“Nikahi Aku, Fahri!”: Fenomena Kalahnya Perempuan dalam AAC2

“Nikahi Aku, Fahri!”: Fenomena Kalahnya Perempuan dalam AAC2

Ayat-ayat cinta 2 turut mengokohkan argumen bahwa perempuan yang tidak mampu memberikan keturunan bagi pasangannya akan tertekan hidupnya.

“Nikahi Aku, Fahri!”: Fenomena Kalahnya Perempuan dalam AAC2
Apakah film ayat-ayat cinta 2 memakai ayat patrialkal untuk legitimasi?

“Nikahi aku, Fahri.” Penggalan kalimat itu diucapkan Chelsea Islan yang berperan sebagai Keira dalam Film Ayat-Ayat Cinta 2. Petikan omongan Keira itu begitu menggemparkan jagad dunia maya, bahkan muncul meme yang dilempar ke lini media sosial.

Potongan dialog Keira yang meminta Fahri untuk menjadikannya istri cukup membawa penonton untuk menilai bahwa film yang telah tembus lebih dari 2.300.000 penonton ini sebagai film yang mengagungkan budaya patriarki.

Karakter Fahri yang dimainkan oleh Fedi Nuril begitu ditampilkan bak malaikat. Ia digambarkan sebagai sosok pria yang tidak pernah marah, teduh, pemaaf, pintar, pekerja keras, pembawaannya tenang, mapan, penyayang, dan sederet sikap positif lainnya.

Fahri adalah pria Indonesia yang berprofesi sebagai dosen di universitas ternama Edinburgh . Jiwa bisnisnya juga ditunjukkan lewat minimarket yang ia punyai. Fahri terlihat begitu disegani lantaran perangainya yang baik. Pakaian yang ia kenakan necis, tutur katanya halus, dan tindak-tanduknya seolah tidak ingin menyakiti orang lain.

Para pria yang menonton film ini tentu ada yang merasa was-was. Pasalnya para perempuan pasti akan ada yang tergila-gila dengan sosok Fahri yang nyaris sempurna tiada cacat. Inilah akibat dari konstruksi sosial yang dibangun. Pria ditempatkan pada kasta yang tinggi. Pria pantang direndahkan di hadapan perempuan. Simbol-simbol pria budaya patriarki semuanya lekat dalam tokoh Fahri.

Film ini menempatkan Fahri sebagai pria yang dikelilingi banyak perempuan. Perempuan yang ada di sekitarnya dibuat takluk pada pesonanya. Ada Aisya, Hulya, Sabina, Keira, dan Brenda. Perempuan itu saling terlibat emosi dengan Fahri. Perempuan yang berperan di film yang disutradarai Guntur Soehardjanto ini benar-benar terkalahkan dengan Fahri. Dominasi pria dalam film ini terlihat menjengkelkan.

Misalnya, Aisya yang memilih untuk menyamar sebagai Sabina dengan alasan tidak ingin menyakiti hati Fahri karena fisik dan rupanya telah hancur, tidak sama seperti saat mereka kumpul sebagai pasangan suama istri. Aisya adalah istri Fahri yang telah lama menghilang. Fahri pun bertahun-tahun tidak mendapatkan kabar tentang Aisya yang berjuang di medan perang.

Apakah perempuan hanya dipandang indah dan baik secara fisik? Mengapa perempuan harus merasa sebegitu hina ketika ia tidak sama seperti awal pernikahan? Kerusakan fisik yang dialami Aisya, lagi-lagi juga disengaja olehnya demi cintanya terhadap Fahri. Aisya lebih memilih merobek mukanya dengan cara menggoreskan ke dinding dan menusuk alat kelaminnya supaya rusak agar tentara Israel urung menyetubuhinya.

Dari sini tertangkap bahwa sudah lumrah di masyarakat bahwa perempuan dipandang tinggi hanya berdasarkan kecantikan fisik dan kemampuannya menjaga marwah kesucian vagina. Ini menjadi sayatan mendalam. Masyarakat lantas menuding perempuan adalah hina dan rendah ketika ia diperkosa, ketika ia tidak lagi perawan tanpa adanya suami.

Apakah masyarakat tidak memikirkan bagaimana pedihnya nasib yang harus diterima perempuan yang menjadi korban perkosaan? Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Hidupnya makin tidak karuan, sudah harus menanggung pilu dampak diperkosa, ditambah pula hujatan dari masyarakat.

Yang disayangkan lagi dalam film ini adalah tentang Fahri yang gagal mengenali Aisyah, istrinya. Bukankah Aisya dulu juga sudah memakai cadar saat dipersunting Fahri? Mengherankan jika Fahri gagal mengidentifikasi sorot mata Sabina yang ternyata adalah Aisya istrinya.

Apakah suara Sabina tidak mengingatkan Fahri dengan Aisya? Masakan racikan Sabina apakah berbeda dengan Aisya? Runtuh sudah anggapan Fahri sebagai seorang yang setia dan penyayang istri.

Aisya berkali-kali harus mengorbankan perasaan cintanya ke Fahri. Aisya yang beralih nama menjadi Sabina memilih bungkam tatkala menyaksikan Hulya, sepupunya menaruh hati ke Fahri, suaminya. Siapa yang tidak ikut pedih hatinya menonton Aisya yang hatinya teriris ketika Fahri menikah lagi dengan Hulya? Apakah perempuan harus terus-terusan menjadi gender kelas dua?

Perempuan sungguh punya suara. Suara perempuan juga harus didengar. Perempuan juga pantas mengeluarkan ekspresi dari perasaan yang ia pendam. Bukan tindakan memalukan jika perempuan berani menyampaikan rasa cintanya ke lelaki, apalagi itu suaminya sendiri.

Hulya, perempuan berpendidikan tinggi pun terkesan ditawarkan kepada Fahri oleh ayahnya sendiri. Ayah Hulya ikut campur memengaruhi Fahri agar segera meminang Hulya. Hulya seperti tidak punya kebebasan untuk menentukan cara sendiri agar Fahri memilih dirinya.

Ketika akhirnya menikah dengan Fahri, cerita mengenai cita-cita Hulya meneruskan postgraduate tidak dilanjutkan lagi. Apakah ini tandanya Hulya memupuskan mimpinya untuk mengembangkan diri lewat jalur pendidikan? Kondisi ini memang jamak terjadi di masyarakat. Perempuan kerap terganjal keinginannya untuk meraih gelar setinggi-tingginya setelah dipersunting seorang lelaki.

Istilah “konco wingking” masih langgeng dipertahankan masyarakat untuk menyebut perempuan yang berstatus sebagai istri. Ini sebuah stereotipe yang pelan-pelan membuat perempuan terkungkung dengan norma-norma kaku dan sepihak yang diciptakan masyarakat.

Membuat Perempuan Berani

Film sebagai media inseminasi budaya sepatutnya mulai memosisikan perempuan setara dengan laki-laki. Pesan dalam film harus bisa mengedukasi perempuan untuk bangkit dari keterpurukan penindasan, bukan malah semakin mengekalkan penenakanan itu. Film jangan melulu menghakimi perempuan berdasar sudut pandang mata lelaki. Film harus mampu mendobrak pasar, menyentuh masyarakat dengan isu-isu perempuan.

Ayat-ayat cinta 2 turut mengokohkan argumen bahwa perempuan yang tidak mampu memberikan keturunan bagi pasangannya akan tertekan hidupnya. Proses reproduksi yang berlangsung dalam tubuh perempuan seharusnya menjadi daulat perempuan itu sendiri. Orang lain tidak perlu menyudutkan perempuan yang memang belum mau atau belum saatnya dikaruniai momongan.

Mulai sekarang, berhenti menghakimi perempuan yang belum hamil sebagai perempuan yang gagal menjalani peran. Perempuan tetap sempurna, sudah atau belumkah dia menjadi ibu.

Keira juga menjadi cerminaan betapa perempuan harus bertaruh menukar dirinya dengan kehendak yang begitu diidam-idamkan. Tradisi seperti ini harus dihilangkan. Perempuan untuk menggapai asa jangan sampai menyerahkan diri ke orang lain. Perempuan bukan komoditas yang diperjual-belikan. Kebahagiaan perempuan harus hadir melalui cara-cara yang mendukung kebahagiaan itu sendiri.

Ketika Keira berhasil menggelar konser, ia pun diwawancarai. Ada babak yang direka layaknya kisah dongeng. Intinya, siapapun yang menolong Keira hingga sukses, jika perempuan akan dijadikan saudara, jika laki-laki akan diminta menjadi suami Keira. Sungguh tidak setimpal. Pernikahan seolah ajang menyerahkan perempuan kepada laki-laki untuk dimiliki seutuhnya. Perlu ditegaskan bahwa perempuan bukan objek dan bukan pula barang.

Saatnya perempuan menerjang batasan-batasan konstruksi patriarki. Perempuan dan laki-laki hakikatnya sama. Masyarakat patut menghapus sekat-sekat antara perempuan dan laki-laki. Ingat, yang ditekankan untuk diingat masyarakat adalah, gender bicara soal peran sedangkan seks membahas soal alat kelamin. Selamat berbahagia para perempuan di luar sana! Mari keluar dari gelombang opresi.