“Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa makna umurku ini” (K.H. Wahid Hasyim)
Hampir seminggu ini berita seakan-akan bernyayi hal yang sama yaitu wacana dipertontonkan kembali film “Pengkhianatan G 30 S/PKI”. Media online pun tak kalah riuhnya, seakan-akan bulan September ini sudah tidak ada lagi wacana yang bisa diperbincangkan lagi selain isu komunisme dan PKI. Keadaan semakin diperparah akan penyerangan dan pengepungan kantor YLBHI di akhir minggu lalu.
Diskusi soal komunisme di negeri ini seakan-akan menghantui kehidupan kita. Padahal paham ini sudah sangat lumrah diperbincangkan dan didiskusikan di daerah-daerah lain bahkan di Palestina sekalipun. Kita mengenal Laela Khaled yang sangat berorientasi kiri dan bahkan partai tempatnya bernaung adalah partai yang berhaluan komunisme.
Dalam sejarah Islam, persoalan benturan ideologi dan ajaran beberapa kali terjadi bahkan sampai merenggut nyawa. Kita tidak mungkin lupa sejarah bagaimana al-Hallaj dan Suhrawardi yang harus menyerahkan nyawa mereka di depan altar eksekusi hanya dengan alasan ajaran mereka tidak bisa diterima oleh masyarakat kebanyakan.
Pertentangan atas sebuah ajaran atau ideologi akan mengeras dan membatu sehingga berbenturan dengan ideologi yang dipegang oleh yang berkuasa masa itu. Ini lah yang akan membuat sebuah ajaran atau ideologi akan dikorbankan untuk dan alasan ketertiban umum.
Di abad modern ini kita mungkin tidak begitu lagi mendengar hal-hal ini terjadi, tapi apa yang terjadi pada Malala Yousafzai dan Najib Mahouz hanyalah contoh sebagian kecil bahwa orang dengan sangat mudah menyakiti orang lain hanya karena perbedaan pendapat.
Nama terakhir adalah seorang novelis asal Mesir, Nama lengkapnya adalah Naguib Mahfouz Abdul Aziz Ibrahim Basya, dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1911, di Bandar Gamalia daerah pinggiran Kairo, Mesir. Keluarganya tergolong miskin dan tidak mengecap pendidikan yang memadai. Ayahnya adalah seorang pegawai bergaji rendah yang kemudian beralih profesi menjadi pedagang.
Awlad Haaratina (anak-anak Gabalawi) yang terbit tahun 1959 merupakan satu di antara karya terbaik Najib Mahfouz. Novel ini menceritakan seorang Gabalawi yang memutuskan untuk beristirahat dan menyerahkan pengaturan tanah wakaf kepada seorang anaknya. Tanah itu adalah sumber kehidupan orang kampung sekaligus pangkal malapetaka.
Wakaf tanah bukan untuk dikuasai sepihak, tapi dimanfaatkan bersama, sebagaimana dunia adalah wakaf Tuhan untuk manusia. Dan petaka mulai ketika muncul hasrat tamak manusia yang ingin menguasai tanah wakaf, dan ketika terjadi pelanggaran terhadap sepuluh syarat yang telah ditetapkan oleh Gabalawi sebagai pemilik asal, sebagaimana pelanggaran manusia terhadap sepuluh perintah Tuhan.
Novel ini dilarang dilarang di seluruh dunia Arab kecuali di Lebanon, karena dianggap menggambarkan Allah dalam perilaku manusia.
Tulisan Najib Mahfouz tak pernah sepi dari unsur-unsur kritik sosial dan politik, sebagaimana yang disampaikan oleh Najib Mahfouz: ”Dalam semua tulisan saya, Anda akan menemukan politik. Anda dapat menemukan sebuah cerita yang mengabaikan cinta atau lainnya, tetapi tidak politik”.
Najib Mahfouz menggunakan medium sastra dalam menyalurkan aspirasinya, penggunaan sastra sebenarnya dalam mengkritik kediktatoran dan penindasan bukanlah sesuatu yang garib. Dalam sejarah Islam kita mengenal al-Ma’arri yang menggunakan puisi untuk mengekpresikan kebebasannya, atau Pramoedya yang menghasilkan tetralogi “pulau buru” yang begitu fenomenal.
Adagium yang terkenal “ketika politik itu kotor, maka sastralah yang membersihkannya” mungkin belum bisa lepas dari perpolitikan kita yang masih penuh intrik ini. Tapi pertanyaan yang timbul seberapa banyaknya karya-karya sastra yang memiliki kekuatan untuk mengguncang atau cuma sebagai pelengkap dari deretan buku di perpustakaan dan membusuk di sana.
Karya sastra yang baik merupakan letupan puing-puing mahakarya yang dieksekusi lewat suara-suara masyarakat. Karya sastra juga sebagai realitas bumi dan masyarakat yang direkam dan dirajut dalam keindahan bahasa. Maka dalam memasukkan nilai-nilai di dalamnya seorang pengarang mesti memiliki jurus jitu dalam memikat para pembaca untuk membaca dan secara tidak langsung misi pengarang akan merasuk dalam otak para pembaca.
Di sini pembaca akan melakukan pengembaraan wacana terhadap karya sastra, yang pada akhirnya mereka terinfeksi virus-virus wacana dan sedikit demi sedikit mereka akan banyak melihat realitas lewat keindahan bahasa karya sastra. Oleh sebab itulah karya sastra mesti memiliki kekuatan dalam dua hal yaitu pandangan soal dunia dan misi merubah masyarakatnya.
Saat sebuah karya sastra yang ditakuti oleh mereka yang penindas dan otoriter adalah saat sebuah karya yang bisa menggerakkan masyarakatnya dan berasal dari rintihan masyarakat tertindas atau mustadhafin. Bukan karya yang malah membuat para membacanya malah dalam bahasa sekarang BAPER. Sastra yang menggerakkan pada akhirnya akan mendapatkan tempatnya di dalam hati mereka yang meratap atas penderitaan mereka.
Sebuah puisi yang terkenal dari al-Ma’arri akan menutup tulisan saya ini, puisi yang menggambarkan pandangan nihilis dari al-Ma’arri.
Aku telah merenungkan kehidupan
Aku tak menemukan jalan kehidupan yang menyenangkan
Ayo tinggalkan dunia ini, jika kau tidak bahagia
Terimalah ia sedikit atau banyak.