Najwa Shihab dan Tafsir Perempuan Kekinian

Najwa Shihab dan Tafsir Perempuan Kekinian

Najwa Shihab bertanya, “Kenapa sih perempuan harus disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya?”

Najwa Shihab dan Tafsir Perempuan Kekinian

Kenapa sih perempuan harus disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan seolah-olah perempuan tak berdaya(Najwa Shihab)

Skak mat!! Najwa Shihab, tuan rumah Mata Najwa, membungkam Denny Wahyudi alias Denny Cagur dalam sebuah tayangan televisi. Potongan videonya bahkan membanjiri linimasa media sosial dalam beberapa hari ini.

Jawaban yang sangat bernas, cerdas, dan deras itu mengalir begitu saja. Ia, tanpa aba-aba, menyambar sebuah pertanyaan yang disodorkan, “Menjadi jurnalis atau ibu rumah tangga?”.

Sebetulnya, tidak ada yang keliru dengan pertanyaan “menjadi jurnalis atau ibu rumah tangga”. Saya punya teman perempuan yang jika disodori pertanyaan serupa, haqul yakin, dia akan menjawab menjadi ibu rumah tangga.

Bagi teman perempuan saya itu, kelak, kalau berumah tangga, mengasuh anak di rumah adalah harga mati!!

Kok saya tahu? Lha iya jelas, wong teman perempuan yang saya maksud itu adalah mantan calon, ekhm, pacar saya. Haha. Beruntung saja, saya kurang beruntung. Pendek kata, kami beda halauan.

Jadi, pada dasarnya tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Yang jadi soal hanya salah sasaran saja. Najwa Shihab kok ditanya begitu. Ya pasti melawan balik, alih-alih bermanuver laiknya politisi.

Meski begitu, pertanyaan tersebut menyadarkan kita akan satu hal: ia, betapapun itu, merupakan cerminan dari masih dominannya logika domestifikasi perempuan. Dalam bentuk yang sangat paripurna, ia bahkan bisa berevolusi menjadi kalutnya penghakiman, “ngapain sih sekolah tinggi-tinggi, toh nanti cuma jadi ibu rumah tangga”.

Inilah faktanya. Tidak semua perempuan berpikir menjadi wanita karir itu keren. Kendatipun, banyak juga perempuan yang akan melawan jika dihadapkan pada pilihan purba serupa yang dihadapi Najwa Shihab.

Dengan demikian, sederet kalimat Najwa di atas itu sebetulnya biasa-biasa saja. Ia menjadi istimewa sebab mewakili perasaan sekian pejuang kesetaraan, khususnya perempuan, di seluruh negeri ini yang sedang ikhtiar melawan lebatnya budaya atau pikiran-pikiran patriarkhi.

Dan, harus saya katakan bahwa ikhtiar itu juga termasuk dalam salah satu misi penting dari ajaran Nabi Muhammad. Setidaknya berdasarkan apa yang saya pahami dari ayat suci, ada sedikitnya dua ayat—berkesinambungan— dalam Alquran yang membincang peranan perempuan: Q.S at-Taubah [9]: 71-72.

Dalam versi ke-di-sinian, begini kira-kira Tuhan berfirman:

Para mukmin laki-laki maupun perempuan, mereka saling melindungi satu sama lain. Memerintahkan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan sembahyang, dan menunaikan zakat, serta mematuhi Allah berikut Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah. Allah Maha Perkasa dan Maha Bijak”

Lalu,

Allah memberi janji kepada mukmin laki-laki dan perempuan dengan taman-taman yang mengalir di bawahnya bengawan-bengawan. Kekal mereka di sana. Dan tempat-tempat kediaman yang elok di kebun-kebun Aden (Adn), sedangkan ridla Allah lebih besar. Itulah dia keberuntungan agung.   

Dari kedua ayat itu, menjadi cukup jelas bahwa perempuan, dalam kedudukan yang sebenarnya, bukanlah objek. Perempuan, seperti sering dikatakan oleh Kalis Mardiasih, adalah juga subjek, lebih tepatnya subjek intelektual.

Bahkan, redaksi para mukmin pria dan wanita yang “saling melindungi satu sama lain” tidak harus berarti ketaklukan perempuan pada laki-laki.  Pengarang Ruhul Bayan, al-Burusawi menafsirkan kata-kata itu dengan, “Mereka (laki-laki maupun perempuan) saling menolong dalam perkara agama dan dunia, dan mecapai derajat-derajat lebih tinggi oleh pendidikan dan penyucian jiwa”.

Pendek kata, baik laki-laki maupun perempuan, pada dasarnya adalah sama. Mereka pun setara dalam peran. Persamaan harkat dan tugas itu diiringi persamaan nasib ukhrawi dalam ayat selanjutnya.

Ya, pria maupun wanita sama-sama berhak atas surga yang sama dan keridlaan Allah yang sama. Plus, mengenai “Adn”, salah satu tempat spesial di surga atau tempat khusus untuk para Nabi, para syahid, dan mereka yang saleh. Ke surga VVIP ini pun wanita maupun pria berhak masuk.

Di atas itu semua, penting untuk kita garis bawahi bilamana tugas perempuan dan laki-laki, yang dalam ayat di atas, dinyatakan persis, yakni: mengajarkan yang makruf dan mencegah yang munkar.

Lebih jauh, perlu dicatat baik-baik bahwa seperti diyatakan di banyak tempat dalam Alquran, amar ma’ruf nahi munkar boleh dibilang tugas bagi setiap mukalaf, tidak peduli jenis kelaminnya. Artinya, mau laki-laki ataupun perempuan, keduanya memiliki kadar hak dan kewajiban yang sama.

Di titik inilah, kita lantas bisa mengajukan pertanyaaan: bila perempuan hanya mengurusi hal-hal domestik, lantas kapan amar ma’ruf nahi munkar-nya? Kapan mereka bisa melaksanakan tugas mulia tersebut? Dan, kapan mereka bisa fastabiqul khairat dengan laki-laki?

Kemerdekaan adalah pilihan, bukan? Najwa Shihab sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan!!