Diari Keikutsertaan Pada Konferensi Ulama Internasional Jatman 2016
Dini hari sekitar jam 3 (27/7) saya tiba di hotel Santika, Pekalongan, Jawa Tengah, bersamaan dengan seorang ulama Prancis. Saya mendatangi meja registrasi kepesertaan Konferensi Ulama Internasional dan ia juga serupa. Tapi ia tidak melakukan registrasi seperti saya, melainkan meminta bantuan kepada panitia.
“Ana ahtaju al-maqwa,” katanya. Ia berbahasa Arab dengan aksen ‘Prancis medok’, panitia kelihatan tak mahir bahasa Arab atau mungkin kebingungan dengan bahasa Arab berlogat Prancis, sedangkan LO ulama itu English interpreter—mungkin mulanya panitia mengira ulama Prancis akan speaking–English, jadi disediakan guide bahasa Inggris, ternyata di luar prekdisi—ulama itu kemudian menggunakan bahasa tubuh seperti pantomime: memerankan tokoh orang menyetrika. Panitia lantas paham bahwa ulama Prancis itu butuh alat setrika. Saya mengantuk berat saat itu dan hanya menyaksikan saja.
Konferensi Ulama Internasional yang diselenggarakan oleh Jamiyah Ahlit Thaqiah Al-Muktabarah An-Nahdliyah (JATMAN) ini bekerjasama Kementrian Pertahananan RI resmi dibuka oleh tuan rumah pada pagi hari sampai zuhur tiba. KH Habib Lutfi bin Yahya, sebagai Rais Am Jatman juga dari Pemerintah RI (Kementrian Pertahanan) membuka acara setelah sebelumnya melantunkan mars lagu kebangsaan Indonesia Raya dan naviri Ayat Suci Al-Quran. Acara konferensi berlokasi di tiga tempat: Gedung Junaid, Hotel Santika, dan Kanzus Shalawat. Berlangsung selama tiga hari, 27-29 Juli 2016. Konferensi yang digelar pertama kali oleh Jatman ibarat pertemuan agung ulama-ulama, mufti, mursyid tarekat, akademisi, aktivis lembaga-lembaga Islam dan para cendikiawan muslim terdiri dari 46 negara dan bertema Bela Negara (State Defense/ad-Difa’ anil Wathan): Konsep dan Urgensinya dalam Islam. Sebuah tema hasil Konsensus Konferensi Ulama Tarekat yang telah diselenggarakan setengah tahun sebelumnya, 15 Januari 2016, di Pekalongan.
Dalam Konsensus tersebut menghasilkan 9 (Sembilan) butir kesepakatan yang telah disetujui oleh delapan tokoh ulama dunia pada saat itu tentang tema besar Bela Negara, kedelapan ulama tersebut adalah, Habib Muhammad Lutfi bin Yahya (Rais Am Jatman, Indonesia), DR. Syaikh Muhammad Adnan Al-Afyuni (Mufti Syafi’iyah, Suriah), Dr. Syaikh Aziz al-Idrisi (Presiden International Academic Centre of Sufi and Etic Studies, Maroko), Prof.Dr. Syaikh Muhammad Sulaiman (Sekjen Lembaga Tinggi Dakwah Sudan), Habib Zaid bin Yahya (Direktur Lembaga Penelitian Studi Yaman), Dr. Syaikh Aziz Abidin (American Open Univiersity of California, USA), Syaikh Aun Mu’in Al-Qaddumi (Direktur Lembaga Studi Al-Miaarij Yordania, yang kesemuanya juga hadir dan sebagian menjadi pemakalah seminar Konferensi Ulama Internasional. Kesembilan konsensus dan penjelasannya bisa anda akses di situs resmi Jatman.
Sepengetahuan saya–perlu kamu ketahui bahwa saya hanya mengikuti seminar-seminar yang diselenggarakan di Hotel Santika—terdapat 13 (tiga belas) makalah yang masing-masing ditulis oleh satu ulama. Saya tidak mengikuti acara di Gedung Junaid yang diisi pembicara lokal seperti KH Hasyim Muzadi dan Gubernur NTB, keterbatasan waktu sekaligus acara di kedua lokasi berbarengan serta tidak adanya kendaraan pribadi untuk ngetan-ngulon ke sana. Saya datang ke Konferensi naik kendaraan umum bersama istri, jadi tentu saja catatan perjalanan ini hanya sebatas pengalaman saya seorang diri, mohon dimaafkan atas keterbatasan ini. Ketika berlangsungnya acara, panitia menyediakan alat interpreter bagi kami, sehingga bagi peserta yang tidak menguasai bahasa Arab akan mudah memahami. Konferensi diikuti 300 orang (sudah termasuk peserta, pembicara dan panitia) yang terdiri dari berbagai instansi, pemerintah, organisasi, pesantren dan perguruan tinggi.
Di Hotel Santika, sesi seminar dimulai dengan mengangkat topik Persatuan dan Resolusi Konflik Antar Umat Islam yang disampaikan Dr. Muhammad Abdul Malik Abdurrahman as-Sa’di (Dosen Universitas Islam Internasional, Oman). Menurutnya, “banyak faktor pemersatu dan pemecah konflik umat Islam, kata “hablun” (QS Ali Imran: 103) ditafsirkannya sebagai perwujudan lembaga untuk mempersatukan umat, dan yang mencerai-beraikan umat bila mana terjadi fanatisme buta. “Al-muslimu kajinsin wahidin,” katanya, mengutip sabda Rasul.
Syaikh Adnan Al-Afyuni (Mufti Akbar Suriah) menyampaikan makalah relasi agama dan negara, Al-Afyuni berpijak dari sebuah hadis bahwa “Islam dan penguasa adalah ibarat saudara kembar. Masing-masing tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa yang lain…”. Dia juga menjelaskan bahwa rasul merupakan manusia pertama di dunia yang melakukan konstitusi lewat perjanjian Piagam Madinah.
Kemudian sesi selanjutnya, Dr. Othman Shibly (USA) yang dikenal seorang dokter dan murid dari Almarhum Syaikh Ahmad Kaftaro menyampaikan seminar persatuan dan resolusi konflik antara muslim dan non-muslim dalam bingkai agama, di luar makalahnya ia sempat menyampaikan fragmen di Palestina.
“Realita perlindungan di Palestina hari ini, setiap muslim yang meminta perlindungan kepada Yahudi tidak seperti Yahudi meminta perlindungan kepada muslim,” katanya, yang disambut peserta dengan lantunan salawat. Semua peserta seolah larut dalam kesedihan.
Prof. Dr Abdul Ghaffar Syarif dengan menggebu-gebu menyampaikan topik Dhohiratut-takfir. Menurutnya penyebab takfir adalah kebodohan itu sendiri, radikalisme terjadi karena tidak mampu memahami turots, kitab-kitab Islam. Ditambahkan, penelitian di Kuwait menunjukkan bahwa 70% kasus takfir karena ketidaktahuan/kebodohan yang menimpa pelakunya. Menurutnya, pengkafiran, tidak ada hubungannya dengan pikiran manusia melainkan urusan syariat, peran syariat bukanlah peran akal. Sehingga banyak kefasikan yang tidak disengaja, seperti fatwa Imam Nawawi bahwa mencela sesama muslim hukumnya fasiq. Dosen Universitas Kuwait itu mengutip Al-Ghazali, “Yang harus kita hindari adalah takfir kepada orang yang masih menghadap kiblat.”
Dilanjutkan dengan Dr. Rasyid Ibrahim Al-Muraikhi (Bahrain) yang mempresentasikan makalah berjudul “Intisari Makna Jihad yang Benar”. Menurutnya, jihad dan terorisme itu berbeda. Jihad berbudaya, sedangkan terorisme merupakan kebiadaban.
“Jihad harus menciptakan rasa aman, bukan menciptakan ketakutan.” Dan dia sempat menyinggung soal media, banyak orang yang salah memahami Islam karena teroris dan kaum radikal bekerja tiap waktu baik di dunia maya maupun nyata, sependapat dengan hal tersebut.
Prof. Abdul Ghaffar Syareef menambahkan, “Kita adalah fukaha yang tidur nyenyak di hotel, sedangkan teroris dan radikal bekerja tiap waktu di media, itulah mengapa wajah islam menjadi menakutkan di media saat ini.”
Masih banyak sesi lainnya yang tak sempat saya tulis dalam kesempatan kali ini. Akan tetapi tulisan ini hanya kilasan kesan dalam di bloknot atau memori kepala saya, bukan resume seminar atau liputan kegiatan konferensi yang utuh. Setiap sesi dibuka 2-4 penanya dan tanggapan. Pernah ada yang sempat melontar pertanyaan mengenai persoalan pemimpin non-muslim yang terjadi di Jakarta, pertanyaan itu langsung direspon oleh Habib Lutfi Bin Yahya.
Habib Lutfi yang duduk di kursi peserta kemudian maju ke podium dan mengambil mikropon, dengan gaya khas seorang dai beliau menjawab pertanyaan tersebut, “Konferensi ini terdiri dari para ulama dari berbagai negara. Apabila anda membawa persoalan Jakarta ke mari, salah tempat. Lebih bijak kiranya bila pertanyaan itu anda sampaikan kepada ulama-ulama Jakarta. Ulama Jakarta yang berhak menjawab.” Tegas Habib.
Pagi sampai siang hari Jumat (29/7) Konferensi resmi ditutup di Kanzus Salawat di Jalan Wahidin daerah Noyotakan (kediaman Habib Lutfi), seluruh peserta diangkut dengan puluhan mobil dan dua bus dari hotel Santika berjamaah dengan para peserta umum. Salawat didengungkan bersama lebih dari seribu hadirin. Habib Lutfi menyampaikan pidato ikrar bela Negara. Wakil Ketua PBNU menyampaikan sambutan atas nama ulama dalam negeri dan menyusul sambutan sambutan perwakilan ulama luar negeri, pungkasnya ada beberapa ulama naik panggung dan menampilkan lagu-lagu salawat dengan gaya bangsa masing-masing, seperti ulama dari Jepang dan—yang paling nyentrik adalah ulama Gana, Syaikh Tijani bin Omar yang bernyanyi puji-pujian kepada Nabi diselingi dengan yel-yel “aku trisno pekalongan Indonesia….”
Bakda salat Jumat, seluruh hadirin pulang ke daerah masing-masing dan ke negara masing-masing untuk menyampaikan bela negara kepada masyarakat di lingkungannya.
Bagi saya, konferensi yang digelar singkat ini begitu signifikan mengangkat topik-topik persoalaan negara dalam perspektif agama yang merupakan pembahasan penting atas persoalan umat mutakhir. Tak lupa kemegahan acaranya terasa mulai dari pawai pra-pembukaan sampai dengan penyajian sarapan pagi, makan siang, makan malam yang tersaji istimewa, ada makanan dalam dan luar negeri, saya sering icip-icip sambil berkenalan dengan para tokoh.
Ulama-ulama yang hadir banyak yang sebelumnya asing di telinga, ada pula yang telah saya kenali, tentu saja antara lain, KH Al-Habib Lutfi bin Yahya (tuan rumah; guru istri saya), KH Maimun Zubair (yang mana saya pernah nyantri 3 tahun di Sarang Rembang), juga pertemuan saya yang ke-3 dengan Syaikh Rajab Dib (mursyid Naqshabandi Suriah), 9 tahun silam beliau pernah mendoakan saya supaya dianugerahkan istri cantik lahir batin.
Saya juga berjumpa para guruku dan tokoh lainnya. Yang menjadi reuni ketika tak kuduga berjumpa sahabat Najih Ramadhan (sahabat saya yang dideportasi dari Universitas Damaskus karena pecahnya perang Suriah, saat ini mengajar di UIN Surabaya), bersama Najih di malam terakhir, saya bermalam di kamar eksekutif sisa dari penginapan KH Maimun Zubair, 7 tahun kami tak pernah berjumpa, banyak cerita yang kami tuntaskan. []
Raedu Basha adalah santri, penyair, pascasarjana UGM.