Hingga akhir tahun 1990an, ejek-ejekan dan sindiran poligami selalu diarahkan ke NU. Misalnya ada pertanyaan begini:
“Kenapa masalah prostat lebih banyak dialami lelaki Muhammadiyah ketimbang lelaki NU?”
“Sebab lelaki Muhammadiyah hanya beristri satu.” Begitu Jawabnya.
Tentu saja tak semua lelaki Muhammadiyah beristri hanya satu. Dan nyatanya, lelaki NU poligamis juga sedikit. Saya, misalnya, bagian dari mayoritas lelaki NU yang tidak poligami.
Tapi sejak gerakan tarbiyah mewujud sebagai Partai Keadilan (PK), lalu menjadi Partai Keadilan Sejahter (PKS), beban olok-olok poligami itu diambil-alih oleh mereka.
Mungkin itu karena mereka, PKS, cukup aktif berbicara tentang hal-ihwal poligami. Sejumlah akhwat dan ummahat PKS juga lebih artikulatif menunjukkan ‘dukungan’ terhadap poligami, ketimbang para Nahdliyat (perempuan NU). Tokoh-tokoh PKS pun tak ragu mengisahkan kehidupan poligamis mereka yang harmonis dan bahagia (dan jika tidak harmonis diumpetin).
Boleh dibilang, kehadiran PKS dalam hal ini membawa manfaat bagi NU. Ya, lelaki poligami tidak lagi menempel pada NU, tapi PKS.
Tapi begini ya. Meski etos NU dan Muhammadiyah soal poligami itu berbeda, kenyatannya pendiri kedua lembaga itu sama-sama poligamis. Istri KH Ahmad Dahlan ada empat. Setahu saya, salah satu ketua Muhammadiyah belakangan juga ada yang poligamis.
Nah, dengan berbekal sedikit pengetahuan soal pernikahan kedua Imam Besar Muslim Nusantara itu, saya berharap film-film tentang KH Ahmad Dahlan tak akan ragu-ragu untuk memberikan gambaran tentang poligami beliau.
Saya berharap film Sang Pencerah menampilkannya, dan saya berharap film Nyai Ahmad Dahlan yang kemarin siang saya tonton bersama teman-teman Kagama Virtual (KAVIR) juga menampilkannya.
Sayangnya, kedua film itu sama sekali tak menyentuh soal poligami KH Ahmad Dahlan. Saya paham, mungkin isu ini sensitif bagi warga Muhammadiyah. Mereka mending tak membahasnya. Tapi saya menduga, poligami KH Ahmad Dahlan ini adalah aspek yang sangat penting, yang turut menentukan langkah dakwah dan gerakan yang dipimpinnya.
Terlebih ketika film itu membahas era awal Muhammadiyah dari sudut pandang Nyai Walidah, saya merasa bahwa soal poligami ini sama sekali tak bisa diabaikan. Saya menduga, dan berharap di film tersebut dibahas, bahwa kehidupan poligamis Mbah Ahmad Dahlan telah turut mendorong Nyai Walidah untuk berkiprah di ranah publik lewat persyarikatan Aisyiyah.
Saya menduga bahwa dorongan peran besar yang dia ambil di ranah publik adalah upaya kompensasi dari kemungkinan (sekali lagi: kemungkinan) disharmoni di ranah domestik.
Ini tidak terlalu ideal, namun manusiawi. Dugaan saya bisa betul, bisa pula salah. Saya berharap film tadi siang memberikan jawaban terhadap dugaan itu.
Tapi tidak. Tak ada jawaban itu dalam film Nyai Ahmad Dahlan. Soal poligami, film itu sama bisunya dengan Sang Pencerah. Penasaran? Tonton segera filmnya.
Abdul Gaffar Karim, Dosen di Fisipol UGM, Jogjakarta.