Nyai Fadhilah dan Kepeduliannya Terhadap Tradisi Literasi di Pesantren Annuqayah

Nyai Fadhilah dan Kepeduliannya Terhadap Tradisi Literasi di Pesantren Annuqayah

Nyai Fadhilah merupakan sosok perempuan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap tradisi literasi di lingkungan pesantren.

Nyai Fadhilah dan Kepeduliannya Terhadap Tradisi Literasi di Pesantren Annuqayah
Sejumlah santriwati sedang membaca buku. Foto: NU Online

Saya merupakan salah seorang alumni Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura. Bagi saya, literasi merupakan kebutuhan primer yang harus terpenuhi. Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini butuh pengetahuan untuk bertahan, termasuk para santri di pesantren. Pengetahuan itu diperoleh melalui aktivitas membaca dan sharing dengan sesama.

Di Pesantren Annuqayah, ada salah seorang pengasuh yang bisa dikatakan cukup inspiratif. Kecintaannya terhadap pengetahuan ia kembangkan di pesantren yang diasuhnya. Tidak hanya itu, santri-santri di pondoknya pun juga kerap mendapat nasihat yang cukup bergizi. Nasehat yang mampu memenuhi kebutuhan anak muda masa kini yang seringkali labil menghadapi persoalan dunia yang tidak menentu.

Namanya adalah Nyai Fadhilah Mukhtar, istri dari pengasuh Pondok Lubangsa Utara bernama Kiai Naqib Hasan. Perempuan yang familiar disapa ‘Ibu Fadhilah’ ini dalam kesehariannya, selain sebagai Ibu Rumah Tangga yang taat terhadap suami dan agama, ia juga mengajar di Perguruan Tinggi Pesantren Annuqayah. Dalam perkuliahannya, ia cukup sering memberikan nasehat kepada santri untuk rajin membaca dan menulis selagi usia muda.

Ia pun juga tahu bahwa minat literasi masyarakat Indonesia berada di urutan ke-71 menurut PISA pada tahun 2018. Sementara, UNESCO menyebutkan bahwa minat literasi masyarakat hanya 0,001 persen saja. Dengan catatan, bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat membaca yang rendah dibanding negara lainnya.

Era globalisasi menyajikan variasi informasi dan budaya yang dapat dengan mudah masuk mempengaruhi pola pikir dan kehidupan kita. Ada yang menganggap bahwa upaya untuk memperbaiki literasi adalah dengan membangun mutu pendidikan dan budaya lingkungan sekolah yang mendukung terhadap kualitas seseorang.

Literasi di Mata Nyai Fadhilah

“Membaca itu penting. Bill Gates saja menyempatkan untuk membaca puluhan hingga ratusan buku dalam setahun. Lalu, kita yang bukan siapa-siapa, kenapa harus membatasi bacaan dan menghindari membaca?” tutur Nyai Fadhilah kepada santri-santrinya suatu kali.

Itu adalah salah satu ungkapan penyemangat tentang pentingnya literasi bagi diri sendiri. Meskipun kaya raya, Bill Gates memiliki kebiasaan membaca buku yang cukup baik. Seorang yang sukses saja mencintai pengetahuan dan membaca buku, lalu bagaimana dengan kita yang belum menjadi siapa-siapa?

Menurut beliau, setiap orang berkesempatan untuk sukses di bidang masing-masing dengan manajemen waktu yang tepat. Namun, setiap orang yang sukses di bidangnya tidak kering akan pengetahuan. Agar bisa menjadi seperti, seseorang harus membaca buku.

Inilah alasan Nyai Fadhilah menerapkan program literasi  di Pondok Lubangsa Utara. Baginya, sebelum menerapkan program ini, ia harus mengetahui banyak hal tentang literasi dan tahu apa yang harus dilakukan dalam kepemimpinannya.

Pengalaman tersebut tidak jauh berbeda dari ungkapan Mirza Yawar Baig (2012: 289). Menurutnya, salah satu rahasia kesuksesan kepemimpinan berdasarkan pada kemampuan seorang pemimpin untuk menginspirasi orang lain agar mengikuti langkahnya. Langkah ini sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Oleh karena itu, Nyai Fadhilah juga memberikan keteladanan kepada para santri. Baginya, literasi itu cukup penting dan perlu dibiasakan dalam kehidupan seseorang.

“Kemampuan saya dalam menulis banyak dipengaruhi lingkungan,” tutur Nyai Fadilah menyampaikan sepintas cerita pengalamannya. Lingkungan memiliki faktor urgen untuk membentuk karakter diri seseorang. Fenomena ini senada dengan pandangan dari John Locke (Locke: 1824) yang menyebutkan bahwa seseorang ibarat kertas putih, lingkungan memiliki andil yang cukup besar mempengaruhi dirinya.

Pesantren Annuqayah memiliki budaya literasi dan sastra dimulai dari pengasuh hingga para santrinya. Sudah sejak lama budaya berkarya ini menyala di lingkungan santri, meski tidak termasuk dalam kurikulum pesantren.

“Pesantren Annuqayah tidak memiliki program khusus tentang literasi. Secara tradisi, ini berlangsung secara turun temurun dari senior ke junior atau melalui bimbingan perorangan maupun kelompok. Di Pondok ini, banyak penerbitan buletin di berbagai lembaga,” kata Nyai Fadhilah.

Tradisi literasi dan berkarya di Pesantren Annuqayah dapat dilihat dari berbagai organisasi di pesantren yang memiliki buletin tersendiri dan membuka peluang bagi para santri untuk mengisinya. Fenomena ini akan lebih baik lagi bila terprogram secara sistematis.

Berangkat dari fenomena itu, Nyai Fadhilah berinisiatif memperbaiki semua kebijakan dan mulai menggantinya dengan kebijakan yang mendukung literasi santri. Misalnya, menyediakan kamar khusus bagi santri yang ingin fokus di bidang literasi, memberi punishment (hukuman) bagi santri yang melanggar dengan membuat karya tulis ilmiah. Menurutnya, langkah tersebut merupakan salah satu cara untuk mengajak santri terbiasa menulis dan dekat dengan buku.

Peduli Terhadap Budaya Literasi di Pesantren

Kepedulian Nyai Fadhilah terhadap tradisi literasi Pesantren Annuqayah berangkat dari kesadaran bahwa tradisi yang sudah berlangsung di pesantren itu memerlukan dukungan dari pengasuh. Beliau mendukung komunitas literasi di kalangan santrinya. Tak jarang beliau diminta untuk menjadi pembimbing mereka.

Baginya, santri perlu diarahkan lebih baik agar mampu mengetahui arah mereka ke depannya. Masa depan para santri akan lebih cerah ketika mereka mencintai buku dan ilmu pengetahuan. Karena itu pula, beliau mewajibkan santri-santrinya untuk membaca. Kewajiban ini disesuaikan dengan jenjang pendidikannya. Misalnya, bagi yang berada di jenjang SMA/MA, mereka wajib membaca minimal 30 buku dalam setahun.

Program itu telah berjalan kurang lebih selama lima tahun. Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir, para santri cukup gencar menulis di buletin pesantren. Bahkan, sebagian tulisan mereka berhasil dimuat oleh media massa. Dan, untuk menjaga semangat para santri di bidang ini, beliau akan memberi reward khusus kepada mereka yang berprestasi.

Menurutnya, keterampilan literasi di Pesantren harus dimiliki oleh semua santri. Tidak hanya di bidang agama, melainkan juga seluruh bidang yang lainnya. Karena, dengan berbekal literasi yang cukup, para santri akan siap ketika dibutuhkan dalam hal apapun di lingkungannya. [NH]