Gerakan #2019GantiPresiden Sebenarnya adalah Mendukung Jokowi

Gerakan #2019GantiPresiden Sebenarnya adalah Mendukung Jokowi

Gerakan Tagar #2019GantiPresiden sejatinya justru mendukung Jokowi. Mengapa?

Gerakan #2019GantiPresiden Sebenarnya adalah Mendukung Jokowi
Ilustrasi: foto 2019 ganti Presiden yang marak, gerakan ini konsolidasi di pelbagai tempat, tapi justru dianggap miskin kreativitas. Meskipun, gerakan di sisi yang lain juga tampak sama belaka. Pict by @olx

Untuk Mardani Ali Sera, Neno Warisman, dan kelompok Gerakan #2019GantiPresiden  saya pribadi mengapresiasi insiasi gerakan ini. Selain membangun oposisi yang sehat, gerakan ini sekaligus merupakan bentuk kontrol terhadap pemerintahan rejim Jokowi saat ini. Karena itu, ketidaksukaan terhadap Jokowi, minta ganti presiden, dan mengkritik kebijakan rejim saat itu hak anda dan kelompok anda. Bahkan, ketidaksukaan anda tersebut dilindungi oleh undang-undang untuk melakukan demonstrasi.

Namun, sebagai contoh gerakan #2019GantiPresiden yang ramai pekan lalu,, mengapa kemudian yang disasar malah dagangan anaknya Jokowi di Solo yang tidak terkait langsung dengan kebijakan yang dibuat? Apakah, Gibran dengan jualan Markobar-nya telah merugikan para pedagang kecil di sekitarnya? Apakah Gibran telah menyalah gunakan kekuasaan bapaknya untuk memperluas jaringan dagangan martabaknya? JIka tidak pertanyaan itu tidak ditemukan, justru tindakan tersebut merupakan kontra-produktif dan membikin kemuakan terhadap gerakan tersebut yang enggak ada juntrungannya.

Meskipun tidak suka terhadap Jokowi, anda harus lihat. Jokowilah satu-satunya presiden yang tidak membangun oligarki politik yang diwariskan kepada anak-anaknya. Ia mengikuti jejak Habibie dan Gus Dur, di mana anak-anaknya tidak terlibat politik praktis. Tidak percaya? Cobalah anda cek satu-satu lalu bandingkan dengan anak-anaknya Soeharto, SBY, Megawati, dan bahkan Amien Rais.

Atas nama sedarah, mereka seakan sah mewarisi politik oligarki orangtuanya atas partai politik yang dipimpin. Atas nama orangtua, mereka juga seakan memiliki otoritas kepemimpinan yang diwariskan sehingga memungkinkan untuk mengkapitalisasi nama bapaknya untuk mendapatkan suara dan simpati publik lebih luas.

Sementara itu, kepemimpinan bukan hanya persoalan aliran darah dan bakat, melainkan proses panjang dan tempaan pengalaman untuk memimpin orang lain dengan nilai keadilan, kejujuran, dan basis meritokrasi. Hal ini tercermin dengan yang terjadi di Singapura, untuk mendapatkan posisi seperti orangtuanya, anaknya Lee Kuan Yew, yaitu Leen Hsien Soong harus mendapatkan pendidikan tinggi terlebih dahulu dan sejumlah pengalaman jabatan sebelumnya di pemerintahan sebelum menjabat Perdana Menteri Singapura.

Akibat tidak mewariskan ini politik oligarki semacam ini, mau tidak mau, anak-anak Jokowi mesti berjuang sendiri dengan kebanyakan anak-anak muda Indonesia lainnya. Anda bisa bayangkan, anak kedua Jokowi, Kahyang Ayu, pada tahun 2015 tidak lulus CPNS di Solo karena nilainya tidak memenuhi standar minimal yang ditetapkan. Memang, nama bapak sebagai presiden tidak dipungkiri akan menjadi Magnit orang yang memungkinkan anak-anaknya mendapatkan fasilitas.

Khusus untuk Ghibran, memungkinkan martabaknya bisa dikenal dan kemudian dibeli oleh publik Indonesia. Tapi, kalau dagang makanan, apalagi Martabak  ini bukan persoalan siapa yang menjual.  Tanpa adanya inovasi dan kreativitas dengan rasa yang enak sekaligus ringan dikantong, bakal ditinggalkan juga. Lihat saja restoran yang dikelola atas nama artis; satu-persatu gulung tikar di tengah buruknya manejemen yang dikelola. Selain itu, tingkat persaingan kuliner dengan pasar yang masih luas, bisa menggilas para pengusaha yang justru tidak mau berinovasi.

Memang, gerakan tagar begini dengan persekusi langsung bakal menaikan kembali di ruang publik setelah sebelumnya ada pengeboman, mudik, pilkada, dan kehadiran Bowo Idola Tik tok anak muda. Namun, cara tersebut merupakan tindakan yang memuakkan di tengah usaha anak presiden yang memutuskan mata rantai oligarki; tidak menggunakan kekuasaan bapaknya yang sebenarnya itu memungkinkan untuk dilakukan. Untungnya Gibran bukannya marah, apalagi ngamuk-ngamuk dan kemudian ngambek dengan membikin konferensi media bahwa ia seorang anak presiden telah dizolimi sehingga publik harus tahu.

Memainkan perasaan diri sebagai korban ini di tengah kehadiran media sosial yang memungkinkan orang bisa berpendapat di publik ini tampaknya menjadi kesia-siaan dan bahkan bahan risakan publik.

Sebaliknya, hal tersebut apa ditanggapi dengan positif bisa dijadikan media marketing yang bagus. Bagi Gibran, demonstrasi tersebut justru dianggap sebagai konsumen yang mengantri Markobar. Karena itu, ia mengucapkan terimakasih. Tentu saja respon positif ini tidak hanya mengangkat nama markobar, melainkan cara solutif sehingga mendapatkan promosi gratis. Promosi gratis inilah yang membuat Markobar menjadi setidaknya setara dengan sari roti, dan brand makanan lainnya yang sempat diboikot oleh kelompok ini. Dengan cara ini bisa dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh Markobar kalau #gerakangantipresiden2019 kemudian melakukan demonstrasi di setiap cabang Markobar milik Gibran. 

Dengan demikian, gerakan ini harus memikirkan ulang lagi agar mendapatkan simpati publik agar tidak terjadi rasa simpati kepada pihak yang justru dibencinya, di mana banyak orang justru mendukungnya.

Asumsi saya mungkin salah, jangan-jangan gerakan ini sebnarnya justru ingin mendukung Jokowi dengan cara yang lain, yaitu merupakan bentuk kecintaan kepada Jokowi dengan cara yang lain. Dengan turut melakukan agitasi ganti presiden, mereka sebenarnya ingin Jokowi terus melanjutkan di tengah isu-isu oposan yang tidak memiliki energy untuk mengkritik lebih dalam dan bernas.