Jujur saja, saya menangis melihat video itu. Bahkan saya terisak-isak saat menulis ini. Saya tidak bisa menghentikan tangisan saya bahkan saat saya harus memijit keyboard laptop ini. Mungkin karena saya adalah seorang ayah dari dua orang gadis remaja. Rasanya tak lagi ada ruang untuk sekedar membayangkan, bagaimana bisa seorang ayah mengajak putrinya meninggalkan dunia remajanya yang ceria bersama kawan-kawan sebayanya di Indonesia untuk berangkat ke Syria dan bergabung dengan ISIS.
[Video] Nada Fedulla, seorang WNI, dibawa ayahnya yang menjadi anggota ISIS ke Suriah. Nada terpaksa meninggalkan sekolahnya di Indonesia dan melupakan cita-citanya menjadi dokter. Kini dia tak bisa pulang. Bisakah Nada memaafkan ayahnya? pic.twitter.com/tD88loVePs
— BBC News Indonesia (@BBCIndonesia) February 5, 2020
Apa yang diinginkannya? Mengajak putri remajanya masuk surga bersamanya? Jika surga yang dia ingikan, mengapa dia meninggalkan negara yang penuh damai ini untuk bergabung dengan organisasi teroris yang begitu ringan membantai orang-orang yang berbeda dengannya? Jika dia ingin mempersembahkan surga ke putrinya, mengapa dia tidak berangkat seorang diri dulu, hingga dia yakin ada surga di sana.
Apa dia tidak rela melihat putri gadisnya berangkat ke sekolah dengan riang, berjumpa dengan teman-temannya dan sesekali merancang kenakalan khas anak remaja? Apakah dia tidak rela anak gadisnya menikmati kedamaian lingkungan pertetanggaan dan bertemu dengan kawan-kawan sebayanya untuk sekadar mengobrol hal-hal yang tak perlu? Apakah dia tidak bahagia melihat putrinya bermain bersama kawan-kawannya di hari Minggu untuk sekedar bersantai karena besoknya sudah harus sekolah lagi dan mengerjakan tugas-tugas dari guru yang nyaris tidak memberinya waktu untuk beristirahat? Bagaimana mungkin ada ayah seperti itu? Bagaimana mungkin?
Baca juga: Nada Fedulla Cuma Ingin Pulang ke Indonesia
Sang putri, dengan terisak menyatakan telah memaafkan kesalahan ayahnya. Dari ruang penjara ISIS, si ayah menyesali perbuatannya. Dia mengakui inilah kesalahan terbesar yang pernah dibuatnya. Saya menagis untuk gadis itu. Sebagai seorang ayah, hati saya terluka. Sebagai seorang ayah pula, saya tak sanggup memaafkan seorang ayah yang merampas surga kehidupan anaknya dan menukarnya dengan neraka kekejaman dan kehancuran masa depan.
Gadis cantik yang malang itu bernama Nada Fedullah. Dia hanyalah seorang remaja belia. Dia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Sungguh mulia! Pastilah dia anak yang cerdas. Seperti pengakuannya, dia anak yang suka belajar. Tapi, impian itu hancur ketika suatu hari ayahnya mengajaknya ke luar negeri. Usia bocahnya tak menyadari bahwa ia akan diajak ayahnya ke Syria, untuk bergabung dengan ISIS. Sampai di sana, dimulailah detik-detik hidupnya dalam kurungan awan gelap yang mengerikan. Yang dilihatnya adalah pembantaian, bahkan kekejaman itu dipertontonkan di jalan-jalan.
Saat dia menangis terisak menceritakan kisahnya, impian-impiannya yang hancur; trauma karena pembantaian yang tepat berada di depannya; permohonannya untuk dimaafkan; dan kerinduannya untuk kembali pulang ke Indonesia, siapa yang tak jatuh iba. Dia gadis yang manis. Dia tidak bersalah. Dia dikorbankan oleh ayahnya atas nama hasrat agama. Atas nama jihad di jalan Allah. Atas nama keinginan masuk surga melalui pembentukan sebuah negara Islam di Syria.
Dia tak melakukan kejahatan apa-apa. Dia hanya ingin pulang ke pelukan negara yang mungkin tidak sadar selama ini sangat dicintainya. Seperti banyak yang terjadi pada kita yang baru merasakan nikmat sehat saat kita sakit. Dia mungkin baru menyadari rasanya cintanya kepada surga Nusantara saat tanpa kuasa diajak ayahnya memasuki neraka Syria.
Dia sama sekali tak bersalah. Dia hanya rindu untuk pulang ke rumahnya, ke pelukan kita. Kita adalah Indonesia. Kita bukan ISIS. Jadi, semestinya kita merangkulnya, menghapus air matanya, dan memberinya cinta; Di sini, di Bumi Pertiwi.[]