Perasaan yang sama pasti sering menggelayut dalam pikiran banyak warga Nahdliyin: takut ditinggal oleh berapa kiai sepuh yang, jika memakai istilah mendiang Allahu yarham Gus Dur, “ber-kepribadian NU”. Mereka setia dan teguh dengan asas hidup keaswajaan.
Saya teringat dalam pengantar buku persembahan ulang tahunnya ke 93 tahun, Kia Ali Yafie mengutip dua hadis Nabi tentang akhir jaman.
Dua hadis yang dikutip dari kitab Sayyid Ahmad Hasyimi dengan judul “Mukhtarul Ahadist an-Nabawiyah” itu berbunyi: Nubuat Raslullah tentang zaman edan yang lebih banyak fitnah dan di mana orang waras dipaksa mengakui keburukan kaum zalim.
Seorang muslim yang teguh harus mampu mengarungi kehidupan di zaman edan itu dengan satu formulasi: tahu diri. Dalam pengertian KH Ali Yafie, manusia harus tahu menempatkan diri dan bisa membawa diri.
Sejauh yang saya pahami, selain mendiang Allahu yarham Gus Miek, Puang Ali Yafie-lah yang menfasirkan hadis “Man ‘arafa nasfahu ‘arafa rabbahu” dengan “manusia yang tahu diri“.
Kiai Ali Yafie lebih memberikan penekanan kepada bagaimana seorang manusia mencapai status mulia manusia dengan jalan ibadah, hidup sederhana dan penuh martabat. Itu pertama.
Kedua, manusia adalah mahluk sosial yang beradab yang selalu membutuhkan orang lain dan tidak merendahkan olah lain dengan merasa lebih baik dari orang lain,tidak menjadikan diri sebagai ukuran bagi orang lain. Pada makna “mahluk sosial beradab” inilah saya merasakan getar besar kesufian Kiai Ali Yafie.
Pada satu sisi saya membanggakan bahwa Kiai Ali Yafie adalah rangkaian dari kultur keulamaan khas Indonesia Timur, terutama Sulawesi Selatan: sederhana, tegas, hidup bersih, tabahhur fil-‘ilmi dan tidak kompromistik.
Siapapun akan merasakan aura-persona Syaikh Yusuf al-Makasari pada sosok Kiai Ali Yafie.
Dalam khazanah kesejarahan orang pesantren ada kaidah “ukurlah hidupmu dengan ukuran golongan orang saleh” (jangan menjadi ukuran bagi orang lain). Kaidah ini seolah merontokkan pandangan sejarah yang dijangkiti “progresifisme” karena bagi masyarakat pesantren sejarah adalah contoh hidup yang riil, kebenaran dalam tindakan seorang individu yang telah selesai dengan dirinya.
Sejarah bukan hanya data tentang tanggal, bulan, tahun, dan gerakn kemajuan waktu. Di sinilah makna kejamaahan, suara bersama, dari masyarakat NU dan pesantren bergema keras.
Makanya seorang santri yang sabar sebagai santri selalu sibuk mencari sosok yang telah dikuasai oleh kehadiran Allah pada diirnya, sibuk mencari guru dalamm semaknanya, sebenarnya. Sebuah jaringan makna menjadi tujuan pencariannya.
Saya ingin mengatakan bahwa bagi seorang santri sangat penting memiliki guru sejati yang masih hidup karena eksistensi historisnya sangat ditentukan oleh keberadaan orang saleh di dekatnya.
Dalam perjalanan NU sebagai organisasi, KH Ali Yafie pernah bersebrangan pendapat dengan Gus Dur. Bahkan ia termasuk sosok yang tidak takut dengan negara, melawan rezim Orde Baru pada masanya.
Dalam dunia pesantren dibolehkan berbeda pendapat dalam dua level: Pertama, dalam lapangan fikih. “Berbedalah pendapat sepanjang sama-sama memiliki landasan atau dalil.”
Kedua, dalam level tasawuf: berbeda itu biasa di antara mereka yang telah dianugerahi maqom (diberikan anugerah berupa posisi ruhani langsung oleh Allah SWT).
Kalau ada perbedeaan di luar dua kategori tersebut, seperti belakangan ramai di tengah warga NU, potensial menjadi perselisihan tanpa subtansi.
Tapi sangat jarang terjadi ikhtilaf tanpa dalil dan basis ruhani di tengah masyarakat pesantren. Kesepakatan justru sesuatu yang jarang, malah sikap terbiasa menerima perbedaan menjadi ciri yang paling kentara dari kultur santri.
Praktis saat ini, di antara jajaran ulama sepuh NU, Kiai Ali Yafie adalah sosok yang selalu menghentikan pikiran siapapun yang melihat keteguhan dan kebersihan hidup Kiai Ali Yafie.
Sosok ini, setelah tidak aktif di NU dan MUI, praktis jauh dari publisitas, asketisme berjalan yang mencekam batin mereka yang masih memiliki kepekaan.
Terakhir, seperti umumnya para kiai NU, Kiai Ali Yafie adalah seorang fakih-futuh sekaligus.
“Allahumma akrimhu kamaa akramta Ruslika wa anbiyaa-ika wa khossatas-shiddiqiin min-‘ibadika“