KH. Mukti Ali Qusyairi (Komisi Fatwa MUI): Belajar Sains Itu Tidak Hanya Fardhu Kifayah, Tapi Juga Bisa Wajib

KH. Mukti Ali Qusyairi (Komisi Fatwa MUI): Belajar Sains Itu Tidak Hanya Fardhu Kifayah, Tapi Juga Bisa Wajib

Belajar sains itu tidak hanya fardhu kifayah, tetapi juga bisa wajib. Ini penjelasan KH. Mukti Ali Qusyairi, komisi fatwa MUI Pusat.

KH. Mukti Ali Qusyairi (Komisi Fatwa MUI): Belajar Sains Itu Tidak Hanya Fardhu Kifayah, Tapi Juga Bisa Wajib

Dalam ajaran Islam, belajar ilmu sains dan teknologi tidak termasuk perkara yang terlarang ataupun bid’ah. Islam menganjurkan untuk belajar pelbagai ilmu pengetahuan, terlebih yang erat kaiatannya dengan kepentingan umat manusia. Imam al-Ghazali dalam kitab berjudul al-Mufasshal, semua ilmu pengetahuan pada dasarnya terpuji dan sangat mulia, termasuk ilmu sains. Yang oleh Imam al Ghazali dikatakan sebagai ilmu duniawiyah.

اَلْعُلُوْمُ الدُّنْيَوِيَّةُ التِيْ يَحْتَاجُهَا الْمُسْلِمُوْنَ اَوْ تَحَقَّقَ لَهُمْ مَصَالِحُ مَشْرُوْعِهِ فَإِنَّ تَعَلُّمَهَا مِنَ الْفُرُوْضِ الْكِفَايَةِ

“Ilmu-ilmu dunia (sains) yang dibutuhkan oleh umat Islam, atau nyata maslahah belajaranya, maka hukum belajarnya adalah fardhu kifayah.

Akan tetapi kita tak bisa menutup mata, bahwa negara-negara muslim yang ada di dunia saat ini tertinggal jauh dalam bidang sains dan teknologi dengan negera Eropa dan Barat. Umat Islam, hanya mampu menjadi penonton dari kemegahan dan kemajuan sains dan teknologi Barat.

Tentu ini sangat ironis. Pasalnya, era lalu di tengah kejayaan Islam, banyak sekali imuwan muslim yang lahir, misalkan Ibnu Sina, al-Biruni, al-Khawarizmi, al-Kazen, dan banyak lagi. Semua itu ilmuwan yang mempengaruhi para ilmuwan Barat.

Lantas apa yang menyebabkan kaum muslimin tertinggal jauh dari Eropa dan Barat? Apakah karena semangat belajar sains umat Islam tidak seberapa? Atau tidak ada fatwa yang tegas dari lembaga fatwa yang menyatakan belajar sains itu wajib, layaknya shalat? Atau justru umat Islam menganggap yang wajib itu shalat, puasa, zakat, haji, dan syahadat, sedangkan belajar sains dan teknologi itu tidak wajib dan tidak berpahala.

Untuk menjawab persoalan tersebut, redaksi telah mewawancarai KH. Mukti Ali Qusyairi, Lc. MA. Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia,  alumni Universitas Al-Azhar Mesir, Ketua LBM (Lajnah Bahtsul Masa’il) PWNU DKI Jakarta, untuk membahas terkait hukum belajar sains dan tinjauan lembaga fatwa yang ada di Indonesia terkait penerbitan fatwa hukum belajar sains, pada Kamis (30/6).

 Bagaimana hukum belajar sains dalam tinjauan fikih Islam?

Hukum belajar sains itu kalau terkait dengan respons atau jawaban dari agama, maka yang penting kita pahami dulu, bahwa Islam itu berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan hadis.  Nah kalau dari segi Al-Qur’an, kata “ilmu” bersifat umum. Bahwa kita wajib mencarai ilmu. Itu ilmu apa saja, tidak ada kekhususan di antaranya. Kalau dalam Al-Qur’an itukan firman Allah al Mujadalah ayat 11;

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Orang yang beriman dan berilmu akan ditinggikan derajatnya. Ilmu itu ya ilmu secara umum; masuk juga dalamnya pembelajaran sains, dan pembelajaran ilmu apa saja. Termasuk ilmu agama, dan ilmu sains, dan sebagainya.

Dan kedua, hadits Nabi Muhammad SAW. Nah dalam hadis jugakan ilmu itu bersifat umum. Dan di antaranya terdapat hadits Rasulullah tentang pentingnya menuntut ilmu;

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

“Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan.”

Ada lagi hadis nabi;

اطلبوا العلم ولو في الصين

“Tuntutlah Ilmu walau ke negeri China.”

Nah, hadis yang kedua ini menarik. Meskipun sebagian pakar hadits mengatakan itu hadis  dhaif. Tapi imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, tetap mengutip hadits tersebut. Nah kita berasumsi saja, dengan pandangan Al Ghazali, bahwa itu sudah dicek oleh Imam Ghazali dengan metode takhrij-nya sendiri. Katakan saja Imam Ghazali mengatakan itu hadis bisa jadi shahih. Sehingga,  pada waktu itu,  china termasuk peradaban yang kuat.

Dalam sejarah, pada zaman Nabi ada dua peradaban yang kuat; Romawi dan Persia. Pun selain itu ada juga peradaban yang lain, misalnya India, dan juga termasuk peradaban di Nusantara juga termasuk.

Dan China waktu itu ada ilmu sains kedokteran dan juga ilmu pengetahuan alam, yang ada pada masa Nabi. Bahkan sampai sampai sekarang ilmu Shinse (kedokteran tradisional China) masih survive sampai sekarang, yang juga ilmu warisan.

Dan Nusantara juga tidak kalah dengan peradaban lain. Nusantara juga ada sains, ada kedokteran di Nusantara ini.  Tak hanya itu di Nusantara juga berkembang peradaban yang erat dengan teknologi dan sains, yakni Indonesia menjadi kekuatan maritim dunia. Itu berkat sains. Kekuatan kapal atau armada laut Indonesia terbilang nomor satu di dunia. Pun kapal perang Nusantara tidak ada yang menandinginya. Itu semua sudah ada dan terbilang maju.

Sementara itu, jika sains itu terkait dengan sporting (mendukung) terhadap pelaksanaan ibadah-ibadah yang diwajibkan dalam Islam, maka sains-sains yang semacam itu (yang jadi sporting)  mempelajari sains itu wajib hukumnya.

Sebetulnya kalau Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, dalam jilid I, ilmu umum itu ia menghukuminya sebagai fardhu kifayah. Sebagaian ulama juga mengatakan hal serupa (wajib kifayah). Pengertian fardhu kifayah itu adalah, jikalau dalam kelompok atau masyarakat itu ada satu atau dua yang belajar ilmu kedokteran misalnya (bagian sains), maka gugur kewajiban yang lain.

Penting untuk dicatat, tapi sebetulnya, ada ilmu sains yang itu melekat dalam kesempurnaan ibadah, dan itu menurut saya hukumnya wajib ain atau fardhu ain. Contohnya, penentuan hisab; penentuan 1 Syawal, 1 Ramadhan, haji, dan Idul Adha. Itu semuakan harus pakai sains. Dan sainsnya apa?  Yang tercangkih sekarang itu pakai teleskop, yang bisa melihat hilal dan bintang. Dan itukan pakai alat—itu kan teknologi. Itu zaman canggih ya.

Pada zaman klasik juga sudah ada sains. Sains klasik, melihat hilal dan sebagainya itu disebutkan dengan ilmu Falak. Saya belajar Ilmu Falaq itu setahun ketika belajar di Lirboyo dahulu, ada materi khususnya. Ilmu falak berguna juga dalam pembuatan penanggalan dalam kalender. Dan dengan ilmu Falak itu, masjid zaman dahulu ada bancet namanya- semacam bangunan sekitar 50 CM, yang kotak coran di atasnya ada cikungan, di tengahnya ada besi— tujuannya untuk mengetahui peredaran matahari. Ilmunya itukan erat kaitannya dengan sains.

Sama saja dengan keadaan kalau kita di Padang pasir, itu kan kita tak tahu waktu Dzuhur, sebab tak ada jam. Maka kita pakai tongkat. Kalau matahari sepanjang tongkat, kalau matahari ada di tengah, waktu istiwa-nya, waktu tombak atau tongkat tidak ada bayangan. Ketika matahari bergeser, maka akan ada waktu Dzuhur. Itu contoh ril dari sains.

Yang dalam konteks sekarang, lalu ditemukan jam. Ditemukan arah buat kiblat. Dan sebagainya. Ini kan sains semua. Yang terpenting penjelasan tadi dan hal-hal yang berkaitan bisa jadi wajib, sebagaimana dengan kaidah fikih;

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Suatu ilmu, di mana kewajiban tidak sempurna tanpa mempelajari ilmu tersebut, maka (hukum mempelajarinya menjadi) wajib.

Artinya penyempurna bagi sesuatu yang wajib, maka penyempurna menjadi wajib pula. Contoh, ibadah shalat wajib,  puasa wajib, lebaran, puasa, dan sebagainya. Nah ibadah ini tidak akan sempurna jikalau kita tidak mempelajari sains. Makanya, pelajaran sains yang terkait ibadah ini, maka menjadi fardhu ain. Pasalnya, dalam fikih itu ada falak ada faraid, yang hitung-hitung warisan, itukan wajib. Tidak akan tahu, ketika tidak mengetahui ilmu matematika.

Akan tetapi ada juga sebagian orang yang menganggap belajar sains dan teknologi itu bid’ah?

Ya, gini ya, orang yang menyebutkan demikian itu kan tidak mengerti apa itu substansi sains. Sains itu apa? Nah sekarang kita kembalikan saja ke pertanyaan mereka, apakah penentuan bulan Ramadhan, arah kiblat itu bukan sains? Itu kan bagian dari sains dan ilmu pengetahuan.

Jadi gini, kalau mau membantah mereka itu gampang, substansi dari sains itu apa? Nah substansi sains  untuk mempermudah manusia untuk beraktivitas, dan meraih kewajiban dan kebutuhan kita.

Kayak misalkan kalau dulu sebelum ada teknologi kita pakai alat manual. Ya seperti saya bilangkan tadi. Seperti ilmu Falak untuk untuk menentukan arah bulan, matahari, dan bintang. Ilmu falak ini sudah ada sejak zaman Nabi, dan Nabi sendiri memakainya dan mempraktikkan itu. Dan yang penting ilmu falak itu bagian dari pada sains. Substansinya sains pada zaman Nabi itu sama dengan substansi sains zaman berkembang.

Nah sains itu baik, tidak sama sekali bid’ah. Pasalnya, ada akar-akar syariatnya dari Nabi. Substansinya sama, akan tetapi sains modern, diperbaharui, dipercanggih. Yang begitu, tidak bid’ah.

Tetapi kita tak bisa menutupi mata, ada juga sains yang ingin merusak kehidupan, maka sains yang begitu tidak boleh. Ada juga sains, misalnya atom dan nuklir, kalau untuk pertanian dan listrik itu boleh. Untuk kemajuan, dan mempermudah untuk mengubah hidup lebih makmur, itu anjuran dalam Al-Qur’an. Tetapi intinya tidak membuat kerusakan.

Apakah sudah ada fatwa dari MUI misalnya, atau lembaga fatwa lain terkait hukum belajar sains dan teknologi ini pak Kyai?

Saya kan baru 2020 di MUI. Saya baru dikasih hasil fatwa selama MUI berdiri. Hasil fatwa MUI banyaknya sekitar 1000-an halaman lebih, dan itu gede banget. Belum saya cek, sebab masih tebal. Sejauh ini pandangan yang saya sampaikan tidak akan terlalu jauh dengan pandangan ulama  yang ada di MUI dan NU.

Sementara umat kan butuh jawaban yang cepat. Kalau misalkan masalah itu harus difatwakan secara kolektif, tunggu waktu. Harus kumpul dulu ya lama. Jadi harus kita jawab saja dulu. Nanti kalau butuh jawaban resminya ya butuh waktu. Nanti kita sampaikan, entah kapan itu dibahas.

Tapi kan kayak misalkan soal kemarin itu, soal vaksin itu. Soal vaksin, gini di MUI sendiri ada LBPOM. Itu, terkait sains juga. Iya kaya misalkan gini. Kayak menetapkan halal Sinovac itu, itu kita mengutus MUI ke sana, bersama dengan ahli kedokteran, diteliti bagaimana prosesnya, bahannya dan lain sebagainya. Itu kan sains. Jadi sains itu tidak hanya pengertian alat-alat saja. Bukan hanya itu pengertiannya.

Tapi kedokteran itu membikin vaksin juga pakai alat. Nah itu lalu kemudian MUI juga NU itu punya falak, jadi Komisi Falikayah itu kan pakai teropong bintang itu, teleskop astronomi, jadi karena itu rukyah, kalau muhammadiyah memakai metode hisab. Kalau hisab itu kan sudah jadi. Jadi tidak harus bincang dulu. Kalau bahasa Jawa Timur itu melihat langsung.

Kalau rukyah kan. Itu kan sains itu. Kaya misalkan, untuk mempermudah contoh, sains yang mempermudah itu pesawat terbang itu, kalau dalam Al-Quran itu yassir wala tu’assir—Mudahkanlah dan jangan dipersulit. Masak pesawat terbang bidah, pakai onta. Masak dari Indonesia ke Saudi pakai onta. Gara-gara pesawat terbang bid’ah.

Itu perintah loh. Bagaimana agar hidup ini bisa haji dengan mudah, umroh mudah, yaitu dengan sains teknologi itu. Jadi subtansi sains untuk mempermudah, sesuai tuntunan Al-Quran itu.

Era kejayaan Islam muncul para ilmuwan muslim, yang minat pada ilmu pengetahuan, Apakahdalam pandangan era sekarang akan muncul kembali para ilmuwan pelopor sains kembali?

Saya punya pemikiran begini, punya buku buku waktu di Mesir, saya koleksi. Kulliyah al-Thib Ibnu Rusyd, itu teori kedokteran. Ibnu Rusyd ahli suna waljamah. Kitabnya itu dipelajari waktu saya di Pesantren. Kemudian  kitab as-Syifa kitab karay dari Ibnu Sina itu, sekitar 10 jilid. Kemudian Qanun al Tibb, kemudian adalah lagi karya dari  Ikhwanu shafa, itu semua ada sainsnya.

Lalu kemudian ada saya punya al-Atsar al-Baqiyyah ‘an al-Qurun al-Khaliyyah karya dari Al Biruni. Macam macam saya punya itu. Nah bagaimana agar sains bisa jadi minat, santri umat Islam sebagaimana zaman dulu itu, zaman Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dll, itu caranya kalau menurut saya kitab-kitab sains Islam itu harus dipelajari di pesantren.

Jadi, makanya saya kan sedang merintis Pesantren di Cileungsi, akan baca kitab kitab itu untuk santri. Kata perkata nanti. Misalkan nanti kuliah tips, ada teori urat syaraf, memijat, macam macam. Itu diajarkan. Lalu jadi istilah saya kitab kuning belum dianggap kuning, harus dikuningsasi. Jadi kita kitab sains dipelajari untuk santri itu. Tapi nanti diintegrasikan antara  sains klasik di kitab kuning dengan sains modern.

Jadi kitab klasik ini, ini pengembangannya seperti apa pada zaman sekarang. Lalu ada juga teori-teori sains itu yang dasar dasarnya, prinsipnya ada tajribah, dia ada eksperimen, penelitian, observasi dan sebagainya. Sehingga ada akar, doktrin pembelajarannya. Sehingga kalau mau melangkah ke sains modern ada dasar legacy.

Nah selama ini sains Islam yang beredar semacam ayatisasi terhadap teori moderen, teori sains moderen. Jadi sains Barat, oh ini ada dalam Al-Quran. Oh ini ada.  Jadi meninabobokan umat Islam.

Nah, itu kaya misalkan yang orang Turki begitu kan. Siapa itu, lupa saya namanya? Oh Iya, Harun Yahya. Jadi kalau kita kritisi ayatsisasi Al-Qur’an, meninabobokan umat Islam. Menurut saya untuk belajar sains itu dari kitab-kitab sains klasik itu. Kita pelajari, Ibnu Sina, al-farabi, al-Biruni, kemudian al-Khawarizmi dan sebainya. Baru dari situ, tegaskan dengan sains modern. Bisa itu terbentuk sains muslim.