Beriman pada qada dan qadar (atas segala baik dan buruk) adalah bagian dari rukun Iman, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Umar Ibn Khattab.
Qada dan qadar juga adalah salah dua dari kuasa Allah SWT atas segala makhluknya (QS. Alqamar: 49 dan QS. al-Anfâl: 42). Diperlukan penjelasan panjang, lengkap, runut, dan secara langsung untuk menjelaskan qada dan qadar ini, karena dikuatirkan akan menimbulkan perselisihan yang panjang.
Imam Tirmizi meriwayatkan hadis bahwa para sahabat pernah berkelahi saat membahas soal qadar, sampai-sampai muka Rasulullah merah dan bersabda, “Sesungguhnya telah hancur orang-orang sebelum kalian saat mereka saling berselisih pendapat tentang qadar ini. Oleh karena itu, aku ingin kalian tidak lagi berdebat soal qadar ini.”
Pesan moral hadis ini adalah harus hati-hati saat membicarakan soal qada dan qadar ini. Ada banyak teori penjelasan qada dan qadar, tapi saya merasa cocok apa yang dijelaskan oleh Imam Asqalani.
Ibn Hajar al-Asqalani (w.852 H./1449 M.) menjelaskan perbedaan qada dan qadar dengan sangat baik.
Qada adalah suatu ketentuan yang menyeluruh secara bulat, umum, dan garis besar (ijmal) di zaman azali (dulu saat penciptaan oleh Allah swt.) (“al-hukmu bi al-kulliyyâti ‘alâ sabîli al-ijmâli fi al-azali). Jadi, qada itu semacam “rancangan umum” segala sesuatu, termasuk setiap ketentuan bagi masing-masing orang.
Qadar adalah rincian-rincian kejadian dari ketentuan (qada) tersebut secara perlahan dan pertahapan (“al-hukmu bi-wuqû’i al-juz’iyyâti wa tafâsîlihi allatî litilka al-kulliyyâti ‘alâ sabîli al-tafsîli”). Jadi, qadar itu semacam pengejawantahan ketentuan setiap manusia dari rancangan umum “qada” yang ada di sisi Allah itu.
Qada hanya Allah yang mengetahui, adapun qadar diketahui setelah kejadian/peristiwa.
Bisakah mengubah qada? Tidak bisa, karena hanya Allah yang tahu dan Allah yang menentukan di zaman azali, masa dulu, saat awal penciptaan.
Bisakah merubah qadar/takdir? Bisa, melalui al-kasb, usaha, karena kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, keimanan dan kekafiran, semua itu ditentukan oleh setiap orang atas kemampuan yang Allah berikan.
Jadi, seseorang mau miskin atau kaya, pintar atau bodoh, rajin ibadah atau pelaku maksiat, jujur atau maling uang rakyat, dan seterusnya, itu adalah ia sendiri yang menentukan dengan usaha yang dilakukannya.
Setelah usaha dilakukan dan ada hasilnya, artinya hal itu telah terjadi dan sudah lewat, itulah yang dinamakan qadar atau takdir. Contoh, semua peristiwa yang terjadi sejak kita dilahirkan hingga kemarin adalah takdir kita yang secara perlahan dan pertahapan kita ketahui seiring dengan lewatnya waktu.
Saat bala tentara Umar Ibn Khattab masuk ke Syam (Suriah sekarang), ada wabah penyakit yang sedang berjangkit, karenanya Umar memerintahkan pasukan umat Islam keluar dari daerah tersebut. Abu Ubaydah Amir Ibn Jarrâh, salah satu pimpinan pasukan dan sahabat, berkata “Wahai Amirul Mukminin, apakah kita lari dari takdir Allah? (Yâ amîra al-mu’minîna, a firârun min qudrati Allâhi?). Umar menjawab “Ya, kita lari dari satu takdir Allah ke takdir Allah yang lainnya” (na’am, nafirru min qadri Allâhi ilâ qadri Allâhi).
Mari kita berusaha dengan melangkah atau berlari ke takdir yang baik sesuai dengan usaha setiap masing-masing orang.