Umar bin Khattab adalah sahabat yang terkenal dengan ketegasannya. Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab sangat ditakuti oleh penduduk Quraisy Mekah. Lalu baginda Rasulullah SAW berdoa kepada Allah SWT supaya salah satu di antara dua umar masuk Islam. Allah SWT mengabulkan munajat baginda Nabi SAW. Pada akhirnya, ayahanda dari sayyidah Hafsah lah yang dipilih Allah SWT untuk masuk Islam. Setelah masuk Islam, sahabat yang mendapat julukan al-Faruq ini membela Islam lahir batin sampai titik darah penghabisan. Ketegasan dan kekuatan yang dulu sampai sekarang masih beliau kobarkan untuk membela Islam.
Dibalik ketegasannya tersebut, Umar bin Khattab adalah sosok ayah yang sangat peduli dengan putrinya, Hafsah. Beliau merasakan kesedihan sama seperti yang dirasakan oleh putrinya yang mendapat julukan dari Nabi SAW dengan julukan al-Musawwamah (wanita yang sangat rajin berpuasa). Hafsah ditinggal pergi suaminya yang bernama Khunais di medan perang uhud melawan kaum kafir. Khunais termasuk dalam golongan orang-orang yang pertama masuk Islam.
Sebab kesedihan sayyidah Hafsah yang tak kunjung usai, ayahanda Umar bin Khattab mencarikan pengganti kekasih hati Hafsah yang syahid setelah masa iddhahnya habis. Kemudian Umar bin Khattab menemui Abu Bakar untuk meminta izin supaya menikahi putrinya. Abu Bakar menolak permintaan tersebut dengan halus. Kemudian Umar bin Khattab menemui Utsman bin ‘Affan dengan tujuan yang sama. Sahabat yang terkenal paling dermawan ini tersenyum dan menjawab “tidak Umar..”.
Kesedihan Umar bin Khattab bertambah. Hatinya terluka karena kedua sahabat dekatnya tidak mau menolongnya. Akhirnya, Umar bin Khattab mengadu apa yang dia rasakan dan alami ke baginda Nabi SAW. Kemudian, Nabi SAW menjawab dengan lembut, “jangan bersedih Umar, kedua sahabatmu menolak lamaran tersebut karena keduanya mengetahui bahwa aku yang akan menikahi putrimu”. Betapa bahagianya Umar bin Khattab saat itu. Allah menggantikan yang sudah pergi dengan yang lebih baik.
Kemudian suatu hari, Hafsah cemburu kepada Nabi SAW karena mendapati beliau berada di dalam rumahnya sedang bersama Maryah al-Qibtiyah. Kecemburuan Hafsah membakar hatinya. Rasulullah SAW meminta maaf kepada Hafsah dengan penuh cinta dan meminta kepada Hafsah untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada orang lain. Namun, sebab kecemburuan yang sudah menutupi hati Hafsah sebagai seorang perempuan maka Hafsah tidak kuat menahan rahasia tersebut dan menceritakan keluh kesahnya kepada Aisyah. Mengetahui hal tersebut Rasulullah SAW marah dan tidak tinggal satu rumah dengan Hafsah selama sehari semalam.
Sampailah berita tersebut ke telinga ayahanda Umar bin Khattab. Sahabat dekat baginda Nabi SAW tersebut tidak terburu-buru percaya dengan apa yang beliau dengar. Beliau memastikan kebenarannya dengan mendatangi putri kesayangannya. “Apakah benar wahai putriku bahwa Nabi SAW meninggalkanmu? Apakah kamu berbuat kesalahan sampai membuat suamimu marah? ayahanda Hafsah bertanya penuh cemas. Di beberapa riwayat bibi Hafsah dan Qudamah datang dan mencoba menghibur Hafsah sedangkan istri Rasulullah SAW yang sebaya dengan Aisyah ini tetap terlarut dalam kesedihan dan menangis.
Hafsah menjawab pertanyaan ayahandanya masih dengan raut sedih. “Benar ayah, Rasulullah SAW benar mengatakan bahwa beliau meninggalkanku selama sehari semalam, sebab aku tidak bisa menjaga rahasia dan aku tidak pernah mengira bahwa Rasulullah SAW akan semarah itu denganku”. Jawabnya pilu. Kemudian ayahanda Umar menasihati putrinya dengan sangat lembut.
“Duhai putriku, janganlah engkau meminta sesuatu lebih yang dapat menyulitkan baginda Rasulullah SAW, tetaplah tinggal bersama suamimu apapun yang terjadi, janganlah engkau meninggalkannya, duhai putriku, ceritakan keluh kesahmu kepadaku dan tahanlah rasa cemburumu, jangan sampai sesuatu yang lebih baik darimu membuatmu cemburu buta dan justru menimbulkan kemarahan suamimu”.
Nasihat Umar bin Khattab tersebut sangat menyentuh qalbi, seorang istri adalah permata suaminya, penenang gundah dan penghibur duka yang dikirim Allah SWT untuk melengkapi. Meminta sesuatu di luar kemampuan suami atau sesuatu yang menyulitkan seorang suami dapat menimbulkan rasa kecewa di hati suami. Alangkah bijak jika seorang istri mampu menahan keinginan sampai suami mampu penuhi dan menerima apa adanya dari apapun yang diberikan suami. Sebagai pelengkap hidup, istri yang setia akan selalu menemani dan menjadi teman ternyaman suaminya, apapun yang terjadi dengan suami, kemiskinan ataupun jatuh sakit maka akan tetap bertahan bersama suami. Kemudian menahan perasaan cemburu yang merupakan sifat naluri manusia. Apalagi untuk seorang perempuan. Namun, jika rasa cemburu ini menutupi kesucian hati maka akan menjadi bahan amarah yang berujung pertikaian. Semampu mungkin seorang istri untuk me-manage rasa cemburu dan menepisnya dengan maaf serta cinta. Karena api hanya dapat dipadamkan oleh air dan benci dipadamkan oleh cinta.
Kemudian masih dalam heningan kesedihan, Rasulullah SAW datang mengunjungi Hafsah dan menepis semua berita perceraian. “Wahai istriku, Hafsah, aku merujukmu karena Jibril telah datang kepadaku membawa wahyu dari Penguasa Hati kita bahwa aku diperintahkan untuk merujukmu kembali, karena engkau adalah istriku di surga nanti”. Jawaban Rasulullah SAW tersebut meneduhkan hati Hafsah dan meredupkan kesedihannya.
Dari kisah Umar bin Khattab tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT akan selalu memeluk hamba-Nya dan mengabulkan do’a, menggantikan yang hilang dengan yang lebih baik dan memberikan tambahan nikmat bagi yang taat kepadaNya baik saat bahagia maupun duka.