Ajaran untuk berqurban dalam Islam berlandaskan pada peristiwa sejarah yang dialami oleh nabi Ibrahim as dan nabi Ismail as. Peristiwa tersebut tercatat dalam al-Qur’an, ketika nabi Ibrahim as meminta pendapat pada nabi Ismail as tentang mimpinya yang memerintahkan untuk menyembelih Ismail. (NKRI Bersyariah)
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S as-Saffat:102)
Namun, ketika Ismail hendak disembelih, Allah justru menggantinya dengan seekor domba besar. Sehingga kejadian ini menjadi yurisprudensi untuk perintah berqurban sebagaimana yang diperintahkan dalam Q.S al-Kautsar: 2, yakni “Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah)”.
Namun, berdasarkan cerita di atas, terdapat fragmen yang menarik untuk dipertanyakan, mengapa Ibrahim, sebagai seorang nabi Allah meminta kepada Ismail untuk menanggapi mimpinya? Bukankah sudah jelas bahwa ia merupakan seorang nabi, dan sebagai nabi ia wajib menjalankan perintah Allah swt. Lalu, apa jadinya bilamana Ismail as menolak untuk disembelih?
Pacta Sun Servanda
Sebagai seorang nabi sekaligus seorang bapak, Ibrahim AS dapat saja melakukan eksekusi penyembelihan Ismail tanpa meminta pendapat anaknya. Namun, hal demikian tidak dilakukan oleh Ibrahim tanpa melalui satu tahapan, yakni dialog dengan Ismail untuk membentuk kesepakatan.
Dalam peristiwa tersebut, salah satu hal penting yang dapat kita tangkap adalah bagaimana suatu kebenaran tidak serta-merta diterapkan hanya karena ia adalah kebenaran yang diyakini. Bahkan suatu perintah yang datangnya dari yang Maha Benar tidak langsung dilaksanakan oleh nabi-Nya. Ibrahim AS memberi teladan dalam sejarah kemanusiaan untuk menyiapkan ruang dialog sebelum melakukan eksekusi perintah Tuhannya.
Watak demokratis ini dicontohkan dengan memberi ruang bagi pihak lain untuk memberikan tanggapannya, yakni menundukkan diri atau tidak. Sebab, perintah penyembelihan diberikan pada Ibrahim yang melibatkan pihak lain yakni anaknya sendiri: Ismail AS.
Proses dialog antara keduanya menjelaskan bahwa untuk melaksanakan suatu perintah yang melibatkan pihak lain, dibutuhkan persetujuan pihak-pihak yang terlibat, dalam peristiwa tersebut yakni Ismail AS.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Ibrahim AS ketika hendak menyembelih Ismail adalah kesepakatan kedua belah pihak lewat persetujuan nabi Ismail AS, karena mereka telah menundukkan diri dalam perintah Allah SWT yang diberikan pada Ibrahim AS lewat mimpi.
Dalam hukum perdata hal tersebut dikenal dengan asas Pacta Sun Servanda, di mana hukum berlaku bagi kedua belah pihak (Ibrahim dan Ismail) yang memiliki kehendak bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri atau tunduk pada kesepakatan yang mereka sepakati.
Sekali lagi, hal tersebut digambarkan lewat dialog antara keduanya, Ismail AS diberikan kesempatan untuk memikirkan apakah ia akan menundukkan diri atau tidak. Pemuliaan terhadap hak manusia yang dicontohkan tersebut merupakan energi besar yang perlu diserap dalam pengamalan kehidupan kita hari ini.
Belakangan ini, kita seringkali terlampau berlebihan dalam mengekspresikan kebenaran yang kita yakini. Padahal kebenaran tersebut tidak diadopsi bersama secara universal melainkan kebenaran yang diadopsi oleh kelompok-kelompok tertentu.
Berbagai kelompok mengatasnamakan Tuhan untuk melegitimasi kehendaknya, padahal kehendak Tuhan seharusnya diejawantahkan lewat ketundukan bersama bagi setiap orang yang terlibat atau memiliki keterkaitan di dalamnya.
Contoh yang dapat diangkat ialah seperti halnya ijtima ulama yang telah berjilid-jilid belakangan ini. Upaya pengguliran konsep NKRI bersyariah yang telah banyak dikritik oleh masyarakat justru menunjukkan kegagalan mereka dalam meneladani fakta sejarah yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim dan Ismail.
Alih-alih memformulasikan konsep NKRI bersyariah yang logis di ruang publik, mereka justru hanya menjelma sebagai kelompok yang memperjuangkan kehendak politis kelompok mereka sendiri ketimbang perwujudan kehendak Tuhan.