Mudik, Media, dan Makna Lebaran

Mudik, Media, dan Makna Lebaran

Mudik, Media, dan Makna Lebaran

Saya terbiasa menjalani Idul Fitri dengan potret yang berbeda-beda. Terkadang saya merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman. Namun tak jarang saya harus menikmatinya di kampung rantau, meski ada perasaan yang kurang apabila momen lebaran tidak bisa berkumpul bersama keluarga dan bertemu tetangga seperti masa-masa dulu.

Namun sejak adanya panggilan video, saya bisa menjalani lebaran di perantauan tidak begitu menakutkan.

Lebaran tidak lagi menjebak saya pada kesepian dan kenelangsaan seperti masa sebelum internet lazim digunakan. Setelah shalat Ied saya bisa menghubungi sanak saudara untuk mengucapkan selamat hari raya dan permohonan maaf.

Di layar itulah saya bisa melihat bentuk wajah mereka lengkap dengan ekspresi dan gerakan yang apa adanya.

Kehadiran media memang membuka potensi untuk menjalani lebaran dengan cara yang baru.

Stig Hjarvard (2013) menjelaskan hubungan antara manusia dan media dalam beberapa dekade mengalami perubahan yang sangat luar biasa. Media bukan hanya menjadi sarana mediasi, namun sudah menjelma sebagai ruang untuk menciptakan relasi yang transformatif bagi manusia, budaya, dan masyarakat yang disebutnya sebagai mediatisasi. Media bukan sebatas penyampai pesan, namun menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia.

Selama bulan Ramadhan ini kita bisa mengamati bagaimana media menjadi bagian tak terpisahkan dalam menciptakan budaya-budaya sosial-keagamaan. Di banyak masjid bacaan Al-Qur’an yang dikumandangan melalui pengeras suara banyak menggunakan YouTube atau Spotify.

Aktivitas membangunkan masyarakat untuk bersahur punya tujuan lain: ngonten. Maka dibuatlah berbagai video-video unik yang diproyeksikan bisa disebar di berbagai platform media sosial. Begitu juga dengan tren velocity yang seingat saya baru hadir di Ramadhan kali ini.

Menurut sejumlah pemberitaan, tahun ini aktivitas mudik turun sebanyak 24%. Pemerintah juga menyampaikan prediksi dengan pesan yang hampir sama. Lesunya ekonomi dianggap sebagai biang terjadinya penurunan aktivitas mudik ini.

Setidaknya, hal tersebut tercermin dari banyaknya perusahaan yang mengakhiri hubungan kerja dan memotong pemberian tunjangan hari raya (THR) yang membuat putaran ekonomi melambat. Diprediksi jutaan orang tidak bisa mudik karena lesunya ekonomi ini.

Namun benarkah ekonomi menjadi faktor utama terjadinya fenomena ini?

Jawabannya tidak bisa sesederhana ya atau tidak.

Faktanya, ada banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan yang berpengaruh pada berkurangnya transaksi di berbagai sektor. Namun economic-determinant tidak bisa didudukkan sebagai penyebab tunggal. Apalagi perusahaan penyedia jasa tiket seperti Tiket.com mengumumkan kenaikan arus mudik sebesar 27%. Aktivitas wisata dan atraksi meningkat 69% dari tahun sebelumnya.

Untuk menganalisis mengapa banyak orang memutuskan tidak mudik, ada kepingan-kepingan lain, selain ekonomi, yang penting diamati sebagai konsekuensi proses modernisasi masyarakat dan budaya.

Sosiolog klasik seperti Karl Marx memang menekankan ekonomi sebagai superstruktur yang begitu determinan dalam masyarakat industrialisasi. Namun di saat itu media belum menjalankan peran layaknya era digital yang mampu menjadi ‘ruang lain’ dalam berbagai aktivitas. Sementara media saat ini mampu memfasilitasi praktik-praktik sosial yang lama dengan cara yang baru.

Oleh karenanya, Hjarvard menekankan pentingnya memosisikan mediatisasi pada konsep-konsep lain seperti globalisasi, urbanisasi, dan individualisasi. Konteks sosial nyatanya bisa diciptakan melalui kelindannya dengan media digital yang perlahan diterima sebagai fakta sosial yang baru.

Sederhananya, penurunan jumlah pemudik bisa dilihat sebagai bentuk perubahan masyarakat lama yang begitu mensakralkan perjumpaan fisik menjadi masyarakat yang lebih terbuka pada perjumpaan yang termediasi. Penggunaan video call sudah mulai lazim sebagai cara manusia untuk sungkem di hari lebaran.

Di masa Covid-19 toh kita sudah terlatih menjalani #MudikOnline sebagai sarana silaturahmi virtual. Apalagi opor dapur rumah yang nostalgik bisa dikirim menggunakan jasa paket yang bisa sampai dalam beberapa jam saja.

Perubahan masyarakat urban terutama anak muda yang lebih individualistik dan techno-centric tidak bisa dikesampingkan turut membentuk budaya mudik yang berbeda. Meski saya masih sangat yakin bahwa mudik menjadi praktik budaya yang sudah sangat mengakar dan menjadi motivasi orang kota untuk kembali ke kampung halamannya.