Guru Jadi Kelinci Percobaan Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim

Guru Jadi Kelinci Percobaan Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim

Konsep merdeka belajar ala menteri Pendidikan, Nadiem Makariem, ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, bahkan meniadakan konsep guru

Guru Jadi Kelinci Percobaan Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim

Konsep merdeka belajar saat pertama kali dipraktekan segera memangkas dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang menjadi laporan wajib guru menjadi satu lembar. Peristiwa ini sempat menyakinkan saya bahwa Menteri Nadiem Makarim akan membantu beban birokrasi-administratif dunia pendidikan untuk menjadi semakin efisien. Sampai hari ini, penyederhanaan RPP selalu membuat saya tidak akan melupakan jasa baiknya mas Menteri karena telah mengabulkan doa saya selama empat tahun terakhir. Namun semua berakhir dengan singkat.

Pandemik Covid-19 tidak hanya membuka tabir lemahnya sistem pendidikan nasional kita, namun mengundang para perompak baru untuk mengambil keuntungan dari semua pihak; orang tua, guru, sekolah, dan masyarakat. Peristiwa ini persis saat sejarah kedatangan bangsa Barat ke Nusantara. Awalnya mereka menawarkan teknologi dan ilmu pengetahuan, pada praktiknya penjajahan adalah harga yang harus dibayar kemudian hari.

Dari perspektif sejarah, pengulangan sangat mungkin terjadi. Hal ini disebut teori siklus. Meski tidak serupa namun pola yang sama sangat mungkin terjadi dalam kehidupan manusia dan bangsa Indonesia khususnya. Hampir mirip dengan kisah kedatangan Bangsa Barat, para perampok ini datang bukan dengan wajah sangar dan ribuan pasukan. Mereka datang sebagai solusi, perjanjian dan menawarkan produk. Sikap rasisme membutakan kita soal pelaku penderitaan bangsa ini sesederhana menyebut bangsa Belanda. Kenyataanya penjajahan negeri ini dimulai oleh Perusahaan bernama VOC.

baca juga: Pak Nadiem, Konsep Menghafal itu tidak sesederhana yang anda kira, apalagi di tradisi Islam

Begitupun saat Covid-19. Kita menyaksikan bagaimana program Kemenakertrans ‘Kartu Pra-kerja’ dialihkan begitu saja pada beberapa Perusahaan teknologi. Alih-alih melakukan pelatihan, pada praktiknya perusahaan teknologi tersebut hanyalah menjadi tangan kedua dalam menyalurkan dana bantuan dari pemerintah kepada rakyatnya. Ada juga yang menganggapnya sebagai perusahaan yang tidak mandiri karena hanya bisa hidup dari proyek pemerintah. Perusahaan semacam itu sangat mudah diidentifikasi. Biasanya menggunakan branding nasional cinta produk dalam negeri padahal tidak mampu bersaing dinegara lain.

Bukan kebetulan bahwa perusahaan Teknologi Edukasi semacam ini juga terlibat secara aktif sebagai perusahaan penyedia layanan pembelajaran berbasiskan online atau daring selama Pandemik. Saat Pandemik baru saja dimulai, Kemdikbud segera merekomendasikan tujuh perusahaan teknologi edukasi yag bisa diakses oleh seluruh siswa dinegeri ini (Liputan 6, 16/3/2020). Seperti kita ketahui bersama, justru aplikasi non-pembelajaran yang dipakai secara luas bahkan diluar pendidikan seperti Googlemeet dan Zoom meeting lebih diminati ketimbang aplikasi pembelajaran–yang untuk mempelajarinya saja guru perlu digelonggongi–dengan pelatihan berhari-hari yang melelahkan.

Sayang sekali tidak ada satupun pihak yang mau bertanggung jawab bagaimana dengan resiko kesehatan atas ratusan kali digempur pelatihan digital yang bermacam-macam? Umpamanya bahwa resiko terlalu lama menghadap layar dan beban interaksi digital yang mengancam kerusakan mental; adakah satu saja institusi negara yang mengajukan diri untuk bertanggung jawab? Namun hal semacam itu tentu tidak akan menjadi perhatian. Sebab pemerintah berhasil mengembangkan persepsi bahwa semua kemelut pendidikan ini disebabkan oleh kompetensi guru yang rendah saja.

Apabila pada kenyataannya guru hanya membutuhkan aplikasi sesederhana Zoom dan Gmeet, mengapa kemdikbud menggelontorkan dana Tujuh Triliun untuk memberikan kuota gratis bersyarat hanya pada aplikasi-aplikasi pembelajaran tersebut?

Bagaimana dengan guru yang–karena kreativitasnya–menggunakan sosial media yang sudah gratis menjadi media pembelajaran selama covid-19? Bagaimana kementrian akan mensubsidi para guru yang adaptif seperti ini?

Artinya, kita bisa membayangkan bahwa pola kebijakan kementrian pendidikan seperti jagal ternak dimana hulu ke hilir proses sudah dipersiapkan sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kreativitas hidup dalam logika produksi semacam ini.

Inilah yang saya presentasikan di dihadapan guru-guru Asia Pasifik dalam acara Global Talk yang diadakan pada bulan Agustus 2020 silam secara daring. Saya menyebutnya sebagai ‘Kombinasi sosial media.’ Tentu dengan data bahwa sosial media yang dipakai sudah lumrah atau terinstal di PC (Personal Computer) atau Smartphone para siswa, sehingga guru bisa menggunakannya sekaligus; WAG, Instragram live, dan Youtube sebagai kelas, Q&A dan Worksheet siswa. Singkat kata; guru punya kesempatan bereksperimentasi digital, namun kebijakan Kemdikbud justru mempersempit kapasitas guru dalam memperluas wawasan digital mereka.

Mengapa Kemdikbud seolah-olah ingin mensubsidi perusahaan teknologi edukasi padahal mereka adalah lembaga profit?

Tentu semua rancangan ini tidak turun dari langit. Kedudukan Perusahaan Teknologi Edukasi yang disubsidi oleh negara merupakan suatu rencana yang sudah terkonsep. Dalam gambaran Merdeka Belajar kemdikbud terdapat beberapa Klaster atau Stakeholder yang dianggap akan mendukung siswa menuntaskan pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya di masa depan. Seperti:

  1. Keluarga
  2. Guru
  3. Institusi Pendidikan
  4. Dunia Usaha/ Industri
  5. Masyarakat

Kelima pihak ini seolah-olah menjawab kritik di masa lalu agar pendidikan tidak hanya dimonopoli oleh sekolah (institusi pendidikan) dan pendidik (guru). Namun ada penjelasan yang janggal. Kedudukan Perusahaan Teknologi Edukasi dalam konsep merdeka belajar TIDAK BERADA pada klaster Dunia usaha/industri.

Di manakah kedudukan Perusahaan Teknologi Edukasi dalam konsep merdeka belajar?

Mereka ditempatkan dalam klaster ‘masyarakat’ sejajar dengan ’Organisasi Penggerak.’ Artinya cara pandang Merdeka Belajar sejak awal tidak memposisikan Perusahaan Teknologi Edukasi sebagai bagian dari Dunia usaha/ industri, namun sejajar dengan organisasi masyarakat lainnya. Sehingga kesimpulannya adalah; Perusahaan teknologi edukasi yang mencari keuntungan besar dan telah mendapatkan keuntungan luar biasa selama pandemik ini akan terus mendapatkan subsidi secara langsung maupun tidak langsung, rahasia maupun terbuka,  sebab hal tersebut adalah amanat dari konsep Merdeka Belajar.

Bagaimana dengan guru?

Selamat datang Kelinci! Silahkan masuk Lab!