Pak Nadiem, tampaknya ada yang salah dalam cara memahami hafalan dan menurut bapak, dunia tidak lagi membutuhkan anak-anak yang jago menghafal. Saya pun lantas bertanya, apa yang salah dari tradisi menghafal dalam pendidikan kita? Menurutku, bukan menghafalnya yang tidak boleh. Menghafal juga bukan kekurangan. Tidak ada yang salah darinya.
Saya ingin cerita tentang sekolah Islam, tentang metode pendidikan di pesantren. Hampir tiap kali pelajaran ada tugas untuk menghafal. Saya sangat senang menghafal Nadzom Awamil, Amrithi hingga Alfiyah. Juga tasrifan dan qowa’idul i’lal, hukum-hukum dalam kaidah dan ushul fiqh, mantiq serta balaghah.
Sebagai orang yang tidak tahu apa-apa tentang khazanah keilmuan Islam, saya sungguh bahagia akhirnya “tersesat” di belantara pesantren. Dan, di pesantren–juga di lembaga pendidikan Islam lain, memang hafalan menjadi salah satu kunci. Saya juga memang kadang tidak mengerti, kenapa saya di pesantren?
Yang pasti saya amat senang menghapal syair yang berima indah. Seringkali kami mendendangkan nadzom-nadzom (bait-bait) itu untuk terus mengingat. Sebelum kelas dimulai, saat belajar, tengah malam, bangun tidur, ataupun saat antre mandi. Saya pun diajarkan untuk menghapal surat-surat dalam Quran, hadits-hadits, doa-doa harian, bacaan ritual dalam ibadah dan shalawat.
Tidak cukup sampai di situ, di sekolah, saya juga harus menghapal rumus-rumus matematika, teori-teori ilmu alam, tesis-tesis utama dalam ilmu sosial dan judul-judul sederet karya sastra terkenal.
Saya masih yakin hafalan-hafalan itu membantu saya memahami banyak hal hingga sekarang. Tapi berapa persen hapalan-hapalan itu yang sungguh-sungguh bermanfaat untuk kehidupan saya sehari-hari? Jujur mungkin teramat minim.
Nah yang membedakan adalah, di pesantren saya bisa melihat realitas dari apa yang saya hafal. Meski tidak detil dan menyeluruh, gambaran tentang bagaimana berislam dan mengaplikasikan keilmuan Islam itu saya peroleh dalam diri dan laku pribadi dari Ustadz dan Kiai saya.
Sebagaimana murid, saya amat mencintai dan mengidolakan kiai saya di pesantren dulu. KH Yahya Masduqi, KH Syarief Hud Yahya, KH Muhaimin As’ad, KH Makhtum Hanan, KH Amrin Hanan, KH Tamam Kamali, KH Muntab, dan masih banyak lagi. Tentu saya juga mengidolakan banyak sekali kiai saya paska periode mesantren, terutama kiai-kiai progresif di ISIF, KH Husein Muhammad, KH Faqih Abdul Kodir, KH Marzuki Wahid, KH Sutejo Ibnu Pakar, KH Syakur Yasin, Dr. Opan Safari Hasyim, dan masih banyak lagi.
Bukan karena teori-teori mereka tapi saya mencintai lebih karena kepribadian dan lakunya. Dan jujur, di sekolah, saya tidak mendapatinya. Saya mendapati akhlak dan sikap itu justru dari laku keseharian para ulama.
Di situlah mungkin letak masalahnya. Sekolah kita sudah sedemikian penuh dengan hapalan tapi minim pemahaman. Memahami konsep abstrak tidak bisa hanya dengan menghafal, tapi kita harus mencebur langsung ke realitas yang diwakili konsep tersebut.
Pada saat kiai saya menjelaskan tentang teori tafsir, dia mencontohkan bagaimana teori itu bisa dipraktikkan dalam memaknai suatu ayat. Tidak cukup begitu, kiai juga menghadirkan pendapat-pendapat lainnya yang sama sekali berbeda. Tak ada pendapat yang benar mutlak dan tak ada pendapat yang salah sepenuhnya.
Para Ustadz dan Ulama juga menjelaskan bagaimana realitas masyarakat muslim membumikan penafsiran tersebut. Beliau ini juga mengamalkan pengetahuannya itu di dalam kehidupan sehari-hari. Saya sebagai santri, hampir tiap hari bisa memperhatikan keseharian (living life) dari belau. Dari situ, ilmu dan pemahaman atas realitas, juga ilmu benar-benar dipelajari. Saya bersyukur mendapat banyak pemahaman darinya.
Konsep abstrak membekukan realitas, tapi kemudian para Ulama ini yang mencairkannya dengan amat lihai. Jujur, di sekolah, kita tidak menemukannya. Atau saya yang belum ketemu?
Menghafal tanpa memahami akan membunuh daya reflektif kita terhadap kehidupan nyata. Terlalu banyak menghafal dan meyakininya secara membabi buta, akan menghilangkan daya kreatif dan kritis kita terhadap realitas. Rumus, kode, konsep, teori, teks yang kita hapal adalah simbolisasi saja dari gejala-gejala kehidupan nyata.
Pertanyaannya, adakah teks yang benar-benar mewakili sepenuhnya realitas? Tidak ada. Selalu saja ada retak-retak. Bahkan ilmu eksak sekalipun, yang diyakini sebagai ilmu pasti, menyimpan lubang-lubang ketidakpastian. Fisika atom, hingga sekarang kuantum, membutuhkan lebih banyak imajinasi dibandingkan fakta empirik. Imajinasi bukan khayalan, ia adalah bentuk kreatif lain dari pemahaman.
Jadi kalau kita urutkan, dari mana masalah kita hari ini bersumber. Yups, dari rendahnya literasi. Kegagalan memahami bahwa setiap kata tidak mewakili realitasnya secara penuh. Untuk memahaminya butuh lebih dari sekadar menghapal. Meyakininya secara buta akan melahirkan pikiran yang picik dan dangkal.
Rendahnya literasi bisa menggiring kita ke arah konservatisme. Dengan daya dukung yang tepat, konservatisme bisa menjadi radikalisme atau bisa jadi terorisme. Jadi, saya setuju, pendidikan sebaiknya jangan cuma menghafal.[]