Naik turun tensi perdebatan khilafah vs Pancasila sudah mewarnai perbicangan ideologi di negeri ini sejak awal kemerdekaan, kembali intensif di beberapa tahun terakhir pasca pencabutan badan hukum dari organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Perdebatan ideologi ini lebih ramai di media sosial ketimbang di dunia nyata, sehingga dampak persoalan ini sekarang lebih rumit untuk diurai dan diselesaikan.
Ada perubahan manuver dari para pengusung khilafah untuk mendongkel ideologi Pancasila dan Demokrasi dari bumi Indonesia, strategi frontal sudah mulai ditinggalkan digantikan dengan mencairkan nilai perjuangan, kemudian disisipkan melalui gerakan dakwah motivasi perkembangan diri muslim dan membuat majelis taklim kecil di wilayah masyarakat bawah.
Dimulai sejak akhir tahun 2018, perbincangan isu ideologi ini memasuki babak baru yakni saat perbincangan ideologi khilafah yang (mem)permain(k)an emosi dan sentimen warganet. Tidak luntur ingatan kita, saat kejadian pembakaran bendera yang diasumsikan sebagai bendera organisasi HTI mendapatkan reaksi keras di kalangan mayoritas muslim. Nahdhatul Ulama sebagai organisasi “induk” dari Barisan Serbaguna (Banser) Ansor diserang massif, terutama melalui corong di media sosial, karena dianggap turut bertanggung jawab atas insiden pembakaran bendera tauhid oleh salah satu oknum Banser, yang diklaim sebagai bendera “umat Islam”.
Baca juga: Pilpres 2019, benarkah pro komunis dan pro khilafah bertarung?
Poin utama dari kejadian di atas adalah perubahan sikap masyarakat atas isu yang beririsan dengan ideologi negara. Sekarang, warganet menjadi sangat cair sehingga sulit dibuktikan apakah isu khilafah tersebut masih bagian perjuangan ideologis atau sekedar dampak gelombang tinggi keberagamaan di masyarakat. Oleh sebab itu, perlawanan terhadap simbol-simbol yang dulu identik dengan gerakan HTI sekarang malah dianggap menjadi milik mayoritas umat Islam.
Jika ditelisik lebih dalam ada dua faktor besar yang mempengaruhi terciptanya kondisi di atas. Pertama, strategi gerilya daring eksponen HTI. Saat keputusan pencabutan badan hukum HTI, eksponen mereka yang berjumlah cukup besar dan mayoritas mereka kecakapan teknologi digital yang cukup mumpuni, mulai bergerak klandestin dengan memanfaatkan dunia maya. Dengan membuat akun media sosial yang difungsikan untuk berdakwah, atau menyebarkan pemahaman atau ideologi mereka soal khilafah yang sudah dimodifikasi dengan rima milenial dan kalangan kelas menengah muslim.
Strategi buletin jumat tidak begitu gencar lagi mereka lakukan, walau masih dijalankan dengan mengubah imej dari “Al-Islam” ke “Kaffah”. Keputusan tersebut wajar diambil oleh kalangan eksponen HTI karena akses media sosial yang tinggi di kalangan perkotaan, sangat efektif dan lebih mudah jika dimanfaatkan untuk dakwah mereka. Dengan merebut wilayah media sosial, eksponen HTI mampu mengkhayalkan siapa umat dan siapa musuh umat (kafir), jauh sebelum kondisi teman-musuh tersebut sungguh hadir di dalam dunia nyata. Politik dakwah tersebut membawa HTI lebih diterima kalangan milenial dan kelas menengah muslim. Sehingga, beberapa ajaran dan simbol HTI sekarang lebih “diterima” sebagai bagian dari kalangan umat Islam.
Kedua, kondisi sosial politik. Semakin menguatnya politik identitas dengan orientasi teman-lawan, eksponen HTI cukup aktif di media sosial untuk terus “mengendalikan” dan “menciptakan” isu-isu untuk mengecoh imajinasi publik dengan terus menghembuskan sentimen Islam. Kondisi sosial politik ini mendapat ruang gerak yang begitu besar dan momentum saat meledak kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahja Purnama (Ahok), di mana isu sentimen keislaman menjadi sangat kuat karena terus dihembuskan imaji ancaman terhadap Islam selama tidak memiliki “pemimpin” yang akan menjaga kepentingan umat.
Kondisi sosial politik di atas terjadi disebabkan kelindan dari sentimen Islam yang tidak terakomodir selama orde baru, kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit masyarakat dan kebencian terhadap rezim Joko Widodo dengan berbagai alasan. Oleh sebab itu, semakin suburnya segregasi pilihan politik bukan hanya didukung dengan strategi jitu dari para aktor kampanye di kedua belah pihak. Tapi, pengaruh luar seperti media sosial juga turut memberikan pengaruh besar terhadap konstruksi kondisi sosial tersebut.
Media sosial sekarang dianggap sebagai salah satu corong “informasi” di ranah publik, tentu berdampak pada komodifikasi isu untuk kepentingan kalangan tertentu. Persoalan utama dalam pembicaraan Pancasila vs khilafah, sentimen keberagamaan dan emosi warganet dijadikan komoditas utama dalam isu pertentangan tersebut. Sehingga, sangat sulit mengharapkan terjadi perdebatan yang mencerdaskan, malah rentan terjebak pada saling hujat. Karena simbol dan ajaran ormas HTI, seperti bendera dan khilafah, sudah dianggap “bagian” dari umat Islam.
Hal ini dibuktikan dari pernyataan dari Din Syamsuddin di atas, yang mengarahkan ajaran khilafah adalah bagian dari ajaran umat Islam. Din Syamsudin memakai diksi “melukai perasaan umat Islam” untuk mengkonstruksi narasi khilafah juga bagian dari mayoritas rakyat Indonesia. Membuka perdebatan Pancasila vs khilafah menjadi hal tabu di masyarakat, sebab emosi masyarakat akan terusik sehingga rentan dalam perdebatan tidak sehat.
Baca juga: Prof. Din Syamsudin dan Khilafah
Berbagai apologi soal khilafah yang membius masyarakat dengan sangat mudah ditemukan di media sosial. Dengan mengabaikan fakta dan berbagai silang pendapat soal khilafah di rentang sejarah dan ajaran Islam, eksponen HTI sukses menjadikan khilafah seakan ajaran yang sudah final dan tidak bisa dikritisi. Menyalurkan kritik dan pertanyaan tajam pada persoalan khilafah dianggap sebagai melukai umat Islam, adalah keberhasilan penyokong ide khilafah mendangkalkan pengetahuan dan sikap umat Islam dalam menghadapi berbagai perbedaan pandangan, ajaran, dan mazhab di dalam Islam sendiri.
Pernyataan Hendropriyono soal perang ideologi Pancasila vs khilafah beberapa waktu lalu, rentan mengusik sentimen kalangan muslim dan memperparah segregasi sosial politik masyarakat yang terbentuk dalam beberapa tahun terakhir. Membongkar persoalan khilafah sekarang ini hanya bisa dilakukan dengan dua strategi, yakni memberikan narasi tandingan yang santun sekaligus mendekonsturksi narasi khilafah di media sosial.
Strategi menebar narasi tandingan di masyarakat sudah dilakukan oleh berbagai pihak, diantaranya NU dan Muhammadiyah yang sejak lama menolak paham khilafah dan memahami Islam dan Pancasila adalah hal yang final. Namun, kondisi terkini di Indonesia justru sulit untuk memberikan narasi tandingan yang diterima oleh masyarakat. Narasi dominan di media sosial harus direbut dengan berbagai manuver yang dilakukan untuk menghegemoni perbincangan di warganet. Tapi, ada hal yang perlu diperhatikan adalah manuver yang diterapkan jangan sampai jatuh di posisi ultra-nasionalis sebagai tandingan pada ide khilafah.
Dekonstruksi terhadap apologi khilafah dirasa cukup elusif, karena itu kita perlu memperhatikan dalam mengurai selebung dalam ide khilafah dan menjelaskan duduk persoalan tersebut kepada masyarakat. Dekonstruksi terhadap apologi khilafah yang bersileweran di linimasa hingga grup pesan instan harus disampaikan dengan “santun”, karena jika dilakukan dengan frontal dan keras malah cenderung memunculkan reaksi kontra-produktif di tengah kondisi arus kuat neo-konservatisme.