Ada aroma politik yang kental dalam Munajat 212 tadi malam. Selain kegiatan keagamaan seperti doa, ceramah dan zikir, para politisi dan simpatisan justru kerap meneriakkan jargon-jargon yang kental bernuansa politis dari ‘Ganti Presiden’ hingga ‘rezim anti islam’. Pertanyannya, siapa yang menggerakkan ini?
Ternyata, ada beberapa tokoh dari oposisi yang hadir dan menunjukkan kepada ‘jamaah’ posisi politiknya sebagai mesin pemenangan Prabowo dan mengajak mereka turut bersama berpolitik. Beberapa tokoh seperti Fadli Zon, Zukifli Hasan (PAN) dan beberapa nama lain juga menunjukkan gesture politik dengan beberapa kali mengacungkan simbol nomor dua.
Ketika ketika diminta memberikan orasi di panggung, Zulkifli Hasan yang biasa disapa Zulhas, bahkan secara terbuka menggiring jamaah untuk mencoblos nomor dua.
“Persatuan nomor satu, soal presiden?” Tanya Zulhas.
“Nomor dua!” teriak jamaah.
Sontak, pekik massa itu pun saling timpal-menimpali dan bersahut-sahutan. Mulai dari ‘nomor dua’ hingga ‘hidup Prabowo’ dan ‘Ganti Presiden’.
Tentu saja, hal ini tidak mengejutkan. Meski begitu, peristiwa keagamaan yang harusnya adem dan menghindari urusan politik praktis justru digunakan untuk mobilisasi masa. Toh, idealnya, munajat, bermakna doa dengan sepenuh hati dan mengharapkan Ridha Allah.
“Tidak ada (kaitan dengan 212 atau politik) penyelenggaranya adalah MUI DKI,” tegas Nanda Khairyah, Sekretaris Infokom MUI DKI Jakarta, seperti dikutip Detik.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI memang menyatakan dengan jelas bahwa acara ini tidak kaitannya dengan politik, apalagi dengan Persaudaraan Alumni (PA) 212 atau sejenisnya. Tapi, apa daya, fakta berbicara lain. Narasi politik ini jgua begitu kental di media sosial.
Alhamdulillah, Nenek Mujahidah ini konsisten ikut terus #RakyatInginPrabowoPresiden #MalamMunajat212 pic.twitter.com/yT8Vn5sTp7
— Mahendradatta (@mahendradatta) February 21, 2019
Itu adalah akun @mahendratta yang terkenal sebagai salah satu pengacara kondang Tim Pembela Muslim (TPM). Dan, kalau kita lihat, ada dua tagar yakni #RakyatInginPrabowo dan #MalamMunajat212 dan tentu saja sangat politis. Masih banyak lagi tagar lain terkait ini.
Mengapa Jurnalis Dimusuhi?
Ada satu hal yang cukup membuat miris. Yakni, bagaimana jurnalis yang bertugas mewartakan acara justru diperlakukan dengan tidak baik, bahkan cenderung diperlakukan secara intimadatif. Sedari pagi, Anda bisa dengan gampang membaca narasi ini di pelbagai media. Hingga akhirnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) jakarta pun turut bersuara dan mengecam dengan keras.
“(Dalam acara munajat 212) sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan, intimidasi, dan persekusi oleh massa yang menggunakan atribut Front Pembela Islam (FPI),” sebagaimana rilis AJI yang diterima redaksi.
Dalam keterangannya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengutuk aksi kekerasan dan intimidasi oleh massa FPI terhadap jurnalis yang sedang liputan. AJI juga menilai tindakan laskar FPI menghapus rekaman video maupun foto dari kamera jurnalis CNN Indonesia TV dan Detikcom adalah perbuatan melawan hukum.
“Mereka telah menghalang-halangi kerja jurnalis untuk memenuhi hak publik dalam memperoleh informasi,” tambahnya.
AJI Jakarta Kecam Kekerasan dan Intimidasi Jurnalis Saat Munajat 212
Link: https://t.co/girtB9MpsL pic.twitter.com/VNaKUJLCD7
— AJI Indonesia (@AJIIndonesia) February 22, 2019
Tentu saja, peristiwa ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya massa FPI pernah melakukan pemukulan terhadap jurnalis Tirto.id Reja Hidayat di Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat, pada Rabu, 30 November 2016 lalu. Atas intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis tersebut, AJI pun menyerukan dengan keras untuk pihak kepolisian untuk menindak biar hal ini tidak terjadi lagi.
“Mengecam keras tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan massa FPI terhadap para jurnalis yang sedang liputan Munajat 212. Mendesak aparat kepolisian menangkap para pelaku dan diadili di pengadilan hingga mendapatkan hukuman seberat-beratnya agar ada efek jera,” tambahnya.
Pertanyaannya, kenapa munajat yang harusnya berisi doa malah diisi dengan politik seperti ini. Dan, lebih buruk lagi, memperlakukan jurnalis seperti ini?