Beberapa waktu lalu, Neno Warisman ditolak kehadirannya oleh sekelompok orang di Batam—ia kita tahu adalah salah satu penggerak gerakan #2019GantiPresiden”. Rencananya, Neno Warisman akan mengisi kegiatan tablig akbar dan deklarasi Gerakan 2019 Ganti Presiden di Batam pada Minggu (29/7). Tidak sekali itu Neno Warisman melakukan itu dan ia memang tampak berkeliling untuk ceramah, dan juga kampaye gerakan politik tersebut.
Sebelum di Batam, Neno Warisman mengkampanyekan 2019 Ganti Presiden di Surakarta pada Minggu (1/7). Kegiatan tersebut dibalut dengan judul Jalan Sehat Umat Islam Soloraya yang dimulai dari Lapangan Kota Barat dan diadakan oleh Dewan Syariah Kota Surakarta. Ironisnya, kegiatan tersebut melibatkan anak-anak.
Bunda Neno, begitu ia biasa disapa, tentu saja tidak sendirian. Sejumlah tokoh agama pernah mengalami nasib serupa, meskipun dalam konteks yang berbeda. Misalkan, Ustadz Khalid Basalamah, Ustadz Abdul Shomad, Felix Siauw, dan tokoh agama yang lain. Alasan utama ditolaknya mereka adalah masyarakat merasakan keresahan akan konten-konten provokatif yang seringkali disampaikan oleh para tokoh agama tersebut. Semakin menyedihkan karena penolakan tersebut disikapi dengan saling menyalahkan dan menjatuhkan.
Baca juga: #2019GantiPresiden Sebenarnya adalah Mendukung Jokowi
Meskipun berbeda konteksnya, tetapi satu hal yang membuat mereka ditolak adalah konten ceramah atau orasi yang disampaikan seringkali membuat masyarakat resah dan cenderung berpecah diri, atau membuat masyarakat kian terbelah. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pihak yang ditolak sudah seharusnya mengevaluasi diri. Hal yang memprihatinkan adalah mereka justru tidak merasa bersalah.
Kondisi ini disebabkan karena pemikiran dan keyakinan irasional mereka yang kuat bahwa setiap perilaku mereka didasarkan atas dalil keagamaan, terlepas dari kesalahan mereka dalam menafsirkannya. Sikap ini kemudian membentuk sikap merasa berada di pihak yang benar dan akan ditolong oleh Tuhan.
Semakin menarik jika merunut lebih jauh mengenai penyebab atau faktor dari sikap-sikap menyampaikan konten agama yang mengandung unsur revolusi sehingga cenderung mengarah pada gerakan radikal. Sikap semacam ini muncul akibat dari perasaan bahwa umat Islam sedang ditindas secara politik dan ekonomi, baik dalam konteks nasional maupun internasional. Di sisi lain, sudah cukup lama Islam mengalami stagnansi sejak renaissance di Eropa.
Oleh karena itu, mereka gemar menggunakan tema-tema tertentu yang bisa menyulut semangat keberagamaan umat Islam. Sayangnya, mereka lupa bahwa kunci kemajuan agama dan peradaban bukan hanya terletak pada semangat juang saja, tetapi juga terletak pada motivasi umat Islam untuk mempelajari pengetahuan.
Maka dari itu, kondisi yang perlu diwaspadai terkait permasalahan tersebut adalah saat ini banyak sekali masyarakat awam akan agama, minat belajar agama yang tinggi dan terkadang tidak bersandar pada sumber langsung yang otoritatif, namun memiliki semangat keberagamaan yang tinggi. Sehingga, memunculkan sikap belajar agama secara praktis tanpa menelusuri riwayat keilmuan dan karakter para tokoh agama.
Baca juga: Jika Milenial Hanya Belajar Islam lewat Google Saja
Akhirnya, menghasilkan pemahaman keberagamaan yang sepotong-potong. Ditambah lagi kurangnya adab dan kesantunan akibat belajar agama tidak kepada seorang guru secara langsung.
Masyarakat sudah saatnya bangkit dan tampil di publik untuk menyikapi fenomena-fenomena sikap merasa paling benar, baik dalam konteks politik maupun keagamaan. Berbagai cara bisa dilakukan. Upaya preventif dapat dilakukan dengan membiasakan masyarakat (terutama generasi muda) untuk berpikir terbuka, luas, dan moderat.
Dalam konteks pendidikan keagamaan, masyarakat sudah saatnya memahami bahwa mempelajari agama harus dengan berbagai upaya, misalkan mencari guru yang jelas riwayat keilmuan dan karakternya, memilih institusi pendidikan yang mengajarkan keagamaan secara mendalam sehingga tidak menjadikan generasi muda berpikir parsial, mengajarkan generasi muda untuk menghargai perbedaan, serta pentingnya orang tua dalam memberikan teladan untuk bersikap moderat, tidak provokatif, dan santun dalam menyampaikan gagasan.
Di sisi lain, masyarakat perlu belajar bersikap elegan dalam menghadapi kelompok yang cenderung radikal dan provokatif. Sikap ini penting karena kelompok tersebut selalu memainkan playing victim (memposisikan diri sebagai korban) dalam setiap peristiwa. Sikap playing victim ini justru akan berakibat menguatnya militansi irasional mereka karena menganalogikan kondisi mereka dengan penolakan kaum kafir terhadap dakwah Nabi, serta penggiringan opini bahwa pihak mereka adalah benar.
Jika memang masyarakat tidak menginginkan anggotanya mengalami perpecahan dan mengikuti arus provokatif, maka masyarakat perlu mengedukasi sesama untuk menjaga persatuan dan berupaya membangun negeri dengan cara yang beradab serta menghargai dan mencintai ilmu.