Muharram: Momentum Kebangkitan Umat Islam

Muharram: Momentum Kebangkitan Umat Islam

Hikmah 1 Muharram sebagai awal penanggalan hijriah adalah sebagai momentum kebangkitan bagi umat Islam

Muharram: Momentum Kebangkitan Umat Islam

Pada hari Ahad/Senin, 7/8 Juli 2024 yang lalu, umat Islam di Indonesia telah merayakan 1 Muharram, awal tahun baru hijriah 1446. Pertanyaannya, apa maknanya untuk konteks kekinian bagi kita umat Islam? Jawabannya antara lain sebagai momentum kebangkitan dari berbagai keterpurukan, baik individual maupun sosial, baik dalam hal material maupun terutama spiritual.

Penentuan Penanggalan

Dalam sejarah, penanggalan hijriah yang berlaku bagi umat Islam hingga saat ini dimulai sejak periode Umar bin Khatthab (w. 644 M) berkuasa sebagai khalifah (pengganti Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala agama [rasul]). Tepatnya,  pada tahun keempat ia menjadi khalifah, tahun ke-17 setelah hijrah, dalam suatu pertemuan pada 8 Rabiul Awal 17 H.

Penanggalan itu dimulai sejak Nabi beserta umat Islam awal hijrah (bermigrasi) dari Mekah ke Yatsrib (Madinah), yang berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Maka, penanggalan Islam pun sering disebut penanggalan hijriah, meski sering disebut juga penanggalan Qamariyyah (berdasarkan bulan). Penghitungan bulannya dimulai sejak Muharram, kendati Nabi sampai di Madinah di bulan Rabiul Awal 622 M. Muharram dan nama-nama bulan setelahnya berbasis tradisi Arab pra Islam, dengan  nama-nama harinya dimulai dari hari pertama (Ahad). Kini penanggalan hijriah itu sudah berumur satu setengah milenium.

Penanggalan hijriah, karenanya, berbeda dengan penanggalan miladiah yang dimulai sejak Isa al-Masih lahir berdasarkan perputaran bumi mengelilingi matahari (disebut syamsiyyah). Nama-nama bulan dan harinya berbasis tradisi Barat/Eropa, yang nama harinya dimulai dari Monday (hari penyembahan terhadap dewa bulan). Kini penanggalan miladiah itu sudah berumur dua milenium lebih.

Di antara latarnya adalah kesulitan yang dirasakan Abu Musa al-Asy’ari dan Umar bin Khatthab sendiri dalam membedakan surat khalifah/dokumen yang tak diberi tanggal, bulan, dan tahun. Maka, disepakatilah keharusan pembuatan penanggalan. Namun, para sahabat yang hadir dalam pertemuan 8 Rabiul Awal 17 H  di atas berbeda pendapat mengenai kapan dimulainya. Ada yang mengusulkan sejak Nabi lahir, sejak Perang Badar (perang kaum Muslimin dalam menghadapi serbuan kaum pagan Mekah yang menentukan hidup matinya Islam), dan ada pula yang mengusulkan dimulai sejak Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah. Lalu, disepakatilah kemudian usulan terakhir, karena hijrah sebagai awal keberhasilan Nabi dalam berdakwah, menegakkan Islam, dimana Islam terpancar ke dunia dari sejak hijrah dan dari Madinah Munawwarah (kota yang  terpancarkan cahaya Islam).

Momentum Kebangkitan

Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa salah satu hikmah 1 Muharram sebagai awal penanggalan hijriah adalah sebagai momentum kebangkitan bagi umat Islam, termasuk umat Islam di Indonesia. Disebut demikian, karena hijrah merupakan jalan keluar dari Allah bagi kebuntuan dakwah Islam sebagai upaya transformasi masyarakat Arab abad ke-7 dari tadinya bercirikan masyarakat Jahiliah (tak beradab secara moralitas/agama) menjadi masyarakat bercirikan Islam (berperadaban secara agama/moralitas).

Dalam sejarah disebut bahwa pada tahun ke-10 kenabian, Nabi ditinggal wafat oleh dua pelindungnya, yaitu: paman, ayah angkat Nabi, yang juga kepala klan Bani Hasyim, Abu Thalib, dan juga istri sekaligus tumpuan psikologis, finansial, dan juga sosiologis dakwah, Siti Khadijah. Meski nabi sempat berpindah dakwahnya ke Thaif, tempat keberadaan keluarga Nabi dari pihak ibu, Siti Aminah, di tempat itu Nabi bukan hanya ditolak dakwahnya, melainkan  juga dilempari hingga sebagian tubuhnya berdarah.

Setelah di-isra-mi’raj-kan oleh Allah, datanglah serombongan elite dari Yatsrib (Madinah) yang menyatakan keislaman dan meminta Nabi untuk berhijrah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan melindungi Nabi, sebagaimana kepada keluarganya sendiri, dan Nabi diangkat mereka sebagai pemimpin. Perjanjian itu dikenal dengan Perjanjian Aqabah I dan II. Maka, sejak itulah, Nabi mempunyai kekuasaan temporal/duniawi, sebagai kepala negara, selain sebagai kepala agama yang membaut dakwah Nabi menjadi efektif/sukses. Sebab itu, kekuasaan temporal pun dalam Islam sebagai tujuan subsider, bukan yang utama, karena tujuan utama Islam adalah dakwah Nabi bisa tersebar kepada masyarakat Arab dan dunia.

Sejak itu dan juga setelah turunnya ayat mengenai perintah hijrah, Nabi dan para sahabat pun berhijrah dari Mekah ke Madinah. Ada yang sembunyi-sembunyi, ada juga yang terang-terangan seperti Umar bin Khatthab yang tak takut pada kaum pagan Quraisy. Ayat perintah hijrah itu adalah QS. al-Baqarah/2: 218: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah adalah  mereka yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

Dari sejak hijrah ke Madinahlah, Islam tersebar ke berbagai wilayah di jazirah Arab,  Timur Tengah lainnya, dan juga ke dunia. Dengan basis sosial dan geografi Madinah, Nabi bukan saja dapat mempersatukan masyarakat Arab Muslim Mekah dan Madinah (Muhajirin dan Anshar) berdasarkan komitmen agama bukan darah sebagai komitmen pra Islam, melainkan juga membuat masyarakat Yahudi dan kaum Pagan Madinah mengakui kepemimpinan temporal Nabi. Yang pertama dikenal dengan sebutan ummah/ukhuwwah Islâmiyyah (pembentukan persaudaraan berdasarkan agama). Sedangkan yang kedua adalah pembentukan aliansi berdasarkan Mîtsâq Madinah (Perjanjian Madinah). Lewat perjanjian itu, Nabi membentuk negara multi etnis dan agama, dimana kaum non-Muslim diberi hak kebebasan beribadah dan hak-hak politik seperti mempertahankan negara. Sayang, terutama kaum Yahudi melakukan siasat untuk membunuh Nabi dan beberapa kali melakukan pengkhianatan dengan beraliansi dengan musuh Nabi yang menyerangnya yang membuat mereka terusir dari Madinah.

Setelah posisi Islam menjadi kuat di Madinah, Nabi melakukan Perjanjian damai dengan kafir pagan Quraisy lewat Perjanjian Hudaibiyah. Namun, setelah mereka mengkhianati Nabi dan kaum Muslimin dengan menyerang suku yang beraliansi dengan Nabi, Nabi menghukum mereka dengan melakukan Pembebasan Mekah (Fathu Makkah).

Yang menarik, pembebasan Mekah itu tanpa setetes pun darah yang keluar dengan hasil yang maksimal, dimana orang-orang pagan Mekah berbondong-bondong masuk Islam (lihat QS an-Nashr/110).

Di sini tampak bahwa penggunaan kekuasaan temporal oleh Nabi demi tujuan utama dakwahnya: menguasai Mekah sebagai pusat spiritual yang dibangun Nabi Adam lalu dibangun kembali Nabi Ibrahim, nenek moyang Nabi Muhammad. Dengan itu, salah satu ajaran Islam yang pokok, yaitu melakukan haji bisa dilaksanakan, yang nilai ibadah satu rakaat salat di sana bernilai 100 ribu rakaat di masjid lain.

Saat berlakunya Perjanjian Hudaibiyyah sebagai masa damai, Nabi berdakwah ke wilayah Timur Tengah lainnya dengan mengirim surat kepada Raja-raja sekitar, termasuk Raja Romawi dan Persia, dua negara Adi daya. Namun, lewat Kerajaan Ghassan sebagai aliansi Romawi, mereka menyerang Nabi dalam Perang Mu’tah dan belakangan dalam Perang Tabuk. Sementara Kerajaan Persia menyobek-nyobek surat diplomatis Nabi. Maka, karena belum ada perjanjian damai, pada Masa Abu Bakar menjabat khalifah yang kebijakannya dilanjutkan oleh Umar bin Khatthab dua negara adidaya itu diserang umat Islam. Dua wilayah ini selanjutnya menjadi wilayah Islam. Saat itu wilayah kekuasaan Islam dari Persia hingga Mesir dan dari Syria hingga Yaman. Pada masa Umayyah (660-750 M), lebih luas lagi, dari Pakistan hingga Spanyol, dan dari Asia Tengah hingga Yaman.

Maka, Islam pun menjadi negara adidaya menggantikan Romawi dan Persia. Meski begitu, dalam Islam penaklukan (penguasaan politik) berbeda dengan dakwah, dimana perlu beberapa abad untuk membuat daerah taklukan Islam yang luas itu menjadi daerah dengan mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Hal ini  karena dakwah dilakukan secara kultural oleh para ulama, tanpa paksaan. Dalam sejarah pun, peristiwa hijrah yang membuat umat Islam awal digjaya itu disebut strategi dari pinggir ke pusat, strategi dengan membuat basis kuat di pinggiran dulu untuk bisa berkuasa di pusat kekuasaan. Strategi Nabi ini dicontoh oleh Dinasti Abbasiah abad ke 8 M, yang kemudian diikuti juga Dinasti Fathimiah.

Penanggalan hijriah yang dimulai sejak Muharram 17 H juga membuat kaum Muslimin memiliki kesadaran akan waktu sebagai ciri kemodernan/kemajuan sesuai QS al-‘Ashr/103; sejak hijrah berkembang berbagai kelembagaan seperti Masjid untuk mempersatukan umat Islam, pusat ibadah, pendidikan dan musyawarah, bahkan kantor kenegaraan; keharusan berintegritas dan mengembangkan Ilmu pengetahuan, dua faktor yang membuat manusia maju (QS. 58: 11); dan hijrah serta Fathu Makkah membuat Mekah dan Madinah kembali menjadi jalur perdagangan dunia demi kemapanan ekonomi.

Wallâhu a’lam.

(AN)