Gus Ulil: Sekarang adalah Eranya ‘Mempribumisasikan’ Gagasan Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i

Gus Ulil: Sekarang adalah Eranya ‘Mempribumisasikan’ Gagasan Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i

Menurut Gus Ulil, saat ini adalah era yang tepat untuk mempribumisasikan gagasan Cak Nur, Gus Dur, serta Buya Syafi’i ke tengah masyarakat.

Gus Ulil: Sekarang adalah Eranya ‘Mempribumisasikan’ Gagasan Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i
Refleksi Kebangsaan: Spirit Guru Bangsa Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i dalam Aspek Bernegara Masa Kini.

Dalam acara puncak Sumbu Kebangsaan, Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lakpesdam PBNU, menyatakan bahwa saat ini merupakan era yang tepat untuk ‘mempribumisasikan’ gagasan-gagasan tiga guru bangsa ke tengah-tengah masyarakat. Tiga guru bangsa yang dimaksud adalah Nurcholish Madjid (Cak Nur), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i).

“Sekarang adalah eranya mempribumisasikan gagasan-gagasan mereka ini ke tengah masyarakat. Kita tidak usah lagi berambisi menelurkan gagasan-gagasan yang mengguncang, udah lewat masanya,” ujarnya.

Sebelumnya, cendekiawan yang akrab disapa Gus Ulil ini menyatakan juga bahwa saat ini bukan lagi waktunya menelurkan ide-ide maupun gagasan-gagasan besar. Menurutnya, era itu sudah lewat.

“Mungkin sekarang ini bukan saatnya menelurkan ide-ide besar, karena era itu sudah lewat. Itu eranya Cak Nur, eranya Gus Dur, eranya Buya Syafi’i Ma’arif,” tuturnya.

Ide atau gagasan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara. Menurut Gus Ulil, masalah-masalah pokok terkait hubungan itu sudah dibahas tuntas di era Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i.

Sebagaimana diketahui, semasa hidupnya, ketiga tokoh tersebut telah menuangkan ide dan gagasan yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara ke dalam berbagai karya tulisnya. Cak Nur, misalnya, yang terkenal dengan gagasan ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Atau Gus Dur, yang melalui bukunya ‘Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Demokrasi’ (2006), menolak adanya formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Buya Syafi’i juga menulis banyak karya terkait hubungan itu, seperti buku ‘Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan’ (2009). Dan masih banyak lagi ide dan gagasan ketiga tokoh yang tersebar dalam berbagai pidato maupun ceramahnya.

Dan saat ini, tantangan yang dihadapi berbeda, yaitu bagaimana cara ‘mempribumisasikan’ ide dan gagasan yang telah ditelurkan oleh ketiga tokoh tersebut, khususnya kepada anak-anak muda.

“Karena itu, yang kita perlukan adalah memperbanyak pertemuan-pertemuan, acara-acara seperti ini, workshop, diskusi kecil-kecilan,” ungkap Gus Ulil.

Menurut Gus Ulil, acara semacam itu penting dilakukan agar anak-anak muda sekarang mengenal ide dan gagasan dari Cak Nur, Gus Dur, maupun Buya Syafi’i. Ia pun memberikan apresiasi kepada Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, serta Ma’arif Institute. Melalui ketiga lembaga itu, anak-anak muda bisa nyambung kepada ketiga guru bangsa tersebut.

“Makanya saya senang sekali ada Jaringan Gusdurian, itu luar biasa,” bebernya. Gus Ulil juga mengatakan, “Cak Nurian juga mulai melebarkan sayapnya. Syafi’i Ma’arif, melalui Maarif Institute, sekarang juga mengembangkan jaringan di mana-mana. Ini menurut saya langkah yang sudah bagus, tinggal diperluas saja.”

Acara Sumbu Kebangsaan merupakan inisiatif dan kolaborasi antara Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute. Tujuan dari acara itu adalah untuk menghidupkan kembali spirit dari ketiga Guru Bangsa.

Pada acara puncak Sumbu Kebangsaan kemarin, Sabtu (18/3), digelar acara dengan tajuk “Refleksi Kebangsaan: Spirit Guru Bangsa (Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i) dalam Aspek Bernegara Masa Kini”. Acara itu digelar di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, dengan menghadirkan narasumber-narasumber top, seperti Prof. Amin Abdullah (Dewan Pengarah BPIP), dan Yudi Latif, Ph. D. (Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society), Alissa Wahid (Direktur Jaringan Gusdurian), Prof. Musdah Mulia (Direktur Mulia Raya Foundation), Dr. Phil. Syafiq Hasyim (Direktur Perpustakaan dan Kebudayaan UIII), dan Moh. Shofan (Perwakilan Ma’arif Institute).