Cerita Seri Ramadhan: Musholla Terakhir di Desa

Cerita Seri Ramadhan: Musholla Terakhir di Desa

Cerita Seri Ramadhan: Musholla Terakhir di Desa
Masjid atau musholla adalah rumah umat Islam (Andir Erik/ISLAMIDOTCO)

Desa yang tadinya sepi tiba-tiba berubah ramai. Media massa, media sosial dan kanal-kanal YouTube memberitakan perihal rencana eksekusi sebuah bangunan musholla ukuran 6 M x 7 M oleh Panitera Pengadilan Negeri. Mata publik tertuju bukan pada caranya eksekusi, namun besarnya modal eksekusi yang tak sebanding dengan luas serta ukuran musholla.

Kabar eksekusi terus menyebar lebih cepat dari angin yang berhembus di antara sawah dan rumah-rumah warga. Di warung kopi, di emperan pasar, di grup WhatsApp desa, semua orang membicarakannya.

“Musholla itu mau dirobohkan besok pagi!”

“Wakaf kok bisa ditarik lagi? Apa dunia sudah jungkir balik?”

“Katanya karena nggak tercatat di BPN. Padahal dari dulu nggak ada masalah!”

“Ah, siapa suruh dulu wakafnya cuma lisan? Ini jadi pelajaran buat kita semua!”

Penduduk desa kini merasakan kegusaran yang luar biasa. Sebagian mereka bahkan bicara dengan nada gusar, marah, atau sekadar pasrah. Ada yang mengepalkan tangan, merasa ini ketidakadilan yang nyata. Ada yang menggeleng-geleng, menganggap semua ini memang sudah kehendak zaman.

Meski ada juga yang diam-diam bersyukur—setidaknya, tanah itu bisa dimanfaatkan kembali, entah untuk rumah, entah untuk ruko. Namun sebagian kecil saja dna tak berani speak up.

Tapi semua orang sepakat: dunia memang makin aneh.

Musholla kecil itu berdiri di atas tanah yang dulu diwakafkan oleh seorang lelaki tua yang kini telah lama tiada. Luasnya tak lebih besar dari sebuah kontrakan. Namun sungguh tragis, beberapa tahun terakhir, tempat ibadah itu menjadi pusat sengketa yang memanas: ahli waris wakif menggugatnya dengan dalih penyerobotan.

Seorang buruh tani bahkan menyebut ahli waris sebagia orang yang tak punya hati. Mereka mewarisi harta, tapi tidak mewarisi keikhlasan. Wakaf yang dulu diberikan orang tua mereka dengan penuh harap demi kebaikan umat, kini mereka tarik kembali seakan itu barang titipan yang bisa diminta sesuka hati. Mereka menangisi tanah, bukan karena kehilangan keberkahan, tapi karena tergiur angka-angka dalam sertifikat.

“Dulu harganya itu sepuluh ribu, sekarang udah 2 jutaan lah”

“Emang susah, angka dalam lembaran uang sering mengalahkan logika”

Kini, harga sudah menyentuh dua juta per meter, dan seketika keikhlasan itu pun berubah menjadi hak yang ingin direbut kembali. Mungkin bagi mereka, surga tidak lebih penting dari akta kepemilikan, dan pahala jariyah hanya mitos kuno yang tak bisa diuangkan.

Mereka menggugat dengan wajah penuh pembenaran, berdebat soal celah hukum dengan lidah yang lebih tajam dari iman mereka sendiri. Seolah-olah yang berhak atas tanah itu bukan Allah, tapi dompet mereka yang semakin lapar.

Kini, musholla itu hidup dalam hitungan waktu.

Ridwan menggulung sarung lusuhnya hingga betis, tangannya tak lupa melepaskan topi hitam pemberian sahabatnya, Rusman. Ujung cangkulnya menancap di tanah di sampingnya. Ia baru saja pulang dari sawah, tapi bukan rasa lelah yang memenuhi wajahnya, melainkan kemarahan yang ia tahan-tahan.

Di sampingnya, Rusman, pria berjaket cokelat, duduk dengan wajah murung. Ia mendengar, tapi hatinya tak ingin mendengar.

“Aku tidak akan diam, Man,” Ridwan membuka suara, nada suaranya tegas. “Kalau besok mereka datang untuk merobohkan musholla ini, aku akan berdiri di depan mereka, bahkan kalau hanya dengan cangkul di tangan.”

Rusman menoleh, rahangnya mengeras.

“Jangan bodoh, Wan,” ucapnya, mencoba tetap tenang. “Hukum sudah memutuskan. Tak ada yang bisa dilakukan lagi.”

Ridwan tersenyum miris. “Hukum siapa? Hukum manusia? Aku tahu, hukum bisa ditulis dan dihapus, bisa dibengkokkan sesuai kepentingan. Tapi ada hukum yang tak bisa diubah, Man. Hukum langit. Yang namanya wakaf, tak boleh kembali. Itu hak Allah, bukan manusia.”

Rusman mengusap wajahnya, menahan sesuatu di dadanya yang semakin sesak.

“Kau tidak mengerti, Wan. Aku tahu ini menyakitkan, tapi… dunia tidak selalu berjalan sesuai keinginan kita.” Rusman mencoba meraih harapan sahabatnya yang sore itu seakan memudar.

Keduanya adalah sahabat lam; pernah sama-sama belajar ngaji dan sorogan nazhom imrity.

“Dulu, kita hafal bait-bait ini,” Ridwan tersenyum dan memegang bahu sahabatnya, lalu melantunkan syair dengan suara lirih:

وَالنَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلًا أَنْ يُعْلَمَا

إِذِ الْكَلَامُ دُونَهُ لَنْ يُفْهَمَا

“Nahwu adalah ilmu yang paling utama dipelajari, karena tanpa itu, perkataan tak akan bisa dipahami.”

“Aku dna kamu kan yang paling terdepan menghafal bait ini, Man. Tapi kenapa sekarang kita seakan buta terhadap makna?”

Rusman menunduk lesu. Sahabatnya tidka sedang berlomba menghafal imrity, namun juga hukum. Keputusan yang sudah diketok palu. Peraturan yang tertulis.

“Aku bukan buta, Wan,” Rusman balik memegang tangan Ridwan. “Tapi kadang hukum memang tidak bisa hanya dipahami dengan hati. Ada aturan yang mengikat.”

Sang sahabat membalas dan tersenyum tipis. “Ah, kau selalu berbicara soal aturan. Tapi aturan mana yang benar? Kita belajar ini juga dulu, ingat?”

Ridwan kembali mengejar Rusman dengan pertanyaan susulan. “Man, kalau dunia hanya diatur oleh keinginan orang yang kuat, lalu apa bedanya kita dengan hewan di rimba. Bukankah manusia diciptakan dengan akal dan hati? Kenapa keadilan harus tunduk pada selembar kertas, sementara hati kita tahu mana yang benar?”

Rusman menggigit bibirnya. “Keadilan bukan hanya soal hati, tapi juga aturan.”

Ridwan tertawa kecil, getir. “Aturan dibuat oleh manusia, tapi hati diciptakan oleh Tuhan. Kalau kita harus memilih di antara keduanya, kau memilih yang mana?”

Rusman terdiam.

Ridwan Ia melanjutkan lagi sebuah syair:

وَكُلُّ مَا لَمْ يَتَّصِلْ بِالْعَامِلِ

فَالْرَّفْعُ فِيهِ وَاجِبٌ كَالْفَاضِلِ

“Setiap kata yang tidak terhubung dengan ‘amil (pengaruh gramatikal), maka ia harus dalam keadaan rafa’ seperti fa’il.”

“Musholla ini telah menghubungkan kita bertahun-tahun, bahkan sejak kamu sukses kita selalu menyempatkan sholat asar sini. Lalu, jika musholla ini tak lagi terhubung dengan hati kita, apakah ia harus hilang, seperti kata-kata yang kehilangan amil?”

Rusman kini telah sukses menjadi seorang jaksa, sedangkan Ridwan satu-satunya yang tersisa merawat desa. Ridwanlah tempat para perantau berkumpul saat lebaran tiba.

“Man,” lanjut Ridwan, suaranya lebih dalam, “besok kalau mereka datang, aku akan berdiri di sini. Kamu lihat dadaku terbuka untuk apapun yang akan terjadi. Sebelum merobohkan musholla ini, biarlah mereka injak dulu tubuhku. Aku tidak akan membiarkan warisan ini hilang begitu saja. Aku hanya seorang petani, Man, tapi bukan berarti aku tak punya harga diri.”

Sejatinya Musholla itu lebih dari sekadar tempat ibadah bagi para perantau, termasuk Rusman. Setiap mudik, ia selalu menghabiskan senja di berandanya yang selalu meneduhkan. Bahkan ia biasa menikmati malam bersama teman-teman lamanya hingga subuh.

Ia adalah saksi—tentang masa kecil mereka, tentang masa di mana keduanya mengaji setiap malam di bawah cahaya redup lampu minyak. Tentang bagaimana mereka dulu bersaing menghafal surah-surah pendek, duduk bersila di atas tikar pandan yang sudah usang.

Dan tentang sebuah nama: Nai.

Nai putri seorang juragan beras, satu-satunya anak perempuan di antara anak laki-laki yang mengaji. Rusman teringat sebuah sore saat Nai duduk di tangga musholla, mengayun-ayunkan kakinya. Gadis itu selalu berambut panjang, selalu memakai gamis sederhana, dan selalu membawa buku catatannya ke mana-mana. Ia pun menatap wajah Rusman yang saat itu masih biasa-biasa saja.

“Kalau kita sukses nanti, kita harus kembali ke desa ini,” katanya, dengan suara setengah berbisik. “Kita bangun musholla ini lebih baik. Kita buat tempat ini jadi lebih ramai dari sekarang.”

“Setuju, Nai. Ini adalah tempat kita pulang. Cita-citaku dimulai dari sini” Rusman merespon ide Nai yang begitu antusias.

“Biar aku yang jaga, kalian teruslah meraih karir di kota, aku cukup di sini menjaga desa,” saut Ridwan saat ketiganya harus terpisah. Rusman memutuskan hijrah ke Jogja untuk melanjutkan kuliah, sementara Nai mengikuti ayahnya tugas di Wonosobo.

Janji itu kini terasa nyata baginya. Nai adalah alasan hingga saat ini ia memutuskan tak membuka hatinya untuk wanita lain.

Ia ingat bagaimana setiap magrib, Nai datang ke musholla lebih dulu, duduk di sudutnya, mengulang hafalan Al-Qur’an dengan lirih. Sesekali, Rusman mencuri dengar, mengoreksi bacaannya, membuatnya berdebat kecil dengan gadis itu.

“Suatu hari nanti, musholla ini akan jadi besar, Man,” kata Nai. “Orang-orang akan datang, akan sholat, akan belajar agama di sini.”

“Dan aku ingin ijab qabul menghalalkanmu di musholla ini, Nai.” Hanya suara hati yang tak berani ia ungkapkan langsung di hadapan Nai.

Rusman memandang halaman Musholla penuh harap, semoga Nai bergabung sore itu, agar bebannya berkurang.

Setelah lulus SMA, gadis itu merantau. Sayang, Rusman kehilangan kabar dan tidak pernah tahu. Ia tidak pernah kembali, tidak pernah memberi kabar. Bagi Rusman, janji itu terkubur bersama kepergiannya.

Dinding musholla yang terbuat dari anyaman bambu semakin merusak batin Rusman. Bangunan tua yang mulai reyot, langit-langitnya banyak lubang, tikar di dalamnya mulai usang, belum sempat ia bangun seperti keinginan Nai. Ia menatap sekeliling, sunyi. Sejak tadi ia dan Ridwan duduk di sana, tak ada satu orang pun yang datang untuk sholat.

Lalu, tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benaknya.

“Jangan-jangan musholla ini memang sudah tak dibutuhkan, Wan?”

Ridwan menoleh cepat. “Apa maksudmu?”

Rusman menelan ludah, lalu melanjutkan, “Kita sudha lama duduk di sini, juga beberapa kali aku mudik. Musholla ini lebih sering kosong. Mungkin ini sudah ketetapan dari langit.”

Ridwan tajam menatap Rusman, sahabat yang kini telah sukses dan sederet jabatan mentereng. Wajahnya tampak memerah. “Kau bilang ini ketetapan? Kamu lupa, Man, dari sinilah karirmu dimulai, keberkahan yang kau peroleh tak bisa dilepaskan drai bangunan tua ini. bukankah dulu kita sering berkhayal tentang hari ini? tentang karirmu? Kalau musholla ini hilang, kita akan kehilangan lebih dari sekadar bangunan! Ini tentang keberkahan, Man. Apa kau benar-benar percaya bahwa ini kehendak Tuhan?”

RIdwan pun sejatinya hampir berfikiran sama dengan Rusman. Kekalahan di pengadilan itu menyesakkan dadanya, tapi semakin ia pikirkan, semakin muncul tanya yang lebih dalam: apakah ini teguran?

Apakah ini cara Tuhan menegur mereka yang dulu berjanji menjaga musholla ini, tapi perlahan menjadikannya bangunan reyot yang hanya dikunjungi oleh angin dan cicak? Tempat yang seharusnya menjadi rumah doa kini lebih banyak menjadi panggung bagi anak-anak bermain petasan, lebih sering mendengar obrolan kosong daripada ayat-ayat suci?

Musholla ini sepi bukan karena tak ada orang beriman, tapi karena iman mereka kini punya tempat baru: media sosial. Setiap magrib dan hari-hari besar Islam orang-orang datang ke sini untuk bertukar kabar, menenangkan hati, saling meneguhkan atau sekadar meluruhkan letih dalam sujud. Kini mereka lebih memilih menggantungkan perasaan di status Facebook, mencurahkan hati di kolom komentar, atau mengadu pada followers yang entah siapa.

Dulu, doa dan tahajud rutin dipanjatkan dengan khusyuk di sepertiga malam, kini cukup ditulis di caption Instagram: “Semoga Allah memberi jalan.”

Sementara musholla ini, yang dulu sakral, kini kalah menarik dibandingkan notifikasi hape.

Mungkin ini teguran.

“Tak semua yang kita anggap baik itu juga baik di mata Allah. Bisa jadi bangunan megah yang kita bangun lebih dekat sebagai simbol status sosial daripada kebutuhan untuk beribadah”,

Kekalahan di pengadilan bisa jadi bukanlah ujian, melainkan teguran karena merekalah yang perlahan meninggalkan tempat ini. Orang-orang rakus yang merebut tanah wakaf dulu mereka kutuk, kini justru diam saat musholla ini kehilangan jamaah.

“Mungkin musholla ini memang sudah tak dibutuhkan, tak lebih dari bangunan tua yang kehadirannya hanya menjadi nostalgia murahan bagi orang-orang yang tak ingin repot memperjuangkannya” guman Ridwan suatu malam saat menuntaskan doa dalam tahajjudnya.

Ridwan mengusap wajahnya, napasnya terasa berat. Sebagai yang dituakan, ia pun sadar bahwa banyak pelajaran yang sejatinya harus ia terima dari kejadian ini; tentang keimanan kini lebih laku di dunia maya, bahwa kesalehan lebih dihargai dalam bentuk like dan share, bahwa keberkahan bisa dikalahkan oleh konten yang lebih viral.

Ia tak tahu jawaban mana yang benar. Yang ia tahu, besok pagi, musholla ini akan dirobohkan. Dan ia belum siap menerima kenyataan itu.

Rusman merapihkan tas yang sejak tadi tergelatak di samping pintu musholla. Tak lupa menghela napas panjang sekedar menundukkan kerisauan yang amat berat ini.

Ia bangkit perlahan, “Aku pulang dulu, Wan.”

Ridwan menatapnya sebentar. “Jangan lupa besok hadir di sini, Man. Bawa teman-temanmu untuk melawan eksekusi”

Rusman tak sempat mengangguk, lalu melangkah pergi menuju Kota. Langkahnya berat, pikirannya semakin kacau. Di ujung jalan desa, seorang sopir telah siap membawanya.

Perjalanan pulang tak memberinya ruang untuk istirahat Suara Ridwan terus terngiang dan mengganggu waktu istirahatnya. Kata-kata tentang keadilan, keberkahan, dna perlawanan seakan menancap dalam-dalam di dadanya.

Dan dalam pikirannya, wajah Nai kembali muncul.

Apakah inikah cara musholla itu menghilang—bukan karena usia, tapi karena dirinya sendiri yang menjadi algojonya?

Saat kendaraan yang membawanya berjalan perlahan meninggalkan tatapan Ridwan, sejatinya Rusman tengah mempersiapkan diri.

Karena esok, ia adalah pemimpin eksekusi.

Dan Ridwan tak tahu bahwa orang yang akan berdiri di hadapannya besok adalah sahabatnya sendiri.

MH Thamrin, Awal Maret 2025

Jaja Zarkasyi, Penulis Novel Abi Jangan Duakan Ummi