Cita-cita untuk mendorong RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) sudah ada sejak tahun 2012. Komnas Perempuan menginisiasi hal tersebut karena Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Pada bulan mei 2016, Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik. Sebulan setelah itu, Presiden Joko Widodo mengutarakan dukungannya sebagai RUU Prioritas.
Komisi VII DPR RI baru membahasnya pada bulan april 2017. Namun, di akhir tahun 2018, DPR memutuskan agar RUU PKS ditunda pembahasannya hingga Pemilu 2019 usai. Sementara itu, sejak september 2019 RUU PKS mengundang aksi besar-besaran di berbagai wilayah Indonesia. Terdapat berbagai pernyataan, mulai dari pro zina, pro LGBTQ, produk barat, mengandung teori feminis radikal, dan narasi-narasi penolakan lainnya. Sangat disayangkan lagi, Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengajukan pencabutan RUU PKS. Pada bulan Juli ini, DPR RI resmi mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Priorotas Tahun 2020.
Kondisi Perempuan Indonesia
Semenjak 2012, RUU PKS menimbulkan pro dan kontra. Sejatinya, argumentasi pro dan kontra harus dibarengi dengan fakta bagaimana kekerasan seksual terjadi di Indonesia. Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan pada tahun 2019, angka kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat. Urutan pertama, sebanyak 71% kekerasan seksual terjadi di ranah domestik. Sejumlah 3.927 kasus (41%) merupakan kekerasan fisik, 2.988 kasus (31%) merupakan kekerasan seksual, 1.658 (17%) adalah kekerasan psikis, dan 1.064 (11%) kasus lainnya adalah kekerasan ekonomi.
Pada posisi kedua, kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas atau publik sebanyak 28%. Jenis-jenisnya seperti pencabulan (1.136 kasus), perkosaan (762 kasus), pelecehan seksual (394 kasus), dan persetubuhan (156 kasus). Pada urutan ketiga, 1% kekerasan seksual merupakan tanggung jawab negara. Pasalnya terdapat kasus seperti pembangunan geothermal, pelecehan seksual pembela HAM, maupun pelecehan seksual yang dilakukan Satpol PP. Catatan di atas merupakan kasus yang masuk dan terdata. Kemungkinan masih banyak korban yang tutup mulut dan belum melapor.
Narasi Penolakan RUU PKS
RUU PKS ditolak oleh beberapa fraksi legislatif dan dari unsur masyarakat. Penolakan tersebut terdapat berbagai alasan seperti yang dinyatakan oleh fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, harus ada pergantian istilah “kekerasan seksual” menjadi “kejahatan seksual” pada judulnya. Dikarenakan sebutan kejahatan seksual dapat menjelaskan tingkatan tindak pidana secara lebih detail, sehingga mempermudah delik pidana ketika pembuktian. Disamping itu, fraksi PKS menyatakan bahwa definisi kekerasan seksual masih ambigu, yang mana tidak melihat risiko korban, terdapa unsur hasrat seksual, dan bisa membuka peluang terhadap perilaku seksual menyimpang.
Dalam naskah akademik RUU PKS sudah disebutkan secara detail mengenai jenis-jenis kekerasan seksual, yang mana kejahatan juga termasuk di dalamnya. Maka dari itu tidak perlu lagi menambahkan kata “kejahatan seksual” pada judul. Mengenai definisi yang dianggap ambigu, pemerintah sudah memberikan masukan yaitu, “Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau nonfisik, mengarah kepada fungsi dan/atau alat reproduksi atau anggota tubuh lainnya yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.” Secara tidak langsung, definisi tersebut sudah memperhitungkan risiko korban.
Mahyeldi, Walikota Padang juga menolak RUU ini. Pasal 7 ayat (1) dimaknai sebagai sarana untuk melindungi LGBT. Sehingga memberikan kesempatan untuk berbuat zina dan merusak keharmonisan rumah tangga. Pada Pasal 7 ayat (2) pun sama, Mahyeldi berspekulasi bahwa orang tua tidak berhak mendisiplinkan anaknya untuk berbusana yang menutup aurat. Lantas dapat mengancam fungsi agama, adat, sosial, maupun budaya. Pasal-pasal yang dijelaskan oleh Mahyeldi tidak sesuai dengan draft resmi dari DPR RI. Bahkan naskah akademik pun tidak ada yang membahas demikian.
Masyarakat luas juga beranggapan bahwa RUU PKS adalah produk barat yang dibuat oleh feminis radikal yang melegalkan seks bebas. Dugaan ini melenceng jauh. Pasalnya, penyusunan RUU PKS melibatkan sejumlah ahli hukum, akademisi, advokat, pemuka lintas agama, hingga elemen masyarakat. Secara garis besarnya, naskah akademik sudah mewakili keresahan dan problematika kekerasan seksual. Karena, rancangan undang-undang tidak akan terbentuk apabila tidak ada proses pembuatan naskah akademik.
Selain itu, RUU PKS tidak diskriminatif karena dominan melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Memang tidak dipungkiri laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual. Meskipun demikian, latar belakang penyusunan RUU PKS ini karena angka kekerasan terhadap perempuan jauh lebih tinggi daripada laki-laki. RUU PKS bukan hanya melindungi perempuan tanpa melihat korban laki-laki. Justru itu, definisi korban dalam RUU PKS adalah setiap orang yang mengalami peristiwa kekerasan seksual.
RUU PKS sebagai Lex Specialist
Di dalam bab XIV KUHP terdapat regulasi yang mengatur mengenai kekerasan. Namun KUHP masih belum memenuhi keadilan perempuan dan tidak memberikan perlindungan bagi korban kekerasan. KUHP memandang korban perempuan sebagai objek pengaturan, bukan sebagai subjek hukum yang perlu mendapatkan perlindungan. RUU PKS mendefiniskan 9 jenis kekerasan seksual, KUHP hanya mengatur tentang pencabulan dan perkosaan. RUU PKS juga mengakomodir pemidanaan korporasi, yakni rumusan dua pidana pokok dan 9 pidana tambahan, yang mana termasuk pencabutan hak politik dan pencabutan jabatan.
Oleh karena itu, RUU PKS hadir sebagai lex specialist. Sehingga tidak perlu merevisi KUHAP ataupun KUHP. RUU PKS adalah unifikasi dari KUHAP dan KUHP, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang konteksnya masih menyebar.
RUU PKS merupakan sebuah upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan, pelaku pun mendapat tindakan tegas melalui pidana. Jika sudah benar-benar memahami naskah akademiknya, tidak akan ada lagi pernyataan pro zina maupun pro LGBTQ, yang ada hanyalah pro keadilan.