Nasr Hamid Abu Zayd adalah satu di antara banyak pemikir Islam kontemporer yang berasal dari Mesir. Beliau juga termasuk pemikir Islam yang mempunyai gagasan-gagasan kontrovesial dan progresif yang menjadikan diskusi-diskusi tentang Islam semakin hidup. Salah satu gagasan kontroversialnya adalah bahwasanya Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqofi), yang mana gagasan ini telah menimbulkan banyak polemik hingga banyak kalangan mengatakan bahwa dia telah menghina Al-Qur’an dan menistakan agama.
Nasr Hamid yang terkenal dengan gagasan-gagasan liberalnya ini lahir di Quhafa, Provinsi Tanta, Mesir, pada 10 Juli 1943. Sejak usia 8 tahun, Nasr Hamid telah meenghafalkan Al-Qur’an 30 juz. Adapun pendidikan tingginya diselesaikan di Universitas Kairo, mulai dari S1 sampe dengan S3. Selain itu, dia juga pernah mendapatkan beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute Of Midlle Eastern Studies Of Pensylivania Philadelphia, Amerika Serikat.
Jika melihat penjelasan-penjelasannya dalam berbagai video, maupun karyanya. Pemikiran liberal Nasr Hamid sejatinya sudah terbangun sejak beliau masih kecil. Ketika berusia 14 tahun, ayahnya meninggal dunia dan beliau mengemban tugas berat sebagai seorang kepala keluarga. Sedangkan ibunya menjadi single parent, yang bertarung dengan beratnya kehidupan untuk menghidupi dan membesarkan anak-anaknya.
Dari sinilah, Nasr Hamid berfikir bahwa ayat Arrijalu Qowwamuna Alan Nisa’yang selalu digunakan untuk melegitimasi budaya patriarki di Mesir pada waktu itu, dianggap sudah kehilangan konteksnya. Dia mengatakan; “Bagaimana bisa ibu saya diremehkan kemampuannya karena dia perempaun. Sedangkan dia lebih kuat dari sepuluh laki-laki sekalipun”.
Dalam pandangannya, teks Al-Qur’an yang normatif tersebut tidak lagi mendapatkan konteks yang empiris, sehingga diperlukan sebuah metodologi baru dalam menafsirkan Al-Qur’an agar sesuai dengan konteks yang ada. Nasr Hamid kemudian mendekonstruksi konsep Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang sakral, dan maknanya dari Allah SWT diubahnya menjadi Al-Qur’an adalah sebagai produk budaya.
Sehingga untuk mendukung gagasannya bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya, dan Nabi Muhammad SAW sebagai pengarangnya, penafsiran yang sudah ada berabada-abad dalam menafsirkan Al-Qur’an diganti oleh Nasr Hamid, dengan menawarkan sebuah penafsiran yang menggunakan teori Hermeneutika. Yaitu sebuah teori Blibical Critism (kritik teks bible), yang telah berkembang dalam tradisi Kristen. Hal ini supaya penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an bisa menemukan konteksnya.
Nasr Hamid sendiri mengenal teori Hermeneutika ketika berada di Amerika Serikat. Dalam menerapkan teori Hermeneutikanya tersebut, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughowiyyah al-adabiyyah), yang dalam ilmu tafsir lebih dikenal dengan tafsir adabi(penafsiran bercorak sastra terhadap Al-Qur’an).
Dalam pandangannya, beliau mengatakan bahwa metode tersebut adalah satu-satunya metode untuk studi Islam, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya Mafhum Al-Nash; Dirasah Fi Ulum Al-Qur’an, dia mengatakan, “Metode analisis bahasa, merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam”. Dengan metode inilah, Nasr Hamid mengatakan, walaupun Al-Qur’an adalah Kalamullah, namun Al-Qur’an menggunakan bahasa manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak lebih dari teks-teks karangan manusia.
Pendapat Nasr Hamid yang mengatakan bahwa Al-Qur’an sebagai produk budaya, tentu saja merusak konsep dasar Al-Qur’an sebagai kalamullahdan juga menghilangkan kesakralan Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Selain itu, pendapatnya tersebut akan menjadikan Al-Qur’an hanya sebagai teks manusiawi atau hasil pengalaman individual Nabi Muhammad SAW, sebagai sang penyampai wahyu dalam waktu dan tempat tertentu, dengan latar belakang sejarah yang sangat mewarnainya.
Orang-orang seperti Nasr Hamid tentu saja memberi warna baru dalam dunia pemikiran Islam, sebagaimana agama Islam yang universal yang selalu multitafsir. Nasr Hamid membawa semangat baru, bahwa Islam harus mampu mengikuti arus modernitas agar tidak stagnan. Pemikiran yang dibawa oleh Nasr Hamid adalah salah satu supaya agar peradaban Islam tidak stagnan dan mampu mengikuti zaman serta melahirkan penafsiran-penafsiran yang lebih humanistik.
Beberapa karya Nasr Hamid yang menarik untuk dibaca dalam studi tafsir kontemporer, dan juga penggunaan hermeneutika sebagai metode penafsiran di era kontemporer adalah Al-Hirminiyutika Wa Mu’dilat Tafsir Al-Nas, Al-Ittijah Al-Aqli Fi Tafsir, Falsafah At-Ta’wil, Isykaliyat Al-Qiro’ah Wa Aliyyat At-Ta’wil, Al-Mar’ah Fi Khitob Al-Azmah, Mafhum Al-Nas, Dirasah Fi Ulum Al-Qur’an, Naqd Al-Khitob Al-Din,dan lain sebagainya.
Wallahu A’lam.