Mempunyai nama lengkap Muhammad Ibnu Da’ib Syahrur, seorang pemikir muslim kontemporer yang lahir pada tanggal 11 April tahun 1938 di Damakus Syiria ini lebih kerap disapa dengan sebutan Syahrur. Beliau merupakan putra kelima dari seorang tukang celup bernama Da’ib bin Da’ib. Sedangkan ibunya bernama Siddiqah binti Salih Filyun.
Syahrur menempuh pendidikan tingkat dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan ‘Abd ar-Rahman al-Kawakibi yang terletak di tanah kelahirannya. Namun, lembaga pendidikan tersebut bukan lembaga pendidikan keagamaan.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, beliau kemudian pergi ke Uni Soviet untuk melanjutkan pendidikanya dengan mengambil program diploma pada bidang teknik sipil di Moskow.
Pada tahun 1964, Syahrur berhasil menyelesaikan pendidikannya di Moskow dan meraih gelar Diploma. Syahrur pun kembali tanah kelahirannya dan menjadi dosen di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus sampai tahun 1965.
Selanjutnya, pada tahun 1967 Syahrur memperoleh kesempatan untuk melakukan penelitian Imperial College di London Inggris, akan tetapi beliau terpaksa harus kembali ke Syiria karena pada waktu itu terjadi perang Syiria dan Israil yang mengakibatkan hubungan diplomatik antara Syiria dengan Inggris menjadi terputus.
Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tahun 1968, Syahrur memutuskan pergi Dublin Irlandia sebagai utusan dari Universitas Damaskus, dalam rangka mengambil program Master dan Doktor di Ireland National University. Bidang keilmuan yang diambil adalah Mekanika Pertahanan dan Teknik Pembangunan.
Berkat ketekunannya, pada tahun 1969 Syahrur berhasil meraih gelar Master of Science, sedangkan gelar Doktornya diraih pada tahun 1972. Pada tahun yang sama, Syahrur diangkat sebagai Profesor jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Ireland National University, Syahrur kembali ke Syiria dan resmi menjadi dosen di Universitas Damaskus dengan mengampu mata kuliah Mekanika Pertahanan dan Geologi. Selain menjadi dosen, beliau juga menjadi konsultan di bidang teknik. Bahkan, pada tahun 1982-1983, Syahrur dikirim lagi oleh pihak Universitas untuk menjadi staf ahli di al-Saud Consult, Saudi Arabia. Bersama rekannya, beliau membuka biro konsultan Teknik di Damaskus.
Pada 1995, Syahrur diundang untuk menjadi peserta kehormatan dan ikut terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran Islam di Libanon dan Maroko. Pada awalnya beliau memang lebih menekuni bidang teknik, namun pada pekembangannya, beliau mulai tertarik pada kajian-kajian keislaman, terutama saat berada di Dublin Ireland.
Sejak saat itulah Syahrur mulai mengkaji Al-Qur’an secara lebih serius dengan pendekatan ilmu filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksak, bahkan Syahrur juga menulis buku dan artikel tentang pemikiran keislaman untuk merespon isu-isu kontemporer.
Salah seorang sahabat sekaligus guru Syahrur yang mempunyai peran sangat besar dalam mendukung karir intelektual-akademiknya adalah Ja‘far Dakk al-Bab. Pertemuan pertama Syahrur dan Ja‘far terjadi ketika keduanya sama-sama menjadi mahasiswa di Uni Soviet. Pada waktu itu, Ja‘far mengambil jurusan Linguistik, sedangkan Syahrur mengambil jurusan Teknik Sipil.
Walaupun akhirnya keduanya berpisah, namun pada tahun 1980 dengan tidak sengaja keduanya bertemu lagi di Ireland, Dublin. Pada saat itulah terjadi perbincangan intensif antara keduanya mengenai masalah bahasa, filsafat dan Al-Qur’an.
Syahrur pun menjadi tertarik untuk mengkaji bahasa, filsafat, dan Al-Qur’an lebih jauh. Sejak saat itu, Syahrur mulai belajar Linguistik secara intensif dari disertasi Ja‘far Dakk al-Bab yang dipromosikan pada tahun 1973 di Moskow.
Berkat kesungguhannya dalam mengkaji Al-Qur’an, filsafat, dan bahasa, Syahrur berhasil menulis karya ilmiah pada tahun 1990 yang bukan saja monumental tetapi juga kontroversial dengan judul Al-Kitab wa Al-Qur’an; Qira’at Al-Mu‘asyirah. Karya tersebut merupakan hasil evolusi dan pengendapan pikirannya yang cukup lama, yakni kurang lebih 20 tahun.
Syahrur menunjukkan kreatifitas penafsirannya dengan cara memperkenalkan istilah tsabat an-nash wa taghayyur al-muhtawa, yang berarti bahwa teks Al-Qur’an tetap, akan tetapi kandungan makna teks tersebut mengalami perubahan, sehingga dapat ditafsirkan secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.
Menurut Eikelman Piscatori, secara umum karya-karya Syahrur mencoba untuk melancarkan kritik terhadap sebuah kebijakan agama konvensional maupun keagamaan yang tidak toleran. Agaknya apa yang diinginkan oleh Syahrur sebenarnya adalah perlunya menafsirkan ulang ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan perkembangan dan interaksi antar generasi, serta mendobrak kejumudan penafsiran Al-Qur’an.
Syahrur dapat disebut sebagai pemikir kontemporer yang produktif dalam menghasilkan karya berbentuk tulisan, di antaranya: Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (1992), Dirasah Islamiyyah Mu’asirah fi ad-Dawlah wa al-Mujtama’ (1994), al-Islam wa al-Iman; Manzumat al-Qiyam (1996), Masyru’ Misaq al-‘Amal al-Islami. (1999), Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqhi al-Islami (2000), as-Sunnah ar-Rasuliyyah wa as-Sunnah an-Nabawiyyah, (2012).
Selain itu, Syahrur juga menulis beberapa artikel yang dimuat di berbagai jurnal, di antaranya : “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam Muslim Politics Report, 14 (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam Kuwaiti Newspaper, dan dipublikasikan juga dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998).
Selain mendapatkan apresiasi karena produktif dalam berkarya, Syahrur juga mendapatkan banyak kritik melalui beberapa tulisan, misalnya Mujarrad al-Tanjim al-Qur’an Li Duktur Muhammad Syahrur karya Muslim al-jabi, Tahafut al-Qira’an al-Mu’ashirah karya al-Syawwaf, sedangkan tulisan yang mengapresiasi adalah tulisan dengan judul The Syahrur Phenomenon: a Liberal islamic Voice From Syiria karya Peter Clark. Kritikan terhadap beliau bahkan tidak jarang membawanya diklaim sebagai agen zionis, Marxian, inkar sunnah dan lain-lain.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa Syahrur tidak pernah tercatat bergabung dengan Institusi Islam manapun atau pernah mengikuti pelatihan resmi dan memperoleh sertifikat dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Pengetahuan tentang keislamannya diperoleh secara otodidak. Hal tersebut sekaligus membuktikan komprehensifnya pengetahuan beliau tidak hanya tentang teknik, melainkan juga tentang keislaman.
Wallahu A’lam