Mushaf Utsmani dan Intrik Politik

Mushaf Utsmani dan Intrik Politik

Mushaf Utsmani yang sampai pada kita hari ini ternyata tidak serta merta murni karena Al-Quran, akan tetapi terdapat juga beberapa intrik-intrik politik.

Mushaf Utsmani dan Intrik Politik
Manuskrip Mushaf Utsman ibn Affan

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, lembaran-lembaran tulisan Al-Quran Zaid tersimpan dengan baik. Umar lebih memfokuskan pada pengajaran Alquran, ketimbang mengupayakan kerja menyalin naskah Al-Quran kembali.

Umar tidak jarang mengirimkan guru Al-Quran ke daerah-daerah yang baru memeluk Islam. Menurut riwayat dari Muhammad bin Ka’ab bin Sa’ad, dikatakan pada waktu Umar memegang tampuk pemerintahan, Yazid bin Abi Sufyan telah mengirim surat kepadanya.

Yazid mengatakan bahwa orang-orang Syam semakin banyak dan semakin membengkak jumlahnya. Mereka telah memenuhi Madain dan sangat membutuhkan tenaga pengajar yang dapat memberikan pelajaran Al-Quran dan agama kepada mereka. Yazid meminta agar Umar mengajarkan Al-Quran dan agama kepada mereka, serta mengirimkan beberapa orang yang dapat memberikan pelajaran kepada mereka.

Umar kemudian memanggil kelima orang yang telah hafal Al-Quran tersebut dan berkata kepada mereka bahwa saudara-saudara dari Syam telah meminta bantuan kepadanya berupa tenaga-tenaga pengajar yang dapat memberikan pelajaran Al-Quran dan agama kepada mereka.

Sepeninggal Umar, lembaran-lembaran Al-Quran akhirnya diserahkan kepada putrinya yang sekaligus istri Nabi, Hafshah, hingga tiba masa Khalifah ketiga Ustman bin Affan.

Berawal dari perselisahan bacaan Al-Quran di medan peperangan, Khudzaifah bin al-Yaman kemudian datang mengadu kepada Sang Khalifah Ustman bin Affan. Narasi tentang pengaduan tersebut dapat dilihat dalam riwayat Imam Bukhari bab Jam’ul Quran.

Imam Bukhari menceritakan bahwa Huzaifah bin Al-Yaman menghadap kepada Khalifah ‘Utsman sepulangnya dari penaklukan kota Armenia dan Azerbaijan. Khalifah ‘Utsman mengirim dua pasukan besar dari Syam dan Irak untuk menaklukkan kedua kota tersebut.

Huzaifah terkejut dengan perselisihan yang terjadi antara kedua pasukan dalam hal bacaan Al-Quran. Huzaifah berkata kepada Sang Khalifah “Rangkullah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Alquran sebgaimana perselisihan yang telah terjadi pada kaum Yahudi dan Nasrani”.

Tak lama setelah pengaduan itu, Sang Khalifah kemudian mengirimkan surat kepada Hafshah. “Kami minta Anda mengirimkan lembaran-lembaran Al-Quran kepada kami untuk disalin dalam beberapa buku. Nanti kami akan kembalikan lagi lembaran-lembaran Alquran kepada Anda,” begitu kira-kira isi surat Ustman bin Affan.

Hafshah kemudian mengirimkan lembaran-lembaran Al-Quran yang ia simpan. Adalah Zaid bin Tsabit yang lagi-lagi ditunjuk oleh Sang Khalifah Ustman untuk kembali menyalin Alquran, bersama Abdullah bin Al-Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abd Rahman bin Al-Haris bin Hisyam.

Utsman konon berpesan kepada tiga sahabat dari golongan suku Quraisy (Abdullah, Said, dan Abd Al-Rahman), “Jika kalian bertiga berbeda bacaan Al-Quran dengan Zaid bin Tsabit, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena pada dasarnya Al-Quran telah diturunkan dengan logat suku Quraisy.

Dari segi jumlah, terdapat beberapa riwayat berbeda mengenai jumlah sahabat yang ditunjuk oleh khalifah Utsman bin Affan dalam pembukuan Al-Quran saat itu.

  1. Utsman Bin Said Ad-Dani (wafat tahun 444 H) membawakan riwayat dari Ibnu Syihab yang menyatakan bahwah jumlah sahabat ada lima orang yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Amr Ibul Ash, Abdurrahman bin Zubair, Abdullah bin Abbas, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
  2. Ibnu Abi Dawud (wafat tahun 316 H) membawakan riwayat yang menyatakan panitia pembukuan berjumlah dua belas orang, termasuk di dalamnya Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit.
  3. Riwayat jumhur Ulama’, panitia pembukuan berjumlah empat orang, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Hasrits bin Hisyam.

Setelah semua pekerjaan selesai, Sang Khalifah pun kemudian mengirimkan setiap mushaf hasil salinan empat orang sahabat ke setiap penjuru daerah. Selain itu, Sang Khalifah juga memerintahkan untuk membakar setiap lembar maupun mushaf Al-Quran yang berbeda dengan mushaf yang ditetapkan.

Mushaf Al-Quran yang telah ditetapkan itulah yang kemudian dikenal dalam sejarah pembukuan Alquran dengan Mushaf Ustmani, Mushaf yang biasa kita jumpai hari ini.

Para orientalis mempunyai pandangan lain tentang motif kodifikasi Mushaf Ustmani. Leo Caetani dan Arthur Jeffery misalnya, berpendapat bahwa motif kodifikasi Ustman bukan karena motif keagamaan (religious motives), melainkan hanya karena didasari syahwat politik (undertaken for political).

Leo berpendapat bahwa kodifikasi Al-Quran disebabkan karena terjadi pemberontakan kelompok separatis dan para qurra’ di berbagai daerah terhadap pemerintah yang dianggap tidak mengerti Al-Quran. Karena alasan inilah Ustman segera membuat Mushaf standar untuk mematahkan pemberontakan para Qurra.

Sedangkan dalam pandangan Jeffery, Ustman menjadikan mushaf hasil kodifikasi sebagai mushaf resmi pada masing-masing daerah Islam, padahal pada waktu itu beberapa mushaf sahabat telah tersebar ke berbagai pusat kota metropolitan dan menjadi rujukan masyarakat.

Meski demikian, apa yang dikatakan Jeffery tidak bisa menjadi indikasi. Sebagaimana dikatakan Abu Syabur Syahin bahwa Mushaf sahabat bersifat koleksi pribadi sehingga isinya sangat tergantung kepada pemiliknya. Para pemilik Mushaf tersebut memasukkan catatan-catatan selain Al-Quran seperti tafsir dan tawil.  Selain itu, mereka juga menuliskan bacaan yang bukan bacaan talaqqy terakhir Nabi SAW dengan Malaikat Jibril AS.

Wallahu A’lam.