Sebelum film Buya Hamka tayang serentak di seluruh Bioskop Indonesia pada 20 April 2023, lebih dulu produser film menggelar Gala Premiere di 18 kota pada 9 April 2023. Di antara 18 kota yang terpilih itu, salah satunya adalah Malang. Dan UIN Malang menjadi salah satu perguruan tinggi yang dipercayai mengawal penyelenggaraan Gala Premiere di Kota Dingin itu.
Penonton pun tidak perlu merogoh koceknya, mereka diberi tiket secara gratis. Peserta yang terpilih menjadi penonton adalah mahasiswa dari setiap perguruan tinggi yang menyelenggarakan, jumlahnya sekitar 100 orang mahasiswa. Tidak hanya itu, mereka yang beruntung berhak mendapatkan buku novel biografi Buya Hamka yang ditulis A. Fuadi, novelis ulung yang telah menelurkan novel-novel best seller, Anak Rantau dan Negeri 5 Menara. Saya termasuk orang yang beruntung bisa mendapatkan buku itu dan nonton secara gratis.
Sekilas Tentang Buya Hamka
Hamka merupakan nama singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Sejak kecil, sanak keluarga dan orang-orang sekitarnya kerap memanggilnya Malik. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis. Bapaknya, Haji Rasul, merupakan tokoh agama terkemuka di daerahnya, bahkan namanya mentereng hampir di seluruh penjuru Nusantara.Tak heran, karakter Malik yang agamis terbentuk sejak kecil melalui keluarga dan lingkungannya.
Meski demikian, Malik tak merasakan kenyamanan dalam kehidupan bersama orang tuanya. Ia justru kecewa atas keputusan ayahnya yang cerai dengan ibunya, dan memilih menikah dengan wanita lain.
Kekecewaan ini membuat Malik hijrah ke tempat yang entah, tanpa sepengetahuan siapapun. Namun, kepergian Malik bukan tanpa alasan, ia justru ingin membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi orang yang diinginkan oleh orang tuanya. Tekadnya mencari ilmu sangat kuat. Siapa sangka, Malik ditakdirkan menimba ilmu di Tanah Suci saat ia pergi berhaji dengan ongkos mandiri yang tentu, sangat pas-pasan.
Tak lama di Mekkah, hanya sekitar setahun saja. Lalu atas saran Haji Agus Salim, ia kembali ke tanah air. Di tanah airnya ini lah, Hamka semakin matang. Semakin produktif menulis dan mengisi acara di mana-mana. Ini semua berkat satu nasihat gurunya, HOS. Cokroaminoto, yang selalu ia jadikan prinsip dalam hidupnya: “Dan kalau kamu ingin jadi pemimpin besar, menulislah seperti seorang wartawan, dan berbicaralah seperti seorang orator.”
Itulah yang membuat Malik semakin aktif dan gigih dalam melakukan apapun. Keaktifan Malik dalam berjuang di masyarakat menarik simpati besar masyarakat. Banyak yang menaruh hati padanya. Bahkan, salah seorang warga tak segan menawarkan puterinya untuk dinikahi oleh Malik menjadi istri ke-2. Tapi Malik menolaknya. Alasannya tidak lain karena Malik sangat menyayangi istirnya. Malik juga tak ingin mengikuti jejak ayahnya. Baginya, tak nyaman jika dalam satu rumah ada orang tua yang tak sedarah dengan anaknya. Dan Malik tak ingin perasaan yang menimpanya dulu dirasakan oleh anaknya.
Keaktifan Malik, selain mendapat pinangan dari orang kampungnya, ia juga dipinang menjadi pimpinan redaksi di koran Pedoman Masyarakat. Waktu itu merupakan media yang berpengaruh milik Muhamadiyah. Di tempat barunya inilah, medan perjuangannya semakin luas. Tulisan-tulisannya dinikmati oleh banyak orang dan banyak menuai pujian. Dari golongan elit, hingga rakyat biasa.
Tak jarang para tokoh pergerakan nasional, seperti Soekarno, memuji dan mengajak bertemu dengannya. Mereka berdua akhirnya bertemu di pengasingan Bung Karno, pada Januari 1941, melalui perantara Abdul Karim Oei Ceng Hien. Tak lupa mereka berfoto sebagai dokumentasi atas pertemuan yang sangat berharga ini.
Singkat cerita, Hamka mulai banyak terlibat dalam persoalan diplomasi terhadap penjajah. Tujuannya sangat mulia, yakni menjaga harga diri dan martabat bangsa. Meski ikhtiarnya ini menuai pro-kontra. Ada yang memfitnahnya sebagai penghianat bangsa, ada juga yang tetap mendukungnya. Namun ia tetap berpegang teguh pada prinsipnya. Tak hanya berhadapan dengan penjajah, ia juga terlibat konflik internal dari bangsanya sendiri.
Ringan, Tapi Kaya Akan Informasi
Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, buku Buya Hamka berbentuk novel. Keren bukan? Buku sejarah biografi yang biasanya ditulis ilmiah dan jenuh kalau dibaca, kali ini dibuat versi novel. Layaknya membaca novel, pembaca akan semakin larut menikmati setiap perjalanan hidup yang ditempuh oleh tokoh yang diceritakan.
Novel Buya Hamka ditulis oleh novelis kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, tempat Hamka besar bersama orang tuanya. Tak ayal, dalam buku ini, penulis sangat lihai menguraikan alur dan dialog khas Sumatera, sebab ia paham betul karakter masyarakat, bahasa, dan adat tokoh yang ditulisnya. Tentu, ini sangat berpengaruh pada kondisi para pembaca. Mereka benar-benar akan terbawa pada suasana tempat tinggal, lingkungan, dan hiruk pikuk kehidupan Hamka.
Meski demikian, dalam buku ini, penulis tak berlebihan menggunakan bahasa daerah. Berbeda dengan dialog yang ditayangkan dalam film, yang lebih dominan menggunakan bahasa daerah. Tentu, ini dapat memudahkan pembaca memahami setiap dialog antar tokoh.
Buku ini juga dapat menjadi pelengkap dari film yang ditayangkan.
Tak cukup hanya sekedar menonton film saja. Sebab, dalam film tersebut, pada episode yang baru tayang kemarin, ada beberapa cerita yang terlewatkan. Misal saat Hamka berani dengan lantang menyampaikan aspirasi di tengah acara pergantian pejabat baru dari pihak Jepang. Keberanian Hamka ini kemudian membuat Nakashima, jenderal yang baru terpilih itu, tercengang dan meminang Hamka jadi penasehatnya.
Memang, semua cerita yang terdapat dalam buku ini tidak sepenuhnya ditayangkan. Sebab film ini terbagi menjadi 3 episode/volume. Dan pada volume 1, dalam buku ini, ceritanya hanya berkisar sampai halaman 255, saat kabar kemerdekaan telah didengarnya. Tetapi, penggalan cerita di atas merupakan awal mula Hamka diminta menjadi penasehat agama. Dalam film tersebut, Hamka sudah diminta bertemu dan dipinang menjadi penasehat jenderal Jepang itu. Dan banyak lagi cerita-cerita yang bisa kita temukan dalam buku ini.
Dokumentasi Sebagai Bukti dalam Karya Biografi
Tak banyak penulis yang menyajikan biografi tokoh dalam bentuk novel. Sependek yang saya ketahui, Aguk Irawan M. N. termasuk orang yang getol menulis biografi tokoh dalam bentuk novel. Di antara tokoh yang pernah ia tulis: Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Kartini, Sosrokartono, Gus Dur, dan Mahfud MD.
Novel biografi yang ditulis Aguk Irawan tergolong detail dan lengkap. Dalam novel biografi Mbah Hasyim, misalnya, yang berjudul Sang Penakluk Badai. Di akhir tulisan, Aguk melampirkan dokumentasi-dokumentasi penting dan langka. Ini sangat membantu pembaca mengetahui lebih jauh tentang perjuangan tokoh yang diceritakan. Minimal, sedikit tau potret kehidupan tokoh melalui gambar tersebut. Dan gambar ini bisa menguatkan bukti sejarah.
Berbeda dengan novel Buya Hamka, pembaca sebatas mengetahui dari teks demi teks, tanpa melampirkan bukti dokumentasi. Padahal dokumentasi itu penting. Paling tidak, adanya dokumentasi dapat memvalidasi cerita tersebut, dan dapat menarik minat pembaca, khususnya yang masih kurang hobi membaca, yang notabene suka dengan cerita disertai gambar.
Meski dokumentasi sifatnya hanya pelengkap, tapi sekali lagi, dalam sejarah, dokumentasi sangat penting dan dapat memperkuat bukti sejarah tersebut. Dokumetasi bisa mewakili ekspresi setiap kejadian. Sekurangnya, pembaca cukup mengetaui bukti-bukti atau lampiran-lampiran dokumentasi penting itu melalui satu buku, tanpa harus pergi untuk melacak ke museum-museum.
[NH]
Judul Buku: Buya Hamka
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: PT Falcon
Cetakan pertama: April 2023
ISBN: 978-602-6714-83-1