Manusia di seluruh penjuru dunia saat ini sedang mengalami cobaan berupa wabah virus Covid-19. Himbauan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun para medis sudah berulangkali disampaikan lewat berbagai media. Namun, ironisnya tetap saja ada dari sebagian masyarakat kita yang acuh dengan himbauan tersebut. Nahas, lagi-lagi kesempatan ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk berlindung di balik dalil keagamaan. Lantas mereka pun berujar, “Kami lebih takut kepada Allah sebagai Sang Pencipta virus, daripada virus itu sendiri.” Padahal maqam atau kedudukan manusia berbeda-beda.
Sepintas apabila diperhatikan pernyataan tersebut seakan-akan benar menurut sudut pandang teologis, tetapi tidak diletakkan pada konteks pembicaraan yang benar sehingga dapat mengakibatkan kesalahpahaman di dalam memahami agama.
Oleh sebab itu, menarik jika kita mau menyimak mutiara hikmah dari Ibnu Atha’illah as-Sakandary dalam kitab al-Hikam: “Kehendakmu untuk tajrid (tidak berusaha), sementara Tuhan menempatkanmu pada maqam seseorang yang harus berusaha maka sebetulnya hal itu adalah bentuk kesenangan nafsu yang tersembunyi. Sebaliknya, kehendakmu untuk turut serta dalam berusaha, padahal Tuhan memberimu keutamaan sebagai orang yang seharusnya tajrid maka hal itu adalah bentuk kemerosotan kelas (degradasi).”
Maksudnya bagaimana? Mari kita kaji sejenak. Dalam mutiara hikmah tersebut, disebutkan 2 maqam (derajat) manusia yang berbeda, yaitu maqam tajrid dan maqam asbab. Manusia harus menyadari terlebih dahulu pada posisi mana mereka berada, tetapi setidaknya mayoritas kita adalah menempati maqam asbab. Orang yang berada pada maqam asbab ini maka bagi dirinya berlaku hukum sebab-akibat, keberlangsungan hidupnya tergantung pada kausalitas, cause and effect. Artinya, apabila tubuh kita tidak ingin terserang oleh penyakit maka sebisa mungkin kita menjalani pola hidup sehat dengan rajin berolahraga dan mengkonsumsi makanan yang bergizi.
Dengan kata lain, konsekuensi logis dari adanya penyakit dalam tubuh kita itu dapat disebabkan karena tidak berusaha menjaga kesehatan. Mengapa ada orang tidak lulus ujian? Karena dia tidak belajar dengan tekun. Mengapa ada orang tidak punya uang? Karena dia tidak bekerja. Mengapa ada orang yang lama menjomblo? (eh), karena dia tidak sungguh-sungguh berusaha.
Sesedarhana itulah maqam asbab. Sementara itu, bagi manusia yang telah diberi maqam tajrid (dan ini tidak banyak) mereka biasanya menempatkan diri di kamar untuk melakukan hal-hal yang bersifat kontemplatif-spritualis, hidupnya sehari-hari dihabiskan untuk bermunajat kepada Allah Swt, dan maqam ini biasanya ditempati oleh para wali/kekasih Allah.
Seharusnya sebagai manusia yang menempati maqam asbab, penting untuk mendengarkan himbauan dari pemerintah ataupun pihak medis agar mempraktekkan social distancing, atau yang sekarang diganti istilahnya dengan pyshycal distancing, di dalam menghadapi pandemi virus corona ini. sementara waktu segala aktifitas yang melibatkan perkumpulan orang banyak tidak dilakukan terlebih dahulu di masa-masa gawat seperti ini, apalagi sampai mengajak orang lain berbondong-bondong meramaikan masjid dengan dalih tidak takut kepada virus Corona dan hanya takut kepada Allah.
Hal seperti ini sepatutnya tidak dilakukan lebih karena kesadaran kita sebagai manusia yang menempati maqam asbab menuntut agar hukum kausalitas itu tetap berpengaruh bagi keberlangsungan hidup kita, artinya jika kita menjalankan himbauan berupa social distancing maka peluang terhindar dari virus corona juga akan terbuka lebar dibanding mereka yang tetap bersikukuh terlibat dalam hiruk-pikuk keramaian.
Sebetulnya kalau dicermati, social distancing ini hampir mirip dengan salah satu laku dalam ajaran tasawuf yaitu uzlah. Yaitu ketika seseorang berusaha mengambil jarak dari keramaian orang demi meraih ketenangan jiwanya.
Mengambil jarak sejatinya ialah memberi makna pada kehidupan, seperti halnya guna jarak (spasi) pada sebuah kalimat yang turut memberi makna terhadap susunan kata-kata yang terangkai. Perhatikan kalimat berikut, “akucintakamu”, apa anda bisa memahami maksud kalimat ini? Padahal kalimat tersebut adalah kalimat yang penuh dengan makna. Bandingkan dengan kalimat berikut, “aku cinta kamu”, sekilas lebih mudah dipahami bukan? Demikianlah kiranya pentingnya sebuah jarak bagi suatu kalimat, terlebih lagi sekarang kita dihimbau untuk memberi jarak pada kehidupan sehari-hari.
Baca juga Resep Hidup Bahagia dari Ibnu Athaillah as-Sakandary dan hikmah Islami lainnya melalui Rubrik Hikmah di tautan ini.