Sebelum menghakimi, membuli dan mencaci, alangkah baiknya seseorang terlebih dulu membaca, mencermati, memahami dan mengklarifikasi. Atau bahasa agak islami-nya tabayun. Yaps, memang memahami sangat sulit bagi sebagian bahkan banyak orang. Karena sangat sulit, akhirnya pilihan untuk mencaci, membuli dan menghakimi menjadi pilihan terakhir bahkan favorit di antara kita.
Judul di atas sengaja penulis tulis untuk melihat reaksi kawan-kawan muslim di Indonesia. Atau dalam bahasa pak Menteri BUMN yang lagi viral, Erick Tohir, ingin melihat “Bagaimana akhlakmu?”. Dalam hal ini, apakah dengan melihat judul itu penulis akan langsung dibuli dan dicaci bahkan dilaporkan sebagai penghina Nabi? Dicap kafir atau bahkan dipaksa mengucapkan takbir biar dianggap sebagai orang Islam? Sebagaimana yang menimpa mas Eko, anggota Banser yang sabar ketika dicaci itu.
Yang ingin penulis utarakan dalam tulisan santuy ini sebenarnya adalah bagaimana seorang Nabi yang sangat Agung, Muhammad SAW dicaci dan dimaki masyarakat kafir Quraish? Yakni, di saat lingkungan sosial dan masyarakat Arab sangat lekat dengan kebengisan, ketidakadilan, petriarkhal, penindasan, dll.
Ya, memang Nabi Muhammad dalam pandangan kaum Quraish, begitu juga masyarakat Taif (yang melempari beliau dengan batu), patut untuk dicaci dan dibuli. Hal ini karena Nabi membawa ajaran yang mampu mengubah secara total ajaran-ajaran sebelumnya. Tidak hanya itu, ajaran Islam yang dibawa Nabi dikhawatirkan orang Quraish dapat menghancurkan dominasi tradisi-tradisi minor di atas, dan tentunya menghilangkan pengaruh para pembesar seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan komplotannya.
Bagi kaum Quraish—khususnya para pemimpinnya—Islam telah merusak tatanan kehidupan yang berbalut keglamouran dan “kenikmatan” yang selama ini mereka rasakan. Sebagai contoh, Nabi telah memberikan kabar gembira bagi budak karena Islam ternyata memberi hak persamaan atau egalitarianisme sebagai manusia seutuhnya. Bahkan Islam berupaya menghapus tradisi perbudakan yang sudah eksis berabad-abad—sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh para budak waktu itu.
Nabi juga telah mengusik para “pecinta wanita”. Sebuah hal yang wajar bagi para saudagar kaya dan penguasa suku waktu itu adalah memiliki istri, bahkan selir yang tidak terbatas. Mereka juga bisa diceraikan, dikumpuli kapan saja dan dijadikan barang warisan. Intinya, yang paling penting dalam diri wanita bagi kuffar Quraish adalah karena mereka bisa dijadikan objek kenikmatan dan “barang” dagangan.
Namun kemudian Nabi datang dan merombak semua. Para wanita muda maupun janda diberi hak yang begitu istimewa. Mereka berhak mendapatkan waris (yakni satu banding dua), eksistensi mereka diakui dan Nabi juga membatasi para lelaki untuk tidak menikahi perempuan melebihi empat. Kalaupun mau menikah lebih dari satu, itu pun dengan syarat yang sangat berat, yakni mampu berbuat adil, bahkan lebih diutamakan menikahi perempuan yang yatim.
Hal lain yang paling menyebalkan bagi para pemuka Quraish adalah, bahwa Nabi telah meluluh lantahkan sistem kepercayaan yang diyakini masyarakat kafir Quraish kebanyakan selama bertahun-tahun. Mereka sangat yakin bahwa berhala-berhala keren seperti Latta, Uzza, Hubal dan Manat dapat memberikan manfaat dan dapat pula menyebabkan laknat bila tidak disembah dan diberi sesajen.
Beberapa hal yang penulis utarakan di atas hanyalah segelintir dari sekian bukti nyata sejarah awal perjuangan Nabi dalam menghadapi masyarakat Quraish. Nabi layak dicaci dan dibenci karena beliau—dalam pandangan mereka—membawa ajaran-ajaran yang mempunyai daya ledak yang luar biasa terhadap segala perilaku kedzaliman.
Lalu, apakah kaum muslim sekarang sudah terbebas dari jeratan akhlak yang bejat seperti kaum Quraish? Jawabannya belum—untuk mengatakan tidak. Masih banyak masyarakat muslim sekarang yang memandang wanita dengan pandangan yang subordinate atau meremehkan. Perilaku maupun sikap seperti ini dilakukan baik oleh mereka yang mengerti agama maupun yang awam (namun semangat beragama).
Kita tidak usah tutup mata betapa masih sedikit perempuan di desa yang memiliki kedaulatan untuk bersikap. Entah bersikap dalam menentukan pendidikan, karir maupun jodoh. Baik dalam lingkup keluarga maupun lingkup sosial. Padahal Nabi mendorong wanita untuk keluar dari sekat-sekat semacam ini.
Tentu pernyataan penulis ini bisa didebat misalnya dengan bertanya, “Jangan samakan dengan masyarakat Quraish dong, wanita sekarang kan lebih dihormati.” Dalam satu titik, memang perempuan muslim sekarang lebih bermartabat dibandingkan dulu, tetapi di titik yang lain “semangat” untuk menganggap perempuan sebagai makhluk nomer dua, masih ada.
Berbeda lagi dengan persolan perbudakan dan sesembahan. Perbudakan dalam bentuk kolonial memang telah hilang, praktik penyembahan berhala pun sudah lenyap. Namun, transformasi perbudakan dan sesembahan abad 21 masih ada. Banyak dari masyarakat muslim yang memperlakikan kaum marjinal, miskin, dan tak berpendidikan dengan perlakuan semena-mena. Betapa banyak misalnya, pembantu rumah tangga diperlakukan tidak selayaknya?
Perilaku “sesembahan” pun juga demikian, tanpa disadari banyak dari kita menyembah harta, jabatan, wanita dan tahta. Bahkan dalam bentuk yang kurang begitu disadari adalah penyembahan simbol-simbol agama yang sekarang lagi trending-trendingnya. Praktik ini diikuti oleh mereka penikmat simbol ajaran daripada nilai ajaran itu sendiri.
So, kembali lagi ke awal, Nabi layak dibenci oleh masyarakat Quraish karena telah memperjuangkan nilai-nilai Islam di atas. Bila kita mengaku cinta Nabi, mari tiru akhlak beliau yang mudah memaafkan, sopan dan memukau semua orang. Kana khuluquhu al-Qur’an, Akhlak Nabi adalah akhlak Qur’ani.