1850-1935 M adalah masa di mana mukimin Banten menjadi mukimin Nusantara terbanyak di Mekkah. Mereka yang tinggal di Mekkah, setidaknya terbagi ke dalam tiga golongan: pertama, mereka yang tinggal di Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan memperdalam spiritualitas dan kerohanian; kedua, melaksanakan ibadah haji dan belajar atau mendalami ilmu-ilmu agama; ketiga, mereka yang tinggal di Mekkah untuk mencari nafkah.
Hal tersebut tidak lepas dengan kondisi Haramain yang menjadi tempat belajarnya para pelajar dari Nusantara. Oleh sebab itu, Mekkah menjadi bagian yang sangat penting dalam konstruksi sejarah Islam di Nusantara. Mekkah juga memberikan karakteristik yang khas di dalam pergumulan sejarah Nusantara.
Sebagaimana kota lainnya di dunia Islam, sejak masa klasik sampai awal abad ke-20. Di Mekkah, pengajaran (agama) adalah peran kultural yang didominasi oleh ulama laki-laki. Ratusan jilid biografi (kitab tabaqaat) mencatat ribuan biografi ulama laki-laki dari berbagai mazhab fikih dan aliran teologi, dari masa klasik hingga menjelang abad ke-20. Betapa sangat dominannya kalangan laki-laki dalam transmisi keilmuan Islam, termasuk transmisi keilmuan ulama Nusantara yang belajar di Haramain.
Namun, hal itu bukan berarti ulama dari kalangan perempuan tidak ada dalam transmisi keilmuan ulama Nusantara. Karena pada dasarnya, banyak kalangan perempuan yang mempunyai peran penting dalam transmisi keilmuan Islam di Nusantara, salah satunya adalah sosok ulama perempuan dari Banten yang bernama Nyi Hj. Arnah Cimanuk.
Mengacu pada lembar arsip Konsulat Belanda di Jeddah tahun 1873-1950 M yang disimpan di Nationaal Archief Den Haag, Belanda. Mufti Ali dalam penelitiannya yang berjudul Nyi Hj. Arnah Cimanuk (1876-1923): Seorang Ulama Banten di Mekah, menjelaskan bahwasanya terdapat 96 lebih ulama Nusantara yang mengajar di Mekkah tahun 1913-1914 M, atau satu dasawarsa lebih pasca meninggalnya ulama besar yang dirujuk sebagai mufti al-hijaz, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1898).
Dari 96 ulama tersebut, 28 di antaranya berasal dari Banten. Yang patut dicatat adalah dua di antara 28 ulama dari Banten tersebut adalah ulama perempuan, seorang dari Bandung yang bernama Nyi Hj. Maryam, dan satunya lagi dari Cimanuk Pandeglang, yang bernama Nyi Hj. Arnah. Dokumen yang ditemukan oleh Mufti Ali menjadi sebuah bukti bahwa, dalam sejarah peradaban Islam di Nusantara kalangan perempuan juga ikut menghiasi sejarah peradaban Islam dan transmisi keilmuan di bumi Nusantara.
Nyi Hj. Arnah lahir di Cimanuk, Pandeglang pada tahun 1876 M. beliau adalah mata rantai penting dalam transmisi intelektualitas ulama perempuan Islam, terutama dalam bidang ilmu qira’at, dari periode Syekh Nawawi al-Bantani kepada generasi berikutnya. Selain ilmu qira’at, beliau juga mendalami ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti, fikih, hadis, tafsir, tata bahasa Arab dan tarekat. Ilmu-ilmu tersebut diperoleh dari hasil belajarnya kepada ulama-ulama Banten kelas satu yang tinggal di Mekkah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Tb. Ismail, KH. Ahmad Jaha, Syekh Marzuki, Syekh Arshad bin Alwan, dan Syekh Arsyad bin As’ad.
Ulama perempuan dari Banten ini menjadi salah satu mata rantai penting dalam transmisi keilmuan Islam tradisional, tepatnya dari periode Syekh Nawawi hingga generasi berikutnya. Sanad keilmuannya yang langsung dari Mekkah hingga sekrang masih terus diberikan kepada para santri yang belajar qira’at, khususnya mereka yang belajar di Pesantren Daarul Qur’an di Warunggunung, Rangkasbitung, Lebak dan Pesantren Riyadul Banat di Kadu Peusing, Pandeglang. Semua sanad qira’at para santriwati di kedua pesantren tersebut mengerucut kepada putra satu-satunya Nyi Arnah Cimanuk, yang bernama KH. Emed Bakri. KH. Emed Bakri adalah seorang penyebar qira’at hafs pertama di Pandeglang.
Selain sangat dikenal sebagai ulama pengajar qira’at, Nyi Arnah juga dikenal sebagai penganut tarekat yang selalu menjalankan ibadah puasa dalail (berpuasa hampir seumur hidupnya). Tarekat yang diikuti oleh Nyi Arnah, menurut Mufti Ali adalah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Beliau juga rutin membaca dala’il al-khairat karya Imam Jazuli.
Nama Nyi Arnah bisa disebut sebagai ulama perempuan Banten dari Mekkah untuk Masyarakat Banten, terutama wilayah Pandeglang dan Lebak. Kehadirannya mengobati dahaga haus ilmu pengetahuan dan keagamaan dari sumbernya langsung, yaitu Haramain.
Keahlian dalam bidang qira’at yang dimiliki oleh ulama perempuan dari Banten, juga terwariskan dalam diri anak keturunannya. Bahkan, hampir semua anak keturunan Nyi Hj. Arnah, baik yang berkiprah di Banten, Kuala Lumpur, Jakarta maupun di Bogor, menonjol dalam bidang pengajaran ilmu mengenai tata cara membaca al-Qur’an. Dan Sanad ilmiahnya sampai sekarang masih terus diberikan kepada para santri yang belajar qira’at kepada para anak turun Nyi Arnah. Dan ratusan murid-muridnya, terutama dari kalangan kaum hawa, tersebar di Nusantara.
Sosok ulama perempuan Banten ini meninggal di Jeddah, tepatnya saat perjalanan pulang ke tanah air. Beliau kemudian dimakamkan di komplek pemakaman umum di Jeddah. Meskipun jasadnya sudah tiada, masyarakat Banten masih merekam kuat jejak perjuangan dan jasa ulama perempuan dari Banten ini.
Keulamaan Nyi Hj. Arnah adalah bukti bahwa kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Karena dalam tradisi Islam sendiri disebutkan bahwasanya, kesetaraan dapat diperoleh oleh siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itulah, perempuan dan laki-laki harusnya biasa saling mengisi (partnership) dalam hal pengembangan intelektualitas dan keilmuan.
Sebab, perempuan mempunyai kapasitas yang sama dengan laki-laki dalam hal intelektualitas dan peran dalam mencerdaskan generasi bangsa. Oleh sebab itulah, perempuan disebut sebagai tiang negara. Sebagai bukti bahwasanya perempuan mempunyai peran strategis dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Bahkan, merawat satu perempuan sama halnya dengan merawat seluruh alam. Karena melalui rahimnya lah lahir generasi-generasi masa mendatang.