Mungkinkah Puisi Islami Mengajari Kita tentang Kesadaran Ekologis?

Mungkinkah Puisi Islami Mengajari Kita tentang Kesadaran Ekologis?

Puisi-puisi islami dapat menumbuhkan kesadaran ekologis untuk masa depan yang berkelanjutan dan adil bagi semua makhluk.

Mungkinkah Puisi Islami Mengajari Kita tentang Kesadaran Ekologis?

Indonesia memperingati Hari Puisi Nasional pada 28 April 2023. Hari Puisi Nasional dibuat untuk mengenang salah satu penyair kenamaan Indonesia, Chairil Anwar. Penyair berjuluk “Si Binatang Jalang” itu memang dikenal luas lewat puisi-puisinya yang mengangkat tema kritik sosial, cinta, dan kematian, tapi, melalui tulisan ini, saya ingin merayakan hari puisi, merayakan Chairil Anwar, dengan cara yang sedikit berbedaa, yakni dengan membawa subjek puisi ke dalam diskusi ekologi. Pertanyaan kecil yang diajukan adalah; mungkinkah puisi, terutama puisi islami, dapat mengajari kita tentang kesadaran ekologis?

Untuk pertanyaan itu, saya akan menjawab, “ya, puisi dapat mengajari kita cara hidup yang ekologis!” Banyak pemikir di bidang ekologi telah membuktikan bahwa seni dapat membuat kita bersikap reflektif dan terbuka sehingga, dengan sikap semacam itu, kita dapat terdorong untuk memahami keterikatan kita dengan alam dengan cara yang lebih baik.

Relasi Puisi dan Kesadaran Ekologis

Timothy Morton dalam All Art is Ecological, berargumentasi bahwa seni bukan hanya dapat mengasah “human awareness” tapi juga bisa membuat kita mengalami “the Openness” terhadap segala entitas yang eksis di luar diri kita.

Seni, dalam konteks ini adalah puisi, bisa menjadi sarana untuk menggambarkan sekaligus menegaskan kembali hubungan dekat antara manusia dan alam. Melalui penggambaran alam dalam puisi, dalam pelbagai bentuknya, tersedia kesempatan bagi kita untuk memeriksa kembali secara cermat relasi kita dengan alam.

Puisi, dengan demikian, dapat mendorong kita untuk merenungkan dampak dari tindakan kita bagi alam, dan bagaimana kita dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.

Beberapa puisi mungkin secara eksplisit langsung mengajak kita untuk bertindak melindungi alam, sementara yang lain mungkin hanya secara implisit mengajak kita untuk merenungkan bahwa keberadaan kita di dunia ini saling berkaitan dan saling bergantung (interdependence) dengan berbagai jenis makhluk yang lain—seperti yang tergambar dalam beberapa puisi islami yang saya eksplorasi di bagian selanjutnya.

Singkatnya, puisi dapat menjadi sarana yang efektif untuk meneguhkan kembali keterikatan manusia dan alam. Selain itu juga sebagai instrumen untuk merefleksikan ulang tindakan manusia yang berdampak buruk terhadap bumi. Dengan demikian, puisi sebetulnya bisa mengajari kita tentang kesadaran ekologis.

Puisi-puisi Islami untuk Kesadaran Ekologis

Sebagai agama yang menaruh perhatian besar pada keberlanjutan semesta, Islam memuat banyak ajaran yang berkaitan dengan ekologi. Ajaran itu tercermin, salah satunya, melalui banyak karya puisi yang ditulis oleh para penyair dan cendekiawan Muslim. Pada bagian ini, saya ingin membahas beberapa karya seni tersebut, khususnya puisi atau syair dalam tradisi Muslim.

Karya-karya ini dapat memberi kita inspirasi atau motivasi untuk memastikan ulang relasi kita dengan alam tetap baik dan setara. Puisi-puisi yang mengajari kita bahwa alam adalah bagian utama dari yang ilahi. Berikut adalah lima puisi islami yang kurang-lebih bisa mengajari kita tentang kesadaran ekologis semacam itu.

Puisi islami pertama adalah puisi yang berjudul The Guest House karya Jalaluddin Rumi. Puisi yang ditulis oleh penyair asal Persia ini menggambarkan keindahan dan keragaman jiwa manusia lewat analogi sebuah rumah. Rumah itu sangat tentram menyambut semua pengunjung yang mendatanginya.

Dalam salah satu baitnya, Rumi menulis, “Be grateful for whoever comes, because each has been sent as a guide from beyond” yang kurang-lebih bermakna, “Bersyukurlah untuk siapa pun yang datang kepadamu, karena masing-masing yang datang kepadamu telah dikirim sebagai pemandu dari yang di sana.”

Kata “yang di sana” di akhir bait itu dapat dipahami sebagai “yang ilahi”. Keseluruhan bait puisi ini dapat dimaknai sebagai imbauan untuk menghargai dan merangkul semesta. “Bersyukur untuk siapa pun yang datang”. Artinya, “makhluk dan fenomena apapun yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari adalah anugerah dari yang ilahi yang mesti dirawat.”

Puisi islami yang kedua adalah puisi yang ditulis oleh Rabiah al-Adawiyah berjudul The Infinite Ocean. Sufi perempuan asal Irak itu sering menggunakan metafora alam sebagai simbol pengalaman spiritualnya. Misal, dalam puisi tersebut, dia menggunakan metafora samudra untuk menggambarkan keagungan ilahi.

Dia menulis, “I have made You the Companion of my heart,/ But my body is available to those who seek its company,/ And my body has become glorious because of this companionship./ Who except You knows what I suffer,/ And what I seek?/ All my hope is in Your mercy.”

Bait itu, jika diterjemahkan secara bebas ke dalam Bahasa Indonesia, kurang-lebih berbunyi, “Aku telah jadikan Engkau sebagai sahabat hatiku,/ Tetapi tubuhku tetap tersedia bagi mereka yang mencari persahabatan,/ Dan tubuhku menjadi mulia karena persahabatan semacam ini,/ Siapa lagi selain Engkau yang mengetahui apa yang kuderita,/ Dan apa yang kucari,/ Seluruh harapanku ada pada belas kasihan-Mu.”

Bait puisi ini dapat dimaknai sebagai sebuah ajakan untuk mengakrabi kehadiran ilahi di segala entitas di alam sekitar kita. Lebih dalam lagi, bait puisi ini mendorong kita memiliki relasi lebih dekat dengan alam melalui perenungan spiritual atau pengabdian religius.

Puisi islami ketiga adalah puisi islami berjudul This Sky Where We Live karya Hafiz, seorang penyair asal Persia. Seperti dua penyair sebelumnya, Jalaluddin Rumi dan Rabiah al-Adawiyah, Hafiz juga sering menggunakan simbol alam untuk menjelaskan pengalaman spiritualnya.

Dalam puisi This Sky Where We Live, misalnya, dia menulis tentang betapa langit punya begitu banyak misteri. Misteri-misteri itu dilihat oleh Hafiz sebagai representasi dari yang ilahi. Hafiz menulis, “The sky where we live is no place to lose your wings. So love, love, love.”

Bait itu berarti “Langit tempat kita hidup bukanlah tempat untuk kehilangan sayap. Jadi mencintailah, mencintailah, mencintailah.” Bait singkat itu dapat dihayati sebagai pesan profetis untuk mencintai alam sebagai sumber keajaiban dan misteri. Sekaligus, bait puisi itu mengajak kita untuk menjalin hubungan dengan alam melalui rasa cinta.

Simbolisasi Hewan dan Tumbuhan dalam Puisi Islami

Puisi islami keempat adalah puisi yang berjudul The Wisdom of Animals karya Ibnu Arabi. Filsuf asal Andalusia itu memperlihatkan signifikansi spiritual hewan sekaligus memperjelas posisi hewan dalam tatanan alam atau semesta yang lebih luas.

Salah satu kelebihan puisi Ibnu Arabi itu adalah keberhasilannya merepresentasikan kebajikan berbagai makhluk, terutama hewan. Seperti kesabaran semut, kedermawanan unta, dan kesetiaan anjing.

Berbagai penggambaran itu dapat diterjemahkan sebagai penghargaan atas beragamnya peran yang dimainkan oleh hewan di alam semesta. Bait-bait puisi itu mendorong kita untuk terus mengusahakan relasi harmonis antara kita dan hewan sebagai satu kesatuan makhluk di semesta alam.

Puisi islami kelima adalah puisi yang ditulis oleh Ahmad Shawqi, seorang penyair Mesir. Puisi yang berjudul The Trees Speak itu menampilkan keindahan dan simbolisme pohon. Dalam puisi ini, Ahmad Shawqi mempersonifikasi pohon sebagai makhluk yang mulia yang telah menyaksikan perjalanan waktu dan siklus alam.

Dalam puisi itu, Ahmad Shawqi menulis, “We were planted in the soil of love,/ We grew up to witness the unfolding of life./ We saw the first buds of spring and the falling of leaves in autumn./ We saw the migration of birds and the dance of butterflies./ We saw the rise and fall of empires, the birth and death of kings.”

Jika diterjemahkan, bait puisi itu kurang-lebih bunyi, “Kami ditanam di tanah cinta,/ Kami tumbuh untuk menyaksikan kehidupan yang terjadi,/ Kami melihat tunas pertama musim semi dan daun-daun berguguran di musim gugur,/ Kami melihat migrasi burung-burung dan tarian kupu-kupu,/ Kami melihat kebangkitan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan, kelahiran dan kematian para raja.”

Seperti keempat puisi sebelumnya, puisi ini pada dasarnya adalah seruan untuk menghargai alam semesta, khususnya pohon yang menampung kebijaksanaan. Manusia bukanlah satu-satunya yang dapat bijaksana, tapi pohon juga bisa. Manusia bukanlah satu-satunya yang dapat berpikir, tapi pohon juga bisa.’

Sederhananya, puisi-puisi di atas dapat mengajari kita tentang kesalingterikatan dan kesalingtergantungan antar manusia dengan alam. Karya-karya itu menegaskan bahwa semua entitas itu adalah bagian dari yang ilahi. Lewat simbolisme kosmos yang kaya, puisi-puisi islami meneguhkan kembali bahwa yang ilahi termanifestasi dalam semua entitas di semesta raya, termasuk pada diri manusia dan alam.

Dengan demikian, puisi-puisi islami dapat menjadi pengingat bagi kita untuk terus menjadi manusia beriman yang bertanggung jawab melestarikan ciptaan ilahi di bumi ini.

Dengan mengakomodasi perspektif puitis dan religius semacam ini, kita dapat menumbuhkan sikap apresiatif terhadap kompleksitas alam. Selain itu, melalui puisi islami, kita juga dapat membangun kesadaran ekologis dalam kehidupan sehari-hari sebagai Muslim untuk masa depan yang berkelanjutan dan adil bagi semua makhluk.