Muslim Cyber Army (MCA) tidak hadir dalam ruang dan waktu yang terjadi begitu saja. Ada peristiwa dan momen yang tentu saja terkait erat dengan politik. Hal itu, bisa kita lihat sejak dalam sejarah demokrasi kita. Di penghujung kejatuhan rejim Orde Baru, misalnya, internet menjadi medium menguatkan solidaritas kemanusiaan untuk melakukan perlawanan terhadap kebobrokan pemerintahan Suharto. Melalui surel, (Alm) George Junus Aditjondro membagikan pelbagai informasi terkait kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Suharto dan bagaimana uang tersebut tertanam di sejumlah negara.
Informasi dari George Junus Aditjondoro ini dicetak, difotocopi, dan kemudian disebarkan oleh para aktivis kemanusiaan dan sejumlah akademisi pro-demokrasi di Indonesia (Lim, 2006). Sirkulasi informasi ini menjadi alternatif suara kritik di tengah pembredelan media massa, baik koran maupun majalah saat itu. Berbeda dengan email, pertumbuhan teknologi digital dengan inovasi yang terus dilakukan memunculkan media baru dan ikutannya yang jauh lebih interaktif, mulai dari Blog, Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Path, WhatsApp dan sejenisnya.
Di sini, pengguna tidak hanya sebagai subyek yang memproduksi informasi dan kemudian menyebarkan, melainkan juga orang yang turut mengkonsumsinya sekaligus (prosumer). Penyebaran yang massif dalam waktu yang singkat dan kekinian, informasi yang diciptakan kemudian menjadi layaknya virus yang menjalar ke semua arah. Virus inilah yang kemudian dikenal dengan istilah viral. Kehadiran produk-produk China dan akses internet dengan dukungan struktur jaringan telekomunikasi yang lebih baik telah mendemokratisasikan kepemilikan telepon genggam pintar (smarthphone), di mana kebanyakan orang Indonesia bisa melihat seluruh dunia dalam genggamamannya pasca rejim Orde Baru. Namun, kecanggihan teknologi yang menghubungkan individu ke dunia luar yang jauh ekstensif tidak diiringi dengan pendidikan literasi di tengah praktik kebudayaan tradisi oral yang dominan dan jauh lebih mengakar.
Akibatnya, saat media sosial digunakan dalam politik elektoral untuk menjatuhkan lawan politik dengan menggunakan sentimen agama, yang terjadi adalah kerusakan dan brutalitas wajah ruang publik. Di sini, orang tidak dapat membedakan lagi mana yang benar dan palsu. Asalkan itu sesuai dengan yang diinginkan, ia akan menyebarkan informasi tersebut. Kondisi ini kemudian diperparah dengan jebakan algoritma dalam platform digital, baik itu di Google, Youtube, maupun media sosial (facebook, instagram, dan twitter). Dengan membaca kecenderungan individu atas informasi yang dicari dan dibaca, algoritma itu kemudian mengarahkan orang hanya kepada isu-isu yang disukai saja.
Sebaliknya, ketika ada yang berbeda, itu menjadi oposisi informasi. Algoritma dengan informasi sama ini membuat repetitif bacaan sehingga orang mengiranya itu sebagai kebenaran.
Kehadiran Muslim Cyber Army (MCA) persis dalam konteks ini. MCA membuat ribuan pelbagai akun facebook dan twitter dan kemudian menyebarkannya pelbagai berita hoax melalui Whatsapp, Telegram, ataupun media sosial lainnya untuk menciptakan citra bahwasanya pemerintah Indonesia sebagai anti Islam. Di antara berita tersebut adalah penyerangan ulama, pembunuhan seorang Muadzin, hingga kebangkitan PKI. Dengan mengambil data-data yang berseberangan, MCA membangun stigma berita bohong yang dibuat.
Penggunaan dan pengatasnamaan Islam ini membuat ribuan orang tertarik menjadi anggota MCA. Meskipun memiliki anggota massa yang relatif cair dengan sistem terbuka untuk menjadi anggota/ followers, organisasi ini memiliki tim inti yang disebut dengan Family MCA (www.bbc.com, 28 Februari 2018). Untuk menjadi tim inti ini tidaklah mudah. Selain dibaiat, mereka harus mengerti aplikasi teknologi serta adanya kesamaan visi dan misi. MCA ini Indonesia ini menginduk ke United MCA, jaringan internasional yang telah berhasil memecah belah Suriah dan Irak.
Berbeda dengan Saracen yang bermotif bisnis, ada yang memesan dan kemudian dibayar. Meskipun masih dalam penyidikan kepolisian, mereka melakukan itu karena aksi pribadi tanpa suruhan dari siapapun. Hal ini disampaikan oleh Ahyad Saepuloh yang mengunggah postingan SARA di akun Facebook, yang menjadi tahanan di Polda Jawa Barat (www.bbc.com, 28 Februari 2018). Hal yang sama juga disampaikan Andi. Ia tergabung MCA bukan karena ada yang memimpin dan membayar.
Apa yang dilakukan itu, semata-mata menghadang “isu negatif oleh pihak lawan” di dunia maya. Pilkada Jakarta, dalam konteks ini isu penistaan agama, menjadi awal untuk menginisiasi MCA tersebut. Lebih jauh, maksud musuh-musuhnya yang ingin dihancurkan adalah para “cebongers” yang mendukung Ahok sekaligus Presiden Jokowi (www.tirto.id, 2 Maret 2018)
Memang, penggunaan kata Muslim dalam MCA digugat Zaninut Tauhid, wakil Ketua Umum MUI, sebagai tindakan penodaan kesucian agama Islam. Menurutnya, itu merupakan bertentangan dengan Islam dan hukumnya haram, karena bertentangan dengan hukum positif, dan memunculkan keresahan, ketakutan, perpecahan, serta permusuhan yang dapat menimbulkan kerusakan dalam bermasyarakat dan bernegara (www.kompas.com, 1 Maret 2018). Namun, penuturan dua tersangka tersebut, tindakan itu merupakan penguatan diri sebagai seorang Muslim sejati yang ditunjukkan kepada keberpihakannya dengan melawan rejim pemerintahan saat ini yang dianggap anti-Islam. Sebelum tertangkap, alih-alih merasa bersalah atas keresahan, ketakutan, dan potensi konflik yang terjadi di masyarakat akibat sebaran hoax tersebut, apa yang dilakukan itu merupakan bagian dari jihad politik.
Karena bagian dari jihad, mereka tidak merasa bersalah sedikitpun. Ini tercermin dari latarbelakang dua tersangka, RSD dan TAW. RSD sendiri merupakan anggota PNS di kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sebagai PNS, bekerja dan digaji oleh negara, berkhidmat kepada pemerintah, entah siapapun mereka yang menjabat, merupakan prasyarat utama yang seharusnya dipegang oleh RSD. Sebagai dosen tamu bekerja dalam dunia akademik, mengajar mata kuliah bahasa Inggris di Universitas Islam Indonesia (UII), TAW tentu tahu batas rasionalitas dan regulasi. Namun, ia merasa tidak bersalah telah membagikan sebanyak 150.000 kali informasi hoax di akun facebooknya, atas nama Tara Dev Sams, yang membuat resah warga Majalengka (www. jawapos.com, 27 Februari 2018; www.detik.com, 28 Februari 2018).
Kondisi ini mengingatkan saya kepada teori banalitas kejahatan, dikemukakan Hannah Arendt (1985) mengenai Adolf Eichman, mantan Letnan Kolonel SS NAZI yang diajukan ke pengadilan Israel sebagai penjahat perang, bertanggung jawab secara operasional karena mendeportasi 6 juta Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi seluruh Eropa, termasuk di dalamnya adalah Auscwitz. Selama 16 Minggu, Arendt dengan cermat mengikuti jalannya persidangan. Setelah observasi mendalam jawaban, eskpresi, dan tingkah laku Eichmann, Arendt menyimpulkan bahwa ia bukanlah monster dan pembunuh berdarah dingin seperti bayangan orang ketika itu. Sebaliknya, ia orang normal seperti kebanyakan orang lain. Bahkan, setelah mempelajari masa lalunya, Arendt berpendapat bahwa Eichmann ini bukan seorang anti-semitik yang fanatik. Ia bukanlah orang jahat yang di dalam dirinya.
Arendt melihat struktur totaliter di mana Eichmann berada di dalamnya telah melumpuhkan logikanya. Hal ini mengakibatkan ia kehilangan kemampuan berpikir kritis dan takut mengambil sebuah keputusan sesuai dengan hati nuraninya. Ia lebih patuh menjalankan hukum secara dangkal.
Bertolak dari sini, adanya struktur politik kebencian yang sudah tertancam sejak Pilpres 2014 melalui Hoax, dilanjutkan dengan Pilkada 2018, telah membelah masyarakat Indonesia secara keras. Produksi hoax dan sebarannya yang massif di tengah ketidaksiapan intervensi negara untuk mengantisipasi saat itu, membuat tindakan itu sebagai hal yang biasa dan normal. Dalam taraf tertentu dianggap sebagai jihad di dunia maya.