Menurut perspektif fungsionalis Émile Durkheim, agama berfungsi sebagai perekat sosial yang dapat meningkatkan kesatuan dan solidaritas sosial. Fungsi tersebut dicapai melalui mekanisme diseminasi doktrin agama untuk meningkatkan sisi emosional para pengikutnya dan menyelenggarakan ritual yang ditujukan untuk meneguhkan hubungan sosial. Pandangan ini sekaligus mempromosikan tesis kebangkitan agama di tengah poros politik negara bangsa modern. Pasalnya, para sosiolog agama telah memperkirakan bahwa agama akan kehilangan perannya semenjak awal modernisasi berkembang. Faktanya hingga memasuki milenium kedua, agama tetap saja memiliki ‘otoritas’ yang kuat atas pemeluknya.
Realita ini terlihat paling tidak pada dua agama abrahamik, Islam dan Yahudi. Beberapa komunitas Islam, misalnya, menyimpan nawacita kuat untuk mendirikan negara Islam (khilāfah ‘alā minhāj an-nubuwwah) sebagai sebuah payung politik umat Islam untuk menjalankan fungsi khalifah di muka bumi. Pun dengan gencarnya orang-orang Yahudi untuk menegakkan negara Israel (the Modern Jewish State of Israel) di tanah Palestina.
Faktanya, kedua agama ini sama-sama memiliki dalih teologis tentang pentingnya politik kenegaraan. Islam dan Yahudi adalah dua agama yang masih memelihara warisan ajaran-ajaran dan hukum agama mereka yang mentradisi. Dalam wacana progresif, kedua agama ini relatif sangat rigid ketika beradaptasi dengan model birokrasi sekuler. Meski sudah melewat proses modernisasi yang tidak singkat, gagasan negara agama faktanya tidak hilang ditelan zaman. Hadirnya Republik Islam Iran, agresi Israel atas Palestina, hingga lahirnya Islamic State of Irak and Syria (ISIS) menjadi bukti cita-cita negara Islam ini masih sangat menonjol.
Latar Belakang Historis Negara Agama
Islam mempunyai riwayat peradaban politik kebangsaan yang fenomenal di era Negara Madinah karena memungkinkan seluruh aturan Islam dapat diimplementasikan secara menyeluruh. Madinah era Nabi Muhammad sebenarnya merupakan sebuah komunitas sosial politik yang dibangun di atas kota yang dulunya bernama Yatsrib. Era ini menjadi saksi kesuksesan Nabi dalam memimpin Madinah termasuk melahirkan sebuah kontrak politik monumental bertajuk Piagam Madinah. Fakta historis ini tak pelak menjadi inspirasi negara-negara Islam yang muncul setelahnya. Dalil bahwa Nabi Muhammad adalah ahli politik dan pemimpin negara menjadikan gagasan negara Islam sebagai perpanjangan tangan dari misi dakwah Islam sepeninggal Rasulullah.
Dalam Yahudi, sebagaimana banyak catatan menyebut, berdirinya negara Israel 1948 merupakan realisasi dari cita-cita Yahudi. Mereka menginginkan agar dapat kembali lagi ke Palestina setelah mereka terusir (exiled) pada tahun 400 M. Selain itu, posisi Jerussalem sebagai kota penting tiga agama abrahamik juga menjadi ‘beban’ historis. Masing-masing dari ketiga agama tersebut memiliki kepentingan ideologis terhadap Jerussalem. Mereka berupaya berebut otoritas di sana untuk mempertahankan penguasaan atau minimal akses yang mudah terhadap tempat suci tersebut. Untuk itu mereka siap melakukan perjuangan ‘atas nama agama’.
Latar Belakang Normatif Negara Agama
Tidak terlalu sulit untuk mencari justifikasi negara agama dari sumber kitab suci kedua agama ini. Pendirian negara Israel pun berangkat dari legitimasi Taurat dan fatwa para Rabbi Yahudi tentang keharusan pendirian negara Israel dalam kerangka berpikir Yahudi. Lahir dari bapak yang sama, kedua agama ini berbagi satu kesamaan yang mendasar. Islam dan Yahudi merupakan agama yang kental nuansa hukumnya. Islam sangat dekat dengan istilah syari’at, sedangkan Yahudi sering disebut sebagai ‘hukum Musa’. Tampaknya karena kuatnya perangkat hukum itu, kedua agama tersebut relatif masih resisten terhadap benturan sekularisasi.
Salah satu konsep politik kenegaraan yang menjadi acuan nawacita negara Islam adalah ‘khilāfah fil arḍ’. Doktrin ini didasari oleh banyak ayat dalam Al-Qur’an, seperti QS. An-Nur: 55 dan QS. Al-Baqarah: 30, dan QS. Shad: 26. Meski demikian, term khilafah tidak dapat dilepaskan dari konotasi kekuasaan politis karena tidak mungkin menegakkan khilafah tanpa dengan menggunakan kekuasaan politik. Motif terbesarnya adalah untuk menegakkan tatanan dunia yang ideal. Menurut pengusung gagasan ini, aktualisasi hukum syariat Islam menjadi dasar penting bagi penegakkan negara Islam sebagai wujud Islam yang relevan dalam mengatur kehidupan politik kenegaraan bagi penganutnya.
Dalam agama Yahudi, gagasan negara Yahudi di Israel berangkat dari dua alasan normatif. Pertama adalah konsep ‘Kerajaan Tuhan’. Kata ‘Yahudi’ dipahami sebagai sebuah bangsa dan agama yang saling berkelindan. Konsekuensinya, pendirian negara Yahudi Israel diterjemahkan sebagai keputusan politik yang disetir oleh sebuah mandat ilahiah. Dalam kalimat pembuka teks deklarasi kemerdekaan Israel disebutkan bahwa alasan mengapa tanah Palestina dipilih untuk menjadi lokasi negara Yahudi modern adalah karena itu adalah tempat di mana identitas agama dan politik orang Yahudi dahulu dibentuk. Dalam sejarah Yahudi, istilah tanah Israel (eretz of Israel) berasal dari hukum agama mereka ‘Israel’ yang merupakan pemberian dari Ya’kub. Ya’kub adalah Rasul yang meyakini terhadap sebuah bumi yang dijanjikan Tuhan kepada pengikutnya. Tanah itu yang kemudian disebut the holy land. Sejarah mencatat, keyakinan mendirikan kerajaan Tuhan ini berkait erat dengan tanah yang dijanjikan ini.
Alasan kedua adalah ‘kebangkitan messiah’ yang ditunjuk Tuhan untuk turun ke Bumi di akhir zaman untuk mempimpin kaumnya sebagai seorang raja dan membebaskan mereka dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Sebagian Yahudi berkeyakinan, pendirian negara Israel tahun 1948 merupakan wujud datangnya messiah itu. Kedua basis normatif ini menunjukkan betapa latar belakang keagamaan berdiri kokoh di balik inspirasi pendirian negara Israel.
Negara Agama dan Gejala Conservative Turn
Ambisi negara Islam ini bisa dilihat sebagai sebuah fenomena conservative turn (kembalinya konservatisme) di Indonesia. Dalam bahasa Martin van Bruinessen, Islam konservatif adalah berbagai aliran pemikiran yang menolak penafsiran ulang atas ajaran-ajaran Islam secara liberal dan progresif, dan cenderung untuk mempertahankan tafsir dan sistem sosial yang baku. Conservative turn ini bisa diidentifikasi pasca pecahnya reformasi 1998. Lahirnya era keterbukaan ini memungkinkan masuknya paham dan gerakan transnasional ke Indonesia utamanya dari Timur Tengah.
Gerakan transnasional itu, menurut Van Bruinessen, dalam kadar tertentu, mengurangi otoritas keagamaan ormas-ormas Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai contoh, para pegiat dakwah Salaf tidak pernah merujuk kepada fatwa yang diberikan oleh ormas-ormas Islam tersebut di atas untuk masalah keagamaan yang terjadi di Indonesia. Sebagai gantinya, mereka meminta fatwa langsung kepada guru-guru mereka di Timur Tengah. Kondisi ini rentan membawa ajaran fundamentalisme agama yang bisa mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Di sisi lain, menguatnya konservatisme ini bisa disebabkan oleh politik identitas yang mengaburkan wacana Islam progresif yang sudah mapan sejak awal reformasi. Argumen ini juga menjelaskan bahwa para pendukung gagasan Islam liberal dan progresif yang sebelumnya aktif di dalam berbagai organisasi masyarakat madani kini aktif di politik praktis yang pada gilirannya menyebabkan dasar kebudayaan Islam progresif menjadi lemah. Situasi ini kemudian meninggalkan lubang besar yang dimanfaatkan para fundamentalis untuk merongrong akar budaya bangsa demi ambisi negara Islam dengan dalih glorifikasi Islam dan narasi kesuksesan masa lalu.