Meningkatnya kasus Corona di dunia, termasuk di negeri piramida Mesir, ternyata tidak hanya mengakibatkan banyaknya korban jiwa, tetapi juga menimbulkan dampak negatif sosial yang tinggi.
Semenjak wabah ini terungkap akhir tahun lalu, hoaks dan informasi palsu semakin sering beredar di kalangan publik. Hal ini diperparah dengan respon awal pemerintah Mesir yang menganggap masalah Corona sebagai penyakit sepele, meski kemudian hari mereka meralat pernyataan tersebut.
Melihat situasi yang tak kunjung stabil, kami para perantau ilmu pun turut khawatir dengan semakin bertambahnya kasus Corona di sini. Meski jumlah kasus yang terdata belum setinggi Indonesia, namun publik berasumsi bahwa bisa saja realitanya jauh lebih pahit terutama karena sarana prasarana kesehatan di Mesir memang belum memadai.
Syukurlah keresahan kami terkait hal tersebut sedikit mereda setelah Menteri Pendidikan Mesir mengumumkan kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah maupun universitas diliburkan sejak 15 Maret kemarin. Kebijakan yang sama juga berlaku pada semua kegiatan tahfidz maupun kajian di dalam masjid besar, seperti Azhar dan tempat ibadah lainnya.
Meski di awal kami tentu saja merasa kosong dengan peniadaan semua kegiatan termasuk kajian-kajian yang selalu kami ikuti tiap harinya, tapi kami sadar semua kebijakan tadi merupakan tindakan pencegahan agar dampak wabah tidak meluas.
Selain dirundung oleh pandemi Corona, Mesir juga menghadapi cuaca buruk selama tiga hari lalu dari tanggal 12 hingga 14 Maret. Kondisi ini semakin mengurungkan warga untuk ke luar rumah. Meski kondisi yang ada sangat mendukung imbauan untuk social distancing (menjaga jarak fisik antar individu), sayangnya kondisi alam tersebut membuat sungai nil menjadi keruh padahal sungai nil adalah sumber air di segala penjuru negeri seribu Menara ini. Akhirnya sebagian besar penduduk harus bersabar karena suplai air terhenti selama 1 hari.
Selain mengeluarkan kebijakan pendidikan, pemerintah Mesir, seperti yang dilansir dari al-youm as-sabi’ (19/03/2020) Kementerian Agama Mesir (kementrian Awqof) juga menghimbau para ulama agar mempersingkat khutbah jum’at menjadi 15 menit, juga mempersingkat waktu sholat berjama’ah di masjid untuk menghindari mewabahnya covid-19 ini. Meskipun begitu masjid tidak ada yang ditutup.
Sayangnya, akibat informasi yang kurang lengkap dan berita palsu yang bermunculan, banyak warga lokal yang kemudian menjadi diskriminatif terhadap warga asing terutama yang berasal dari negara-negara Asia. Bahkan hal itu dialami beberapa pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di sini.
Ketika kawan saya melewati kerumunan warga, mereka langsung sontak menghindar dan bahkan meneriaki ‘Corona’ dan ‘China’. Saya pun tak luput dari pengalaman buruk tersebut, beberapa hari lalu saat saya berjalan melewati orang mesir, ia langsung berpura-pura bersin di depan muka karena saya mengenakan masker.
Teman satu akomodasi saya juga mengalami hal serupa: ketika ia pergi untuk mengurus wi-fi, ia tidak diperbolehkan untuk memasuki gedung hanya karena ia berkebangsaan Asia. Terkadang juga para supir bis ataupun angkotan kota tidak mau menerima kami para mahasiswa asing.
Mendapatkan laporan buruk dari kalangan pelajar Indonesia, perwakilan kedutaan besar Indonesia di Mesir, Bapak Aji Surya mengimbau kepada kami agar lebih berhati-hati, “Jangan biarkan orang Mesir menindas kalian, saya tidak rela anak-anak saya dikatai ‘Corona’. Kita di sini pergi mecari ilmu kok malah dikatai virus, laporkan kepada KBRI jika Anda mendapat pelecehan.”
Beliau juga menghimbau pada kami untuk selalu membawa botol minum dan hand sanitizer kemanapun pergi agar kebersihan dan kesehatan diri selalu terjaga. Di samping itu, KBRI Mesir juga turut meniadakan kegiatan-kegiatan perkumpulan yang melibatkan mahasiswa mulai dari tanggal 16 Maret melalui surat resmi.
Namun sayangnya, hingga artikel ini ditulis, tak sedikit warga Mesir dan mahasiswa Indonesia yang abai dan menghiraukan himbauan itu. Penduduk lokal masih banyak yang berkeliaran dan keluar rumah dengan santai. Sebagian ada yang jalan-jalan ke sungai nil, restoran-restoran, dan tempat-tempat lain.
Di sisi lain, karena penerbangan internasional dari dalam dan luar negeri turut ditutup, beberapa teman saya yang sedang umroh pun bingung untuk pulang ke mesir, dan akhirnya memilih untuk menetap sementara disana.
Kondisi serba dilematis ini membuat saya hanya bisa berdoa semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT dan mari terus memanjatkan harap agar pandemic Corona segera berlalu. Allahumma laa tufji’na bi anfusinaa wa laa ahlinaa aamiin. (AN)
Wallahu a’lam.