakit, “ketidaknormalan” itu dianggap sesuatu yang menarik dan juga mengganggu. Sedangkan dalam perspektif lain melihatnya dalam sebuah kenormalan, sebagai sebuah kelainan genetika saja menurut Gregor Mendell. Artidjo mungkin adalah sosok berbeda di tengah masyarakat kita. Keberadaannya dirayakan melalui puja dan amarah. Pasca kepergiannya mungkin kita tidak akan berada euforia itu lagi. Semua orang adalah sama dan hidup kembali membosankan.

Saya tidak pernah melihat Artidjo sebagai sosok idola, beliau adalah sosok yang berbeda dari kita. Ibarat kita adalah sebuah jeruk maka jangan kita berpikir untuk menjadi Apel. Entah apa maksud Tuhan menurunkan Artidjo, apakah untuk sekedar menjadi pelengkap (itung-itung ada satu orang yang idealis) atau bahkan menjadi air dalam dahaga keteladanan. Mungkin kita semua bisa berdoa dalam setiap Tahajud kita untuk bertanya dan mencari makna kehadiran Artidjo di tengah kita.

Tentu saya menulis 800 kata tulisan ini bukanlah karena saya sok suci atau mencoba meneladani Artidjo, saya seperti halnya anda adalah orang yang selalu mengutuk kemunafikan namun menjadi bagian dari kemunafikan itu sendiri. Jangan heran jika mungkin 10 tahun lagi saya tahu-tahu masuk penjara atau kena kasus berat, ya karena saya bukan Artidjo. Sesimpel itu. Period.

Terakhir, jangan pernah mengklaim bahwa “Artidjo adalah Kita”. Biarlah kita mendoakan anak-anak kita seperti Artidjo tapi jangan berharap kita menjadi beliau. Sebab kita bukan dan tidak akan bisa menjadi Artidjo.

Karena kita adalah produk kemunafikan.

Dear mendiang Artidjo Alkostar, Lahul Fatihah…,

~dari kami yang selalu menyayangimu.