Hari ini muncul kabar duka tentang wafatnya seorang maestro Musik campursari Indonesia, Didi Kempot. Tentu hal tersebut mengagetkan mengingat beberapa minggu yang lalu Lord Didi masih manggung di sebuah acara amal.
Wafatnya The Godfather of Brokenheart, julukan Didi Kempot, mengingatkan saya pada percakapan setengah tahun silam. Di sebuah acara nasional pada bulan November, saya berkesempatan ngobrol dengan salah seorang teman tentang fenomena Didi Kempot. Ya, maestro campur sari itu sedang mendulang kejayaannya lagi setelah sekian lama tidak terdengar.
Seorang teman bernama Yusuf berujar, “Saya khawatir, lho.”
“Kenapa, Pak Dhe?” tanyaku. Pak Dhe adalah sebutan akrabnya.
“Habis menghilang kok tiba-tiba naik ke puncak,” ujar Pak Dhe dengan logat ngapaknya yang kental. Pak Dhe adalah orang yang mendalami spiritual Jawa. Ada banyak ajaran kebajikan yang biasa digunakan untuk membaca tanda.
“Bisa jadi waktunya tidak lama lagi.”
Ia mengibaratkan seperti ada orang yang punya riwayat sakit kronis tiba-tiba sembuh dan ceria. Biasanya itu tanda orang akan menghadap pada Yang Maha Kuasa. Jadwal manggung Didi Kempot sangat padat. Di Jogja saja sepanjang Januari-Februari lebih dari lima titik. Ini yang saya ketahui.
Kebangkitan Didi Kempot ini luar biasa karena bisa masuk ke segmen urban millennials yang bahkan gak kenal bahasa Jawa. Ia sudah manggung di hampir semua televisi besar di Indonesia. Dan setiap Lord tampil, suasana selalu pecah. Penonton dan semua kru tidak segan untuk sama-sama bernyanyi dalam nada-nada kepedihan.
Pemandangan ini tentu sulit dibayangkan apabila melihat masa lalu musik campur sari Indonesia yang lebih banyak diputar di radio dan toko-toko penjual kaset bajakan. Atau lagu-lagunya diaransemen sebagai pengiring pertunjukan kuda lumping dan reog Ponorogo.
Namun Didi Kempot berhasil mengangkat pamor lagu-lagunya dan menjadikannya sebagai musik yang bisa dinimkati semua kalangan. Ia menjadikan campursari bisa didengar di hotel berbintang dan klab malam. Di acara pengajian akbar, ketika check-sound juga biasa mendendangkan lagu-lagunya.
Singkat kata, hampir setiap pertemuan yang menyediakan fasilitas sound system selalu diiringi lagu-lagu Didi Kempot. Seolah mustahil orang Indonesia tidak mengenal Didi Kempot yang setahun terakhir memiliki basis fans bernama Sobat Ambyar.
Hampir semua genre musik memainkan lagu Didi Kempot. Mulai dangdut pantura hingga Isyana Saraswati. Mungkin sebentar lagi ada seniman lagu islami yang mengaransemen lagu-lagu Didi Kempot dengan rebana. Atau mungkin sudah ada?
Dudu klambi anyar sing nang njero lemariku
Nanging bojo anyar sing mbok pamerke neng aku
Dudu wangi mawar sing tak sawang neng mripatku
Nanging kowe lali nglarani wong koyo aku
Neng opo seneng aku yen mung gawe laraku
Pamer bojo anyar neng ngarepku
Lagu-lagu Didi Kempot memang kebanyakan berisi tema patah hati. Tetapi lagu-lagu ini tidak absen untuk meramaikan resepsi pernikahan. Agak aneh memang. Tetapi musik Didi Kempot sudah melampaui kata-kata. Ia bisa mengalahkan arti patah hati meyakinkan menjadi sesuatu yang bisa untuk dirayakan.
Mungkin Didi Kempot mengamalkan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa jangan berlebihan dalam mencintai seseorang dan jangan pula terlalu berlebihan dalam membenci. Cinta dan benci bisa bertemu dalam satu arus bernama patah hati. Ya, karena merupakan arus pertemuan, sudah sewajarnya patah hati pun tidak berlebihan.
Jika patah hati, enggak sekalian dijogeti? Merayakan kepedihan adalah bagian dari upaya menetralisir dari berbagai pengaruh di tengah keambyaran.
Wabah adalah diksi yang digunakan untuk menggambarkan pesona Didi Kempot. Bersamaan dengan hilangnya keramaian, kata wabah mulai digunakan untuk menyebut merebaknya virus bernama Corona yang membuat manusia harus banyak berdiam sepi. Meski demikian, Didi Kempot terus berupaya menebar bahagia. Konser di rumah aja Didi Kempot bahkan mendulang 5 milyar rupiah untuk donasi!
Sebagai manusia wajar jika berkabung. Tetapi ingat apa pesan dari Didi Kempot tentang patah hati.
“Patah hati itu enggak usah dibawa terlalu jauh-jauh, jangan ngelamun terlalu panjang. Dibawa untuk hal-hal positif”.
Selamat jalan, legenda… Terima kasih telah memberikan secercah harapan pada umat yang merana dan nestapa akibat patah hati.