Berdakwah tidak hanya memerlukan segudang ilmu dan kecerdasan tetapi juga butuh seni dalam berdakwah yang biasa disebut metode dakwah. Keberhasilan seseorang dalam berdakwah tergantung metode yang digunakan. Semakin banyak metode yang digunakan oleh seorang dai dalam berdakwah maka semakin besar peluang dakwah yang disampaikan akan diterima. Al-Qur’an juga memberikan beberapa tahap dalam berdakwah agar dakwah yang disampaikan mudah diterima oleh masyarakat yang menjadi objek dakwah. Beberapa tahap tersebut juga merupakan metode dasar dalam berdakwah. Allah SWT berfirman:
اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” (Q.S. An Nahl: 125).
Jika kita melihat kandungan ayat tersebut, ada tiga tahap yang diajarkan al-Qur’an untuk berdakawah dengan baik. Semuanya hendaknya dilakukan secara berurutan. Pertama, berdakwah dengan hikmah. Artinya, berdakwah dengan cara melakukan pendekatan secara persuasif dan mengedepankan kelembutan bukan kekasaran.
Ketika tahap pertama sudah berhasil dilakukan dan objek dakwah sudah mulai menerima sedikit demi sedikit dakwah yang disampaikan barulah menuju tahap kedua yaitu memberi nasihat dengan cara yang baik dan sopan sehingga objek dakwah tidak merasa digurui.
Tahap terakhir adalah diskusi yaitu mengajak objek dakwah untuk berdiskusi. Dalam berdiskusi seorang dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki adab dalam berdiskusi karena tidak sedikit da’i yang memiliki banyak ilmu pengetahuan tetapi tidak memiliki adab dalam berdiskusi sehingga mudah terbawa emosi dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata kasar. Akhirnya membuat orang yang baru menerima dakwahnya akan lari darinya.
Menurut Syeikh Muhammad Mutawally al-Sya’rawi, berdakwah itu menyampaikan bukan menggurui. Seorang dai harus pandai memilih kata yang cocok untuk menyampaikan isi dakwahnya dan mengetahui kondisi masyarakatnya. Seorang dai tidak boleh merasa lebih baik, suci dan lebih pintar dari objek dakwah. Ia harus merendahkan diri, bersikap bijak dan berkepala dingin serta memberikan contoh yang baik.
Model dakwah yang dicontohkan oleh Syeikh Muhammad Mutawally al-Sya’rawi ini pernah diceritakan dalam kisah dakwah yang terjadi pada cucu Rasulullah SAW sendiri yaitu Hasan dan Husain. Kisah ini bisa menjadi salah pegangan bagi para dai dalam menyampaikan ajaran agama kepada masyarakat.
Suatu hari Hasan dan Husain pernah melihat seorang laki-laki tua yang tidak berwudhu dengan baik. Keduanya ingin mengajari laki-laki tersebut tata cara wudhu yang baik dan benar sesuai ajaran Rasulullah SAW tanpa melukai perasaannya. Keduanya pun sepakat untuk memakai cara pendekatan yang bijaksana. Di hadapan orang tua tersebut mereka sengaja berdebat, masing-masing mengatakan bahwa dialah yang paling benar dalam berwudhu. Mereka lalu meminta orang tua itu untuk menilainya, mana di antara mereka yang paling sempurna dalam berwudhu.
Lalu mereka masing-masing melakukan wudhu di depan laki-laki tua tadi. Alangkah kagetnya laki-laki tua itu melihat cara wudhu keduanya. Lalu ia mengoreksi diri seraya berkata,”Tata cara kalian berdualah yang benar, tata cara wudhuku yang salah. Betapa baiknya tuntunan dan bimbingan kalian kepadaku. Semoga Allah memberkahi kalian.”
Inilah salah satu contoh kisah yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam berdakwah. Seorang dai harus banyak belajar metode dakwah bil hikmah dari Rasulullah SAW, para sahabat dan ulama salaf dalam menyampaikan dakwah agar tujuan dakwah yang diinginkannya dapat terlaksana dengan baik.