Di antara orang-orang beriman itu, ada yang mengambil jalan amal shalih dengan bergerak melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat, dengan cara-cara al-ma’ruf. Mereka menetapi seruan Allah dalam surat Hud: “Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang melakukan perbaikan (mushlihun)” (QS. Hud [11]: 117).
Mereka adalah para Muslihun di kalangan umat. Mereka adalah orang-orang yang bergerak berusaha memperbaiki keadaan umat dan kehidupan sosial di tengah masyarakat. Sebagian di antara mereka, mengikuti dan memenuhi makna ayat ini sebagaimana disebutkan Kanjeng Nabi Muhammad, melalui jalan Jarir, menginformasikan: “Maka bersabda Rasulullah tentang ayat ini, wa ahluhâ yunshifu ba’duhâ ba’dhôn” (HR. ad-Dailami bersumber dari Jarir, No. 8700; dan ath-Thabrani, No. 2281; as-Suyuthi, Durrul Manstsur, juz VIII: 170).
Orang-orang yang melakukan “yunshifu” adalah melakukan kerja-kerja pertengahan dan memenuhi hak keadilan sebagian kepada yang lain. Asal katanya dari “nashafa”, dan ketika menjadi “anshafa” adalah bermakna mencapai tengah-tengah; dan “wastanshafa” bermakna meminta dan memohon keadilan.”
Orang-orang yang terus bergerak dengan niat ikut dan berusaha memenuhi seruan Allah memperbaiki keadaan umat melalui jalan ishlâhiyah, mereka tertunduk dan merenungi ayat ini: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (QS. Al-Isra [17]: 16).
Di ayat yang lain, syarat sebuah negeri itu aman dan tidak hancur, adalah penduduknya beriman dan bertaqwa. Hal ini menegaskan iman saja tidak cukup untuk urusan tegaknya sebagian negeri, tetapi ada penekanan taqwa, yaitu ada dimensi amal shaleh dalam perwujudan iman itu, ada amal-amal sosial dalam berbagai variasinya yang dilakukan penduduknya dan imam-imamnya. Dan, dalam dimensi taqwa itu, orang-orang yang mushlihun diberi tanda khusus, karena upaya-upaya tulus mereka, negeri-negeri tidak akan dihancurkan oleh Allah.
Orang-orang yang muslihun, mencakup orang-orang yang bekerja merumuskan pandangan-pandangan, termasuk rumpun kerja-kerja aqal-fikiran; termasuk orang-orang yang melaukan kerja-kerja sosial Islahiyah, mengorganisir masyarakat dan kelompok dan perbaikan tindakan di dalam semua level dan bidang; dan orang-orang yang berdoa melalui ahwal-ahwal mereka tentang kebaikan umat.
Tentau saja, ada yang hanya sanggup dengan doa-doa, misalnya dengan doa-doa para Abdal, Allahumahgfir ummata Sayyidina Muhammad, Allahumarham ummata Sayyidina Muhammad, Allohumashlih ummata Sayyaidina Muhammad; ada juga yang sanggup hanya merumuskan pandangan dan bekerja melalui kerja-kerja teori, tanpa menafikan pentingnya kerja-kerja sosial; dan ada yang berkerja di wilayah sosial; dan ada yang mampu menyadari dalam kesemua kerja Islâhiyah, doa, mendessiminasi pandangan-pandangan; dan bergerak atau bahkan memimpin pergerakan sosial di berbagai lapangan kehidupan.
Orang yang menempuh jalan para muslihun memahami prinsip-prinsip kenabian dalam kerja-kerja Islahiyah untuk diaplikasikan di dalam kehidupan umat. Mereka tidak melepaskan kerja-keja sosial itu dengan prisip-prinsip keimanan dan pandangan-pandangan iman yang ditunjukkan Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad, mereka ittiba’ dalam amal-amal sosial, sedangkan dalam soal cara bisa saja diubah atau diganti, bila keadaan menghendaki, dan tidfak terpaku pad satu cara.
Mereka bekerja di bawah prinsip Islam rahmatan lil`âlamîn, “wamâ arsalnâka illâ rohmatan lil`âlamîn”. Kemudian mereka menyerukan persaudaraan manusia, persaudaraan sesama anak bangsa, dan persaudaraan sesama umat Islam, meskipun berbeda-beda suku-suku bangsa, dan agama, tetapi memiliki tanggungjawab bersama untuk menciptakan perdamaian dan keadilan di tengah-tengah masyarakat, tidak saling bermusuhan dan berbunuh-bunuhan, meskipun mereka menyadari syahnya perbedaan. Mereka tunduk pada prinsip “lanâ a’malunâ walakum a’mâlukum”; juga prinsip “lakum dînukum waliyadîn”; dan “lâ ikrôha fiddîn”. Setelah itu “wa ta`awanû fil birr wa al-musyarakah fi ishlâhil mujtama’”.
Mereka mengambil jalan dan memperjuangkan prinsip tawassuth dalam memgembangkan perbaikan di masyarakat, sebagai jalan kenabian dalam melakukan Ishlâhiyah, mengambil dan memperjuangkan pertengahan antara perubahan dan tradisi yang telah ada, bila memang tradisi itu tidak bertentangan dengan perintah-perintah Alloh dan petunjuk-petunjuk Kanjeng Nabi Muhammad; mereka melakukan perbaikan dengan jalan yang baik, bukan menggunakan jalan yang munkar; mereka menerima hal baru yang membawa mashlahah dengan tidak meninggalkan yang lama yang masih baik.
Di antara kalangan muslihun itu, ada yang mengambil mathlab “kalimatul haqq `inda sulthônil jâ’ir”, dengan bahasa yang haqq; dengan akhlaq yang haqq, dan solusi-solusi yang haqq. Mereka tidak mengikuti jalan para pengkritik penguasa dengan tujuan semata-mata untuk mengganti penguasa dan mengalahkan kelompok lain; atau semata-mata ingin mendudukkan kelompoknya; atau tidak mengikuti jalan orang-orang yang “bermuka perubahan” tetapi jalan yang ditempuhnya lebih menimbulkan kerusakan dan memudharatkan.
Di antara mereka para mushlihun juga ada yang mengkhususkan untuk memperbaiki akhlak di tengah masyarakat, melalui pendidikan dan perbaikannya, sehingga mereka mengaji di musholla, di pondok, di masjid, dan di rumah; ada yang di bidang ekonomi; lapangan kebudayaan, dan lain-lain. Mereka menanamkan akhlak, tentang iman, tentang Islam, dan tanggungjawab sosial menciptakan keadilan dan menghubungkan persaudaraan dan ar-rohim, di tengah masyarakat.
Mengambil jalan mushlihun adalah amal-amal yang tidak gampang, dan karenanya tidak semua orang beriman mengambil jalan amal ini, terutama amal dam kerja-kerja perbaikan secara langsung. Dia harus menyingsingkan baju-baju “hubbuj jâh” di dalam hati-hati mereka (suka ketenaran dan dipuji-puji), dan memendam keikhlasan dalam hatinya dan lakunya; mereka juga harus membuang sebab-sebab perubahan yang sejati disandarkan an sich kepada penyebab-penyebab ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain (bukan kepada Dzat yang Maha Mengubah), tetapi pada saat yang sama tidak buta wawasan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Dari sudut ini, mereka juga akan bergesakan secara ide dengan mereka yang meyakini adanya perubahan itu berdasarkan teori-teori sosial semata, tanpa mengaitkan itu dengan “Dzat Yang Maha Mengubah”.
Mereka juga akan dihadapi oleh pasukan-pasukan kegelapan di alam batin, yaitu mereka yang mengambil jalan ini dan diberi penglihatan batin untuk mengetahui sejatinya yang bermain di dalam alam batin kekerasan dan kedzaliman; sementara di alam zahir mereka harus menghadapi pasukan-pasukan kegelapan yang mengabdi untuk praktik-prakktik kedzaliman dan pandangan-pandangan pengetahuan yang melegitimasi kedzaliman dan dibarisi aparat-aparatnya.
Perbuatan para mushlihun bukanlah mencela orang-orang yang tidak mendukung perbaiakan menciptakan keadilan; bukan sibuk mengkritik orang-orang dan kelompok karena belum mendukung pekerjaan-perkerjaan berbuat keadilan. Sebalilknya mereka bekerja membangun jejeraing kepada mereka, meyakinkan orang-orang, dan membuka wawasan, dan berusaha melakukan tindakan bersama; mengubah sistem yang tidak adil dengan cara yang ma’ruf; dan di antara mereka yang bergelimang dalam kebusukan fanatisme, yang senantiasa menentang para mushlihun. Dan, pada munajatnya dalam kesendirian dan wirtid mereka secara khusus, para mushlihun menumpahkan upaya-upaya yang dilakukan itu kepada Alloh, sebaik-baik Dzat yang mengubak segala sesuatu.
Amal mushlihun adalah amal dari orang-orang yang berilmu, yang permulaan ilmunya berkaitan dengan kewajiban elementer, iman dan Islam; dan berikutnya adalah ilmu dalam soal amal sosial dan menurut dasar-dasar dari Kanjeng Nabi; dan berikutnya adalah ilmu-ilmu tentang perubahan sosial di tengah masyarakat. Karenanya, Alloh menyembunyikan orang-orang yang dicintain-Nya di kalangan mushlihun, di antara orang-orang yang gandrung tentang perubahan yang hanya didasari dengan semata-mata teori sosial; di antara orang-orang dan pemimpin-pemimpin umat, yang dihati mereka dikendaliklan niat-niat “hubbujjâh” dan sekedar mengganti untuk menduduki kekuasaan.
Mereka yang mengambil jalan para mushlihun, menempati manzilah yang dimuliakan Alloh, sebagai pasak-pasak negeri atau penyangganya, meskipun di negeri itu telah ada ketidakadilan dan kedzaliman, karena di tengah-tengah “al-fasadât” tetap ada dari kalangan al-muslihun yang memiliki himmah melakukan perbaikan. Alloh tidak akan menghancurkan negeri itu, karenja di dalamnya ada al-muhslihun. Dan, mereka adalah orang-orang yang tunduk pada hikmah: “Perbaikilah akhlakmu sebelum engkau memperbaiki akhlak orang lain.”