Bagaimana kita bisa melampaui tiga pilar yang mendasari pandangan patriarki tersebut? Gagasan/saran saya adalah sebagai berikut. Selain menerapkan metodologi konseptualisasi dan penafsiran teks-teks normatif Islam sesuai dengan pemikiran Muslim progresif, seperti konseptualisasi komprehensif dan adopsi pendekatan rasionalis terhadap teologi dan etika (Islam), jawaban atas pertanyaan tersebut adalah:
Pertama, melahirkan konseptualisasi alternatif terhadap kosmologi gender berdasarkan hubungan timbal balik dan non-hierarkis. Dalam hal ini, penting untuk mempermasalahkan dan pada akhirnya menggoyahkan pengutamaan konsep maskulinitas dalam otoritas agama, politik, dan keluarga dan, pada gilirannya, secara konseptual (dan sebenarnya) memperkuat hubungan antara feminitas dan otoritas yang religius dan politis. Secara khusus, hal ini dapat dicapai melalui pembentukan ruang-ruang keagamaan yang menegaskan otoritas/kepemimpinan keagamaan dan komunal perempuan.
Misalnya, melalui pendirian dan dukungan terhadap masjid-masjid yang dipimpin perempuan (seperti Masjid Perempuan di Amerika di Los Angeles) atau masjid-masjid yang dijalankan oleh imam perempuan (seperti dalam kasus imam perempuan Denmark di Masjid Mary di Kopenhagen, Sherin Khanakan). Pengakuan dan peningkatan otoritas ilmiah perempuan yang terlibat dalam penafsiran teks-teks normatif dan membawanya ke dalam diskusi yang bermanfaat dengan bentuk-bentuk penalaran teks keagamaan yang didominasi laki-laki (dan seringkali androsentris) juga penting untuk mewujudkan pergeseran paradigma dalam cara di mana aspek gender dari kosmologi agama berfungsi.
Kedua, memikirkan kembali sifat dan hubungan konseptual antara maskulinitas dan feminitas di mana maskulinitas dan feminitas tidak dianggap sebagai dua hal yang berlawanan.Pendekatan tradisionalis terhadap hubungan antara peran gender, norma, dan agama adalah produk sampingan dari budaya patriarki pramodern, dan sistem nilai budaya yang, dalam berbagai tingkat, tercermin atau, dalam beberapa kasus, ditantang dalam teks-teks agama normatif. Namun, penting untuk diingat bahwa kitab suci normatif ini tidak memberikan teori yang sistematis ataupun komprehensif mengenai peran dan norma gender.
Selain itu, teori oposisi gender yang dibahas di atas adalah hasil dari penalaran kitab suci yang bersifat androsentris. Dengan demikian, mungkin untuk mengembangkan hubungan konseptual alternatif yang mengatur sifat dinamis maskulinitas-feminitas yang lebih responsif secara kontekstual (yaitu, tidak berakar pada argumen berbasis determinisme biologis) dan tidak didasarkan pada logika saling melengkapi (yaitu, oposisi). Menganut pandangan yang lebih dinamis tentang maskulinitas dan feminitas, serta peran dan norma gender masing-masing akan menghapus elemen penting dari pandangan patriarki, yaitu gagasan tentang ‘kewajaran’ otoritas laki-laki, terutama di ranah agama dan politik. Ini, pada gilirannya, akan memiliki efek pembebasan pada hak-hak perempuan dan akan membantu memfasilitasi pandangan dunia (worldview) dan dunia di luar patriarki dalam konteks Muslim.
Ketiga, rekonseptualisasi konsep kehormatan itu sendiri yang memisahkan kehormatan laki-laki dari perilaku seksual atau perilaku yang dipersepsikan secara seksual dari ‘kaum perempuannya’
Seperti yang kita lihat di atas, denominator umum terendah dari sistem nilai berbasis kehormatan patriarki adalah hubungan konseptual kehormatan laki-laki dengan perilaku perempuan (yang dianggap) seksual. Untuk mewujudkan dunia di luar patriarki, sangat penting untuk, dalam jangka pendek dan paling tidak, mempertanyakan alasan di balik bentuk ‘kehormatan’ tersebut. Dalam jangka panjang, perlu untuk menggeser istilah ‘kehormatan’ menjadi istilah ‘martabat manusia individu’ di mana setiap individu berhak atas haknya sendiri, tanpa memandang jenis kelamin.
Setiap individu harus dianggap sebagai sumber kehormatan mereka sendiri dan bukan bagian dari kehormatan orang lain. Untuk mencapainya, tentu butuh pergeseran budaya skala besar dalam konteks Muslim yang masih mempertahankan sistem nilai berbasis kehormatan patriarki. Untungnya, teks-teks normatif Islam memiliki sumber daya yang diperlukan untuk membantu mencapai pergeseran paradigma ini dari kehormatan laki-laki menuju sistem nilai kesetaraan gender yang berbasis martabat.
Saat ini, ada banyak cendekiawan, aktivis, dan organisasi yang terkait dengan gagasan dan prinsip yang mendasari teori Islam progresif, yang bekerja di bidang gender dan Islam, yang selama dua hingga tiga dekade terakhir telah melakukan intervensi teoretis penting dalam kaitannya dengan tiga poin yang diuraikan di atas, termasuk saya sendiri. Saya sangat berharap suara mereka akan diikuti banyak kalangan sehingga pada akhirnya dapat memadamkan suara patriarki yang masih dominan, terutama dalam konteks mayoritas Muslim.
*Artikel ini diterjemahkan oleh Asep Rofiuddin dari artikel berjudul Using Progressive Muslim Thought to Take Down Patriarchy. Artikel ini diterjemahkan atas kerjasama Adis Duderija dengan el-Bukhari Institute.