Aku sudah menulis di buku “Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”. Imam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan :
مَنْ لَمْ يُحَرِّكْهُ الرَّبِيْعُ وَأَزْهَارُهُ، وَالْعُودُ وَأَوْتَارُهَ، فَهُوَ فَاسِدُ الْمِزَاجِ، لَيْسَ لَهُ عَلاَجٌ
“Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati”. (Ihya Ulum al-Din, II/275).
Bagi al-Ghazali musik dapat meningkatkan gairah jiwa. Ia mengajak para pembacanya untuk merenungkan kicauan burung nuri atau burung-burung yang lain. Suara-suara itu begitu indah, merdu dan menciptakan kedamaian di hati pendengarnya. Seruling (Ney) yang ditiup, piano yang ditekan satu-satu, biola yang digesek-gesek atau rebana yang ditabuh adalah suara-suara. Suara-suara ini hadir mengekspresikan lubuk hati yang dalam. Suara-suara itu tak ada bedanya dengan nyanyian para biduan. Musik itu adalah simbol isi hati dan pikiran.
Di tempat lain al-Ghazali mengatakan dengan penuh kearifan : “Mendengarkan music penting bagi seorang yang hatinya dikuasai oleh cinta kepada Tuhan, agar api cintanya berkobar-kobar. Tetapi bagi orang yang hatinya dipenuhi cinta hasrat duniawi yang fana atau diliputi birahi yang menyala-nyala, mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan hati, memalingkan dari Tuhan dan melalaikan-Nya. Jika begitu maka itu haram”.
Maulana Jalaluddin Rumi menggubah tarian berputar Whirling Dervishes (Darwis yang berputar) atau Sema, diiringi Ney yang mendayu-dayu, mengungkapkan kerinduan yang menggamit kepada Sang Kekasih.
Aku menyaksikan tarian indah ini di Istanbul dan di pelataran Mausoleum Rumi di Konya yang antik, melankoli dan merindukan.
Kaliurang, Jogja, 140318
HM