Di tengah wabah Covid-19 pemerintah dengan kebijakannya meluncurkan program kartu Pra- Kerja. Kartu Pra-Kerja adalah sebuah kartu yang digalangkan dalam rangka program dan pembinaan warga negara Indonesia yang belum memiliki keterampilan. Kartu ini adalah sebagai janji kampanye Presiden Joko Widodo bersamaan dengan KIP Kuliah dan Kartu Sembako Murah.
Tujuan diluncurkannya Kartu Pra-Kerja semata-mata adalah untuk memberikan seseorang (yang belum bekerja) mendapatkan pekerjaan sesuai dengan minatnya–dan tentu saja untuk melunasi janji kampanye Presiden Joko Widodo. Namun, yang menjadi polemik adalah konsep dan waktu yang rasanya kurang pas saat diluncurkannya Kartu Pra-Kerja di tengah wabah Covid-19, yang secara materi masyarakat lebih membutuhkan bantuan pangan.
Konsep sederhana Kartu Pra-Kerja adalah, seseorang mendaftarkan diri untuk mencari pekerjaan lalu dia mendapatkan saldo yang diberikan pemerintah untuk mendapatkan video pelatihan dan materi lain yang diklaim akan memberikan berbagai macam keterampilan untuk pekerjaan yang dituju.
Ironisnya, materi-materi yang disampaikan di sana umumnya banyak tersedia di internet atau platform YouTube dan free! Belum usai masalah Kartu Pra-Kerja pemerintah mengambil kebijakan yang rasanya kurang tepat lagi di masa wabah Covid-19. Yaitu dengan menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada beberapa kelas. Meski sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 7P/HUM/2020, tapi Presiden Joko Widodo memutuskan kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pasal 34. Dalam pasal itu diketahui bahwa kenaikan iuran terjadi pada Kelas I dan Kelas II mandiri. Kebijakan ini akan dimulai pada Juli 2020.
Namun, jika ditelaah sebenarnya anggaran Kartu Pra-Kerja ini bisa menjadi ”Pahlawan Kesiangan” untuk menopang permasalahan BPJS dan bantuan Covid-19. Dilansir dari DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) anggaran jaring pengaman sosial masa pandemi ditambah pada program Kartu Pra-Kerja sebesar Rp 10,0 T menjadi Rp 20,0 T, melebihi tambahan kartu sembako, (8,3 T), Bantuan sosial sembako Jabodetabek (3,42 T) dan Bantuan sosial tunai non Jabodetabek (16,2 T). Dilihat dari tidak kecilnya anggaran yang dikeluarkan untuk Kartu Pra- Kerja dan kecilnya anggaran Bansos rasanya miris jika tidak sepadan dengan fakta yang ada.
Dengan anggaran besar tersebut sepertinya bisa dialokasikan anggarannya ke BPJS, sehingga tarif BPJS tidak naik, walaupun beda konteks. Akan tetapi presiden tetap mempunyai kebijakan dalam mensahkan setiap keputusan yang ada, dan kembali ke awal sebagaimana putusan MA. Lantas bagaimana hubungan Kartu Pra-Kerja dengan Zakat? Dalam instrumennya, zakat mempunyai banyak model, salah satunya adalah zakat produktif.
Zakat Produktif sebagai Sebuah Solusi
Dalam ulasan ini akan dimulai dengan sebuah pertanyaan. Apa persamaan dan perbedaan zakat produktif dengan Kartu Pra-Kerja? Persamaannya adalah sama-sama ingin membantu seseorang untuk menghasilkan sebuah pendapatan. Perbedaannya, zakat produktif terbatas yang diperkenankan pada orang-orang muslim yang mustahik, sedangkan Kartu Pra-Kerja tidak terbatas, semua orang dapat mengakses Kartu Pra-Kerja (yang belum bekerja).
Namun dalam praktiknya Kartu Pra-Kerja dapat diakses oleh orang-orang yang sudah mendapatkan pekerjaan, alias berpenghasilan dan ini tentu saja keluar dari prosedur yang berlaku. Sedangkan dalam zakat produktif tentu hanya orang-orang tertentu yang dapat menerimanya, dengan kata lain sudah terjamin prosedur yang berlaku. Jika melihat kebijakan pemerintah mengeluarkan anggaran yang begitu besar untuk Kartu Pra-Kerja yang diambil dari uang rakyat hal ini terbilang sangat mubazir. Jika tujuan utama adanya Kartu Pra-Kerja semata-mata untuk membantu orang mendapatkan pekerjaan (berpenghasilan) maka zakat produktif sudah lama lebih dulu melakukan hal itu.
Dana dari zakat produktif bersumber dari masyarakat, lembaga, institusi yang wajib diberikan jika memang sudah waktunya, seperti zakat mal dan zakat fitrah di bulan puasa. Namun juga tidak sedikit dana yang bersumber sukarela seperti infak, shodaqoh, dan wakaf. Sedangkan Kartu Pra-Kerja bersumber dari APBN yang menjadi pondasi anggaran negara. Namun sangat disayangkan jika pengelolaannya tidak sesuai prosedur dengan anggaran yang besar.
Lalu apa itu zakat produktif? Definisi zakat produktif akan menjadi lebih mudah dipahami jika diartikan berdasarkan suku kata yang membentuknya. Zakat adalah isim masdar dari kata zaka-yazku-zakah oleh karena kata dasar zakat adalah zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, baik, dan berkembang. Sedangkan kata produktif adalah berasal dari bahasa Inggris yaitu ‘’produktive’’ yang berarti menghasilkan atau memberikan banyak hasil (Fahruddin, 2008).
Jadi dapat disimpulkan bahwa zakat produktif adalah pemberian zakat yang dapat membuat para penerimanya menghasilkan sesuatu secara terus menerus dengan harta zakat yang telah diterimanya. Zakat produktif dengan demikian adalah zakat dimana harta atau dana zakat yang diberikan kepada para mustahik tidak dihabiskan, akan tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus menerus.
Lalu bagaimana dengan potensi zakat di Indonesia? Riset The Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank (IRTI-IDB) menyebutkan potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 217 triliun. Begitu pula zakat produktif yang berpotensi untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia karena zakat produktif melalui cara atau usaha dalam mendatangkan hasil dan manfaat yang lebih besar serta lebih baik. Pemanfaatan zakat harta sangat targantung pada pengelolaannya. Apabila pengelolaannya baik, pemanfaatannya akan dirasakan oleh masyarakat. Pemanfaatan zakat ini, biasanya berbeda dari satu daerah ke daerah lain.
Direktur Utama Baznas Arifin Purwakananta mengatakan potensi tersebut berasal dari industri swasta dan BUMN. Baznas juga mencatat pada akhir 2018 terdapat 169 perusahaan dengan pertumbuhan laba rata-rata 40% hingga per tahun. Jika dilihat dari potensi yang besar dan dikelola dengan pengelolaan yang baik maka pemerintah tentu tidak usah repot-repot mengeluarkan Kartu Pra-Kerja jika tujuannya untuk membantu seseorang mendapatkan pekerjaan (penghasilan).
Dengan potensi yang besar dan tidak memakan anggaran besar negara. Zakat produktif dapat menjadi sebuah solusi untuk membantu masyarakat mendapatkan pekerjaan atau berpenghasilan. Dengan catatan harus dikelola, diawasi, dan terlaksana sesuai prosedur. Pemerintah dapat bekerja sama dengan kementerian agama dan instansi perusahaan dan pekerjaan.
Muhammad Najib Murobbi, Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah Universitas Indonesia