Manusia Disebut Khalifah Jika Ia Menjaga Bumi, Bukan Merusak Lingkungan dan Saling Menyalahkan

Manusia Disebut Khalifah Jika Ia Menjaga Bumi, Bukan Merusak Lingkungan dan Saling Menyalahkan

Manusia Disebut Khalifah Jika Ia Menjaga Bumi, Bukan Merusak Lingkungan dan Saling Menyalahkan

Saya memiliki kawan yang memiliki ketertarikan pada isu lingkungan, medio 2016 sampai 2019 saat skena SJW sampah plastik naik daun dan mengkampanyekan isu sedotan plastik sumber sampah dan mengotori lingkungan, ia menerima itu dengan terbuka. Sejurus ia mengenakan sedotan logam untuk mereduksi plastik sebagai alat sedot.

Lalu ketika sedotan logam dianggap tidak hijau, ia dengan kesadaran beralih ke sedotan kertas dan bambu, sampai sekarang. Sedotan logam yang sudah tidak digunakan tidak dibuang, tetapi Ia simpan. Karena Ia tidak ingin meracuni lingkungan.

Ia tahu bahwa sedotan logam yang dibuang di lingkungan akan sulit terurai dan hal itu membebani kerja lingkungan.

Kecintaannya pada lingkungan sudah tenar di circlenya. Ia meminati isu yang berhubungan dengan keberlanjutan lingkungan, ia percaya bahwa kita turut ikut bertanggung jawab pada kondisi bumi dan memastikan baik untuk anak cucu di masa depan. Sehingga isu seputar sampah, pengerukan isi perut bumi, cemaran di air, sampai polusi udara adalah topik-topik yang menarik untuk selalu dibicarakan.

Cuma sayangnya dia memiliki kebiasaan menuntut orang lain dan hampir memaksa orang lain untuk menjaga lingkungan. Bahkan keinginannya untuk semua orang harus mengikuti cita-citanya untuk menjaga lingkungan sudah masuk di level menyebalkan. Dia memaksa dan menyalahkan orang lain.

*

Kembali soal sedotan tapi tidak membicarakan kawan saya dulu, Saat ini muncul masalah baru. Riset dewasa ini mengatakan bahwa sedotan yang selama ini dipromosikan sebagai alternatif sedotan ramah lingkungan, sebut saja sedotan kertas dan bambu, ternyata tidak sepenuhnya aman untuk kesehatan manusia.

Ditengarai ada kandungan Perfluoroalkyl and Polyfluoroalkyl Substances (PFAS) di dalam sedotan kertas dan bambu. Dalam riset tersebut disebutkan bahwa hampir semua sedotan kertas dan bambu yang beredar mengandung PFAS. Zat ini memiliki sifat anti air dan anti minyak, sehingga usia eksisnya di dunia bisa sampai ribuan tahun.

Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa zat yang terkategori anti air dan anti minyak berbahaya?

Namun sebelum menjawab pertanyaan barusan, saya perlu sampaikan dulu bahwa umumnya zat di alam sifatnya satu diantara dua itu, kalau dia anti air berarti dia suka minyak, kalau dia anti minyak berarti dia suka air. Jadi spesies kimia semacam ini memang unik, ya meskipun sudah sering kita jumpai dan gunakan di kehidupan zat-zat semacam ini.

Oke, kembali soal zat anti air dan anti minyak berbahaya. Jadi kebahayaan zat anti air dan anti minyak ya karena sifatnya yang anti air dan anti minyak.

Saya mau beri contoh plastik, selama ini kita mengenal plastik sebagai bahan yang berbahaya untuk lingkungan karena sulit terurai. Pertanyaannya kenapa plastik sulit terurai? Jawaban paling mudahnya karena ia anti air.

Apa hubungan anti air dengan sulit terurai? Karena bakteri yang memecah sampah atau limbah di alam hidupnya di air.

Kalau plastik anti air, bakteri yang “memotong” sampah tidak bisa bekerja pada zat yang anti air, ya gak mungkin bisa bertemu lah antara subjek yang memotong dan objek yang dipotong, itu yang menyebabkan plastik sulit terurai.

Sehingga plastik perlu dilumat cahaya matahari sampai agak “renyah” dan sifat anti airnya mulai berkurang, dan barulah pelan-pelan dia bisa terurai sejalan dengan mulai bekerjanya bakteri memotong plastik yang telah rapuh.

Nah, PFAS bernasib lebih problematik dari plastik. Kalau plastik hanya anti air, PFAS anti semuanya. Sehingga dia tidak bisa direduksi oleh zat yang bersifat air (polar) dan minyak (non-polar).

Sehingga memang implikasi logisnya adalah dia semakin, semakin, dan semakin sulit diurai. Dan itulah yang menyebabkan dia dijuluki forever chemicals.

*

PFAS di sedotan tidak ditambahkan secara sengaja. Ia tiba-tiba ada karena dunia kita sudah tercemar.

Kenapa sedotan kertas ada PFAS? karena kertas daur ulangnya sudah tercemar PFAS. Kenapa di bambu ada PFAS? Karena tanah tempat bambu tumbuh sudah tercemar oleh PFAS.

Sehingga mungkin saat ini lingkungan kita memang sudah setercemar itu. Baik oleh limbah PFAS atau limbah-limbah yang lain. Dan ironinya mungkin kita tidak sadar.

Saya yang hidup di bantaran bengawan solo mungkin tidak begitu dekat dengan PFAS, PFAS mungkin ada di sekitar industri teflon, karena salah satu turunan PFAS yakni Asam perfluorooktanoat (Perfluorooctanoic acid/PFOA) adalah bahan penyusun teflon. Ya meskipun kita berharap bahwa di alam Indonesia tidak ada eksistensi PFOA dalam jumlah banyak, karena zat ini sebenarnya sudah dilarang. Teman-teman yang baca bisa melihat film dark waters untuk mendapatkan gambarannya.

Tapi, meskipun saya merasa aman dari intaian PFAS, saya tidak aman dari intaian mikroplastik. Apalagi ada ekspedisi yang sudah menunjukan bahwa ikan yang hidup di bengawan solo perutnya mengandung mikroplastik.

Dunia ini mungkin banyak sisinya yang tercemar, tapi sejatinya dia dibuat dengan manis dan hijau. Dan seyogyanya ketika kita sudah sadar akan pentingnya menjaga lingkungan, kita bisa mulai berbuat dengan mengubah gaya hidup dengan lebih baik untuk masing-masing orang. Seperti tertera dalam hadits berikut:

Abu Sa’id Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata, “Dunia ini manis dan hijau (memikat) dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian semua khalifah di bumi untuk melihat bagaimana kalian bertindak. Jadi bertaqwalah (dari berseteru sebab) dunia dan karena wanita, karena awal fitnah yang pernah terjadi di bani Isra’il adalah karena wanita.” (Sahih Muslim 2742, Buku 49, Hadits 12)

*

Pada hadits ini dituliskan dengan jelas bahwa fungsi manusia adalah sebagai khalifah, dan salah satu parameter yang digunakan adalah kemampuan khalifah untuk menjaga Dunia yang sudah dititipkan Allah swt.

Dengan gamblang dituliskan bahwa tanggung jawab itu diberikan ke masing-masing manusia. Sehingga saya tidak perlu lama-lama melakukan elaborasi, bahwa yang sejatinya perlu kita lakukan adalah melakukan cek pada diri kita, tidak hanya menuntut orang lain berubah. Karena yang lebih penting untuk berubah adalah dimulai dari pribadi kita masing-masing.

Dengan memahami hadits ini, kita akan tahu apa yang harus diperbaiki dan dilakukan, yang ternyata jawabannya adalah diri sendiri. Diri sendiri adalah di dalam lingkaran pengaruh, sementara stakeholder adalah di dalam lingkaran perhatian. Kita tentu boleh berharap stakeholder berubah tetapi energi tidak perlu dihabiskan untuk mengoreksi orang lain.

Berkomitmen dan memulai perubahan dari diri sendiri, bahwa saya akan melestarikan alam dengan apapun yang bisa kita lakukan, meskipun itu sangat sederhana. Misal dengan tidak menyalakan flare di atas savana yang sedang kering, eh.

Wallahu A’lam.