Para penuntut agama Islam di pesantren tidak akan asing dengan salah satu mata pelajaran bernama Nazam Alala. Di Pesantren Lirboyo sendiri, Nazam Alala diajarkan di tingkat Ibtidaiyah sebagai mata pelajaran disiplin ilmu akhlak sebelum sampai ke kitab seperti Washaya dan Taisirul Kholaq. Nazam Alala adalah kitab tipis terdiri dari tujuh halaman dengan isi berupa syair-syair yang disertai arti dari syair tersebut yang juga berbentuk syair.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dari kitab ini yang menjadikan kitab ini memiliki keunikan tersendiri: pertama, kitab ini adalah kitab akhlak yang amat tipis; kedua, kitab ini ditulis dalam bentuk syair sehingga memudahkan pembacanya untuk menghafal; ketiga, kitab ini mencantumkan arti setiap syair yang dimuat menggunakan bahasa Jawa. Dan arti tersebut juga berupa syair. Tidak berbentuk narasi atau penjelasan panjang layaknya beberapa kitab terjamah yang memuat penjelasan memakai bahasa jawa; keempat, syair-syair yang dimuat bukanlah karangan dari penyusun kitab Alala itu tersendiri, melainkan karangan dari ulama-ulama terkemuka seperti Imam as-Syafi’i dan lainnya yang sudah diakui keilmuannya. Sumber-sumber syair tersebut sebagian besarnya dapat dilacak dalam kitab Ta’limul Mutaallim karangan Syaik az-Zarnuji; kelima, bila diteliti lebih mendalam, syair-syair tersebut adalah syair yang sudah masyhur di antara para ulama’ sehingga tidak mengherankan apabila sering disebutkan dalam berbagai kitab dari berbagai fan ilmu, tidak hanya ilmu akhlak saja.
Dari berbagai keunikan yang disebutkan di atas, kitab Nazam Alala juga memiliki keunikan terkait strategi dakwah para kiai pesantren. Yaitu dakwah berupa menyediakan materi atau media belajar yang berbeda dengan lainnya. Dilihat dari isinya, secara umum, penyusun Nazam Alala memiliki ide kreatif berupa mengumpulkan nasihat-nasihat para ulama yang berbentuk syair. Sehingga lebih mudah diajarkan juga dipelajari sekaligus dihafalkan oleh para pelajar (santri). Hal ini tentu saja berbeda dengan kitab karangan secara umum yang banyak mengarah pada isi kitab murni dari karangan pengarang, tidak hanya sekedar mengumpulkan apa yang sudah jadi seperti Nazam Alala. Hal ini memberi pelajaran bahwa menyediakan media pembelajaran tidaklah harus dengan cara rumit seperti membuat syair tersendiri atau mengarang isi kitab mulai awal sampai akhir. Media pembelajaran bisa berupa sekadar mengumpulkan nasihat para ulama yang memiliki dampak besar memberi kemudahan para penuntut ilmu dalam belajar. Mendekatkan pemahaman agama pada para penuntut ilmu lebih utama dari soal orisinalitas karya yang dipakai.
Beralih pada ide kreatif dari penyusun, yang lain, yaitu pada memberi arti dari setiap syair dengan tidak hanya sekadar menjelaskan tapi juga merangkainya menjadi sebuah syair berbahasa Jawa. Hal ini tentu saja memberi kelebihan tersendiri karena pembaca tidak hanya faham, tapi juga bisa menghafalnya sehingga bertahan lebih lama dalam ingatan pembaca. Untuk kalangan anak-anak, hal ini menjadi kelebihan sendiri untuk mengatasi masalah yang muncul berupa kebosanan anak-anak sebab mereka tidak paham dengan arti syair yang mereka hafalkan. Sebab penjelasan dari guru kadang seketika hilang saat selesai belajar. Dengan menjadikan arti syair tersebut menjadi syair tersendiri, ingatan murid pada penjelasan guru bisa lebih lama bertahan.
Terkait berbagai uraian di atas dan dakwah Islam kekinian, media dakwah berupa menyusun materi yang mudah dibuat dan menyodorkan penjelasan ajaran agama Islam yang mudah dipahami dan diingat seperti yang dilakukan penyusun Nazam Alala sudah sepatutnya dikembangkan dan dijadikan inspirasi. Hal ini mengingat lemahnya semangat menulis umat Islam sekarang dan banyaknya tuntutan memberikan penjelasan berbagai ajaran agama Islam yang kini tidak hanya menyangkut soal-soal dasar-dasar agama Islam, tapi juga hal-hal yang sering disalah pahami yang sering menimbulkan permusuhan sebab berbeda dalam memahami maupun mengamalkan. Media pembelajaran tidak harus murni berbahasa arab, asli karangan pengarang atau memberi kesan ilmiah dengan memakai bahasa Indonesia dan catatan kaki yang rumit.
Wallahu a’lam bisshawab
*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Pare Kediri